06

Mami Rana segera memeluk suami nya itu dan menangis dalam pelukan papi Riyad, “Kenapa dia ingin melakukan itu pih? Nayya memang baik. Aku menyukai nya. Tapi untuk menikah. Aku tidak setuju. Bagaimana dengan tanggapan orang-orang terhadap putra kita. Mereka akan mengatakan bahwa putra kita memang menunggu janda Nayya saja. Sudah cukup mereka menggunjing putra kita dan keluarga kita. Tidak lagi. Mami sudah menjodohkan nya dengan Ayu. Dia harus menikah dengan Ayu, pih.” Ucap mami Rana dalam pelukan suami nya itu.

“Mih, ayo duduk dan mari kita bicara.” Ucap papi Riyad dan menuntun istri nya itu untuk duduk di sofa di ruangan itu.

Papi Riyad menatap istri nya itu, “Mih, lihat lah foto itu.” tunjuk papi Riyad pada foto kedua anak mereka yang sudah menikah.

“Itu adalah foto Efnan dan Ivana dengan pasangan mereka masing-masing bukan. Efnan dan Ivana sudah memiliki keluarga mereka masing-masing padahal mereka hanya anak kedua dan ketiga. Sementara putra sulung kita dia sampai saat ini belum menikah. Memang selama ini kita hanya mendengar gunjingan orang-orang saja terhadap nya dan memaksa nya untuk menerima perjodohan dengan Ayu.”

“Ayu adalah anak baik. Papi lumayan menyukai anak itu. Tapi kita menjodohkan Afnan dan Ayu tanpa bertanya lebih dulu pada putra kita. Kita memaksa mereka untuk dekat satu sama lain. Selain itu juga kita tidak pernah bertanya bagaimana perasaan putra kita. Dia memang sering menampilkan wajah baik-baik saja di hadapan kita padahal mungkin dia juga sedih mendengar dia jadi bahan gunjingan dan di bedakan atau di bandingkan dengan kedua adik nya. Dia pasti juga ingin menikah. Terus hanya satu keinginan nya dia ingin menikah dengan orang yang dia cintai. Tidak bisa kah kita menuruti keinginan kecil nya itu. Kita sudah pernah mengecewakan nya maka kenapa kita tidak menebus kesalahan itu dengan menuruti apa yang dia inginkan.” Ucap papi Riyad lembut.

Mami Rana pun terdiam mencerna setiap kata yang keluar dari bibir suami nya itu. Dia menatap suami nya, “Tapi kenapa harus Nayya pih. Dia--” ucap mami Rana tidak mampu melanjutkan perkataan nya.

“Apa yang salah dengan nya Mih? Dia tetap saja seorang wanita. Mami bukan orang yang seperti ini. Mami adalah orang yang terbuka bukan. Kenapa mempermasalahkan status seorang wanita. Jika Nayya bisa memilih pasti dia juga ingin memilih untuk ikut dengan suami nya. Tapi tidak karena ada tiga anak nya yang harus dia jaga. Lagi pula bukan kah mami menyukai nya. Sangat menyukai nya. Lalu kenapa sekarang hanya karena status nya yang seorang janda mami jadi tidak menyukai nya. Bukan kah mami menginginkan cucu kembar cerdas seperti anak nya. Lalu kenapa sekarang mami seperti ini. Nayya tidak berbuat dosa mih. Dia hanya lah seorang wanita yang harus rela menerima takdir Allah yang sudah di gariskan pada hidup nya sebagai wanita tanpa suami. Dia tidak menjadi janda karena berselingkuh atau meninggalkan suami nya yang berselingkuh. Dia mendapat status itu karena cinta nya pada suami nya. Jujur saja jika papi di minta memilih antara Nayya dan Ayu tanpa pikir panjang papi akan tetap memilih Nayya. Dia adalah menantu impian kita. Jadi kenapa harus menolak nya hanya karena status nya. Itu adalah perbuatan jahat jika mengasingkan seorang wanita hanya karena status nya yang seorang janda apalagi janda mati.” Ucap papi Riyad panjang lebar.

“Mami pikirkan dulu ucapan papi itu. Papi yakin mami pasti tahu mana yang terbaik untuk putra kita karena mami adalah ibu nya. Papi yakin mami tidak akan bertindak egois hanya karena di pengaruhi oleh gunjingan orang-orang.” Ucap papi Riyad lalu meninggalkan istri nya itu di sana.

“Lalu bagaimana dengan perjodohan itu pih?” tanya mami Rana sedikit keras.

Papi Riyad menoleh kembali, “Mami yang membuat perjodohan itu. Jadi mami pikirkan saja penyelesaian nya sendiri. Papi yakin mami bisa. Bukan kah seorang ibu mampu melakukan apapun untuk buah hati nya.” Balas papi Riyad lalu dia segera menuju kamar.

Mami Rana di ruang keluarga menatap kamar putra sulung nya itu dengan tatapan sendu. Setelah itu dia menatap foto pernikahan kedua anak nya.

***

Sebulan berlalu dengan sangat cepat, kini Nayya sudah mulai sedikit terbuka dengan orang-orang. Dia perlahan-lahan kembali. Mencoba berdamai dengan takdir nya. Walaupun sebenar nya tidak benar-benar berdamai. Hanya mencoba untuk terlihat baik-baik saja.

Nayya masih saja tinggal di kediaman mertua nya. Keluarga mendiang suami nya pun tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Nayya setiap hari nya selalu mengunjungi makam sang suami dan membacakan surah untuk nya. Setiap hari satu juz. Dalam sebulan ini Nayya sudah menyelesaikan 30 Juz.

Nayya kini membuka lemari pakaian suami nya dan menghirup aroma tubuh suami nya yang masih tertinggal di sana. Air mata nya pasti jatuh tanpa bisa dia bendung saat melihat semua barang milik suami nya itu.

“Mas, kau masih terasa berada di sini. Menemaniku. Aku sudah mencoba untuk tegar dan menerima ini. Aku sudah memutuskan untuk pindah ke rumah kita mas. Aku akan pulang tapi tenang saja. Aku akan tetap datang mengunjungimu setiap hari.” Ucap Nayya lalu mengambil kemeja kesayangan suami nya itu dan menyimpan nya di tas pakaian nya.

Nayya sudah memutuskan untuk pulang. Kasihan anak-anak nya yang harus bolak balik antara desa D dan desa A hanya untuk sekolah mereka. Nayya segera mengemas semua nya. Baru lah setelah melihat semua barang nya tidak ada yang ketinggalan dia pun segera turun untuk pamit kepada keluarga mendiang suami nya itu.

“Nak, kau butuh apa?” tanya mami Vega segera berdiri dari tempat duduk nya itu begitu melihat Nayya turun. Dia segera mendekati Nayya.

Nayya tersenyum kepada ibu mertua nya itu. Keluarga suami nya selalu memperlakukan nya dengan baik.

“Nayya tidak butuh apapun mih. Nayya mau bicara sama kalian.” ucap Nayya menatap seluruh keluarga mendiang suami nya itu yang ada di ruang keluarga itu.

Mami Vega yang mendengar nya segera menatap Nayya, “Kau mau bicara apa nak?” tanya mami Vega.

“Mih, ajak menantu kita duduk dulu baru bertanya.” Timpal papi Lutfi.

Mami Vega pun tersenyum lalu menurut dan mengajak Nayya untuk duduk di sofa bersama mereka.

“Nak, kau mau bicara apa?” tanya papi Lutfi setelah menantu nya itu duduk.

Nayya pun menatap semua keluarga suami nya itu. Dia menatap Adiba lalu dia juga menatap kedua mertua nya itu yang menanti ucapan dari mulut nya.

“Nayya, mau pamit pulang!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!