Cinta Si Bule
"Ummi …”
Wanita paruh baya yang menggunakan gamis berwarna cokelat lengkap dengan jilbab langsung berwarna sama itu pun menoleh.
“Masya Allah, Shabira. Agustina Shabira.”
Mata wanita paruh baya itu pun berbinar. Ia membentangkan kedua tangannya untuk menerima tubuh sang putri yang telah lama meninggalkan rumah.
Agustina Shabira yang biasa dipanggil Tina di kantornya, sedari kecil ia dipanggil Bira atau Shabira.
“Ummi.”
Tina berlari menghampiri sang Ibu dan langsung bersimpuh.
“Bangunlah, Nak!” Hasna, istri yang lembut dan ibu yang tak pernah mengeluarkan kata kasar untuk anaknya itu pun mencoba mengangkat bahu Tina.
“Tidak, Ummi. Bira ingin sujud di kaki Ummi. Bira sudah banyak salah sama Ummi. Bira kabur dari rumah dan membuat Ummi selalu dimarahi Abi.”
Tina terus bersimpuh dan mengecup punggung kaki sang ibu
Hasna pun berjongkok. Ia memegang bahu putrinya. Bahu yang dulu begitu kokoh dan yakin bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi kini, terasa rapuh.
“Ummi yakin kamu akan pulang. Ummi yakin, suatu saat doa Ummi dikabul Allah. Dan hari ini adalah jawabannya.”
Hasna tampak senang. Rona bahagia benar – benar terpancar di wajah itu. senyumnya mengembang saat melihat sang putri yang pergi selama lebih dari dua tahun itu pun kembali.
Walau, Tina juga tetap berkomunikasi pada sang Ibu dan tetap menelepon saat hari raya, tapi tetap saja kehadirannya dibutuhkan kala itu. Dan, Tina tidak bisa menampakkkan batang hidungnya karena sudah pasti jika ia pulang, ia akan dicincang oleh sang ayah yang merupakan pimpinan pondok pesantren ini.
Airmata Tina mengucur deras. “Ummi, ampuni Shabira.”
Kedua tangan Hasna membimbing bahu itu untuk berdiri. Isakan sang putri terdengar menyayat hati, membuat Hasna pun tak kuasa untuk tidak ikut menangis.
Kedua wanita yang berada di dapur itu pun berpelukan erat diiringi dengan isakan tangis. Tina tiba di rumah ini saat lima belas menit adzan isya akan berkumadang. Hasna pun berada di dapur dan hendak memasuki kamar mandi untuk berwudhu. Namun, ia dikejutkan dengan kedatangan sang putri dari pintu belakang.
“Allohu akbar, Allahu Akbar.”
Suasana haru itu semakin haru, saat pelukan sang ibu yang berada dalam tubuh putrinya itu disambut oleh suara adzan. Airmata Tina semakin mengalir deras. Keangkuhan di usia mudanya kala itu menghantarkannya menuju jalan yang salah. Ia terlena oleh kenikmatan dunia yang ditawarkan melalui keputusannya sendiri.
Tina, dengan nama lengkap Agustina Shabira adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Tina lahir dari keluarga yang taat agama. Sang ayah memiliki pondok pesantren. Pondok yang dibangun oleh kakek Tina dan kini ayahnya lah yang meneruskan kepemimpinan itu, dibantu oleh kakak laki - laki Tina yang pertama.
Tina memiliki dua kakak. Yang pertama laki – laki berusia tiga puluh dua tahun, memiliki istri solehah dan dua orang anak, sedangkan kakak kedua Tina berusia dua puluh delapan tahun dan berjenis kelamin perempuan. Kakak perempuan Tina menikah tiga tahun lalu, tepat satu tahun sebelum Tina kabur dan dia belum dikaruniai anak.
Kedua kakak Tina menikah melalui perjodohan. Ketika kedua kakaknya sudah menyelesaikan pendidikan dan siap menikah, maka sang ayah segera mencarikan calon untuk mereka. Begitu pun dengan Tina. Saat ia telah lulus kuliah, maka sang ayah segera mencarikan calon suami untuknya. Hal itu, yang membuat Tina tak terima hingga mengambil keputusan untuk pergi dari rumah.
Tina merasa bahwa hidupnya selalu di atur oleh sang ayah. Ia melihat dari bagaimana sang ayah mengatur hidup kedua kakaknya dan Tina tidak ingin menjadi seperti kedua kakaknya. Ia ingin mencari cintanya sendiri dan lepas dari rumah yang penuh dengan aturan. Tina belum menyadari bahwa yang dilakukan sang ayah adalah demi kebaikan dirinya sendiri. Dan kini, ia pun baru menyadari, ternyata dunia diluar begitu kejam. Keputusannya untuk pergi dari rumah dan tidak dalam pengawasan keluarga membuat hidupnya tak tentu arah.
Saat adzan masih berkumandang, pikiran Tina melayang mengingat semua dosa yang ia lakukan. Airmatanya terus mengalir deras. Di sini lah tempatnya pulang. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anak – anaknya ke jurang. Walau keras dan seperti selalu diatur, tapi ternyata hidup memang perlu sebuah aturan. Hidup memang perlu rambu – rambu agar seimbang dan Tina telah menerobos aturan itu hingga kini hidupnya pun tampak tak beraturan.
“Maafkan Bira, Ummi.” Tina kembali bersuara saat adzan selesai berkumandang.
Hasna menatap mata penuh sesal itu dengan sendu. “Ummi memaafkanmu, Sayang.”
Kedua tangan yang lembut itu menghapus airmata yang mengalir di pipi Tina. Tidak ada yang lebih menenangkan selain pelukan sang Ibu, apalagi ditengah hatinya yang sedang gundah gulana.
“Bira menyesal telah membangkang pada Abi. Apa Abi masih mau menerima Tina lagi di rumah ini?” tanya Tina sedih pada sang Ibu saat pelukan itu mulai terlerai.
“Abimu memang terlihat galak, tapi hatinya lembut, Nak. Dia seperti itu karena sayang padamu, sayang pada Mas Abid dan Mba Arafah.”
Hasna menarik nafasnya kasar sembari tersenyum. “Abi melakukan itu hanya ingin melihat anak – anaknya tetap pada garis yang dia yakini benar. Ummi dan Abi hanya ingin yang terbaik untuk kalian, walau mungkin cara kami dinilai salah.”
Tina mengangguk. ia baru menyadari bahwa semua aturan dan ketegasan itu adalah benar. Semua memang yang terbaik untuknya, hanya saja jiwa muda yang masih terselimuti nafs*, membuat Tina berpikiran lain. Saat sang ayah bersikap tegas dan keras, Tina justru malah berpikir bahwa dirinya bukanlah anak kandung sang ayah. pemikiran salah yang kini ia sesalkan setengah mati.
“Bira takut sama Abi, Ummi.”
Hasna masih mengulas senyum. “Karena itu kamu datang lewat pintu belakang?”
Tina mengangguk. “Bira takut dicincang Abi.”
Hasna pun tertawa. “Mana ada ayah yang tega mencincang anaknya. Itu hanya omongan Abi saat marah saja.”
“Ya sudah, Ayo, masuk ke dalam!” Hasna mengajak putrinya untuk masuk ke kamar. Ia pun membantu membawakan tas Tina yang kecil.
“Kamu pasti lelah, perjalanan dari Jakarta ke sini kan cukup jauh.”
Tina mengangguk.
“Kamar kamu masih seperti yang dulu.” Hasna membuka pintu kamar sang putri yang dahulu ditempatinya sejak kecil. “Ummi tidak merubah kamar ini. semua letaknya masih sama seperti sebelum kamu tinggalkan. Ummi hanya membersihkannya saja.”
Tina mengedarkan pandangan ke penjuru kamar itu. Kamar yang menjadi saksi kala dirinya bahagia dan sedih. Atau saat isi kepalanya mulai membangkang dan ingin menjadi diri sendiri. Lalu, Tina menatap poster band kesukaannya. Karena poster ini, sang Ibu harus terkena murkanya sang ayah.
“Poster ini belum dirobek Abi, Mi?” tanya Tina tersenyum sembari menunjuk poster yang menempel di dinding dalam kamarnya.
Hasna menggeleng. “Belum.”
“Sewaktu kamu pergi, Abi masuk ke kamar ini. Ummi pikir, Abi akan merobek poster ini, tapi ternyata tidak. Dia hanya duduk dan menatap kamarmu.”
Mata Tina pun kembali menggenang. Sejak SMA, ia memang sangat menggemari grup band asal korea yang ke semua personilnya berjenis kelamin laki – laki. Setiap kali Tina membeli barang – barang yang ia idolakan itu, sang ayah membuang atau membakarnya. Dan yang tersisa hanya poster itu.
“Ya sudah, istirahatlah dulu. Ummi mau wudhu sekalian membuatkanmu minum.” Hasna mengusap kepala putrinya dengan lembut sebelum meninggalkan.
“Ummi,” panggil Tina kepada sang ibu yang sudah berdiri di pintu kamar yang terbuka.
Hasna pun menoleh.
“Bira sayang Ummi.”
Hasna pun tersenyum. “Ummi juga sayang kamu.”
Akhirnya, ia kembali pulang ke rumah. Rumah yang sudah dua tahun lebih ia tinggalkan dan tidak didatanginya sama sekali.
Tina mengusap tempat tidurnya. Sprei itu tampak bersih dan halus. Sepertinya sang ibu tetap menggantikan kain ini walau tak pernah disentuh pemiliknya.
“Assalamualaikum. Ummi.”
Deg
Suara itu membuat jantung Tina seakan berhenti sejenak. Suara yang paling ia takuti kini telah pulang dari masjid. Setelah Abid dan Arafah menikah, kedua kakak Tina tak lagi tinggal di rumah ini. Mereka tinggal di tempat yang cukup jauh. Abis yang sebelumnya tinggal di samping rumah orang tuanya, Kini berada di Mesir untuk melanjutkan Lc, dia juga memboyong anak istrinya beberapa bulan lalu. Sedangkan Arafah tinggal di Surabaya.
“Ummi, kenapa kamar Bira terbuka?”
Tina mendengar langkah kaki itu yang semakin mendekat. Ia masih terpaku duduk di tepi tempat tidurnya sambil menunggu suara itu mendekat.
“Shabira.”
“Abi.”
Ustman berdiri mematung di ambang pintu kamar yang terbuka. Ia tidak menyangka sepulangnya berjamaah menunaikan sholat isya bersama para santrinya, menemukan sang putri duduk di kamar ini.
Kemarahan yang dulu sempat hingga, kini berubah menjadi sebuah kerinduan.
“Abi.”
Tina berlari mendekati sang ayah dan memeluknya. Ia sudah tidak peduli sang ayah menerima atau akan menolak pelukan itu, tapi satu yang pasti ia akan menebus semua kesalahan ini dengan menjadi pribadi yang diinginkan sang ayah, karena hanya keluargalah tempatnya pulang. Orang tua adalah satu – satunya orang yang menerima keburukannya dengan tulus. Orang tua adalah satu – satunya orang yang selalu bisa memaafkan walau sebesar apapun yang ia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Fitri Yastuti
dr istri candu, ke menaklukan bos killer, skrg ke cinta si jhon/Joyful/
2024-05-26
0
Chen Aya
mampir thor
2024-04-03
0
Agis
saya mampir dulu kak.
2024-03-06
1