Saat-saat Berdua

Tidak disangka tepat seperti dugaan ku dari awal, Devan terus melihat ke arahku dengan tatapan mata intens. Agak lama dia menatapku.

Sebenarnya aku memiliki keahlian unik yaitu dapat melihat keadaan dengan kondisi mata tertutup, hal itu disebabkan, karena mataku tidak ku tutup semuanya saat dalam keadaan terpejam. Ada celah yang memungkinkan diriku melihat kondisi dengan keadaan seperti itu.

Saat ini Devan mulai mendekati diriku secara perlahan-lahan seperti orang penasaran.

Dalam sandaran aku berusaha untuk tetap rileks dan tenang dalam menghadapi kondisi canggung ini. Sepertinya Devan tidak menyadari jika diriku sedang memergoki kelakuannya.

"Ah... dia udah dekat sekali dengan wajahku, apa dia akan..."

Aku pasrah dalam keadaan berpura-pura tertidur ini. Sangat beruntung jika aku mendapati kesempatan yang membuat diriku berdebar-debar, dikala Devan begitu dekat denganku.

Dari celah di pelupuk mata aku bisa melihat bibir merah alami Devan tanpa adanya keriput maupun kulit mati.

Dan benar saja, aku kehilangan kendali jika dia terus-menerus memperhatikan wajahku seperti saat ini.

"Eh...!?"

Seperti orang yang gagal mendapatkan Jack pot, tak ku sangka Devan mengurangkan niatnya yang kurasa hendak bersentuhan denganku lewat bibir.

Dalam hati aku merasa dongkol bisa-bisanya dia tidak melakukan hal itu kepadaku di waktu yang tepat.

"Cepetan bangun Xia.. aku tahu kamu berpura-pura tidur!" ucap Devan mendadak dikala diriku berbicara sendiri didalam hati, sontak membuatku terkejut saat di berkata tentang kepura-puraan yang aku lakukan.

Menandakan jika sebelumnya Devan telah sadar sekaligus membalas kelakuanku dengan cara yang terbilang sama.

"Hmm, tidak mau mengaku ya, padahal jelas sekali.. kamu begitu menantikan momen itu. Hanya saja aku bingung, kenapa anak kecil sepertimu bisa berpikiran begitu?"

Beberapa saat aku memastikan dan tidak menyahut perkataan Devan barusan. Dia malah semakin mengoceh seperti halnya mendorong diriku untuk mengungkapkan fakta dari omongannya.

Tak tahan, aku pun menghela nafas panjang dalam keadaan terpejam dan membuka mata.

"Iyaa aku ngaku, puas."

"Belum, minta maaflah terlebih dahulu."

"ih.. kamu.. ya udah iya, aku minta maaf karena sudah berpura-pura tidur tadi!" ucapku lembut dalam keadaan terpaksa serta karena melihat senyuman manis Devan yang seakan mengintimidasi dan harus dituruti perintahnya.

"Masih kurang, aku belum memaafkan dirimu sepenuhnya."

"Ug..." gumam ku dengan raut cemberut.

"Hahahaha."

"Um??"

"Sudah, raut marah mu tadi sudah cukup membuatku puas!" ucap Devan disertai senyuman yang seakan tak pernah pudar. Entah kenapa dia begitu berbeda seperti bukan dirinya yang biasa saat berduaan denganku.

Yang kutahu selama bersamanya sebulan ini, dia itu orangnya serius, bahkan saat aku ikut bersamanya ke sebuah rapat penting dan aku harus selalu berada disisinya. Devan sama sekali tidak menunjukkan jati dirinya sekalipun saat berdua denganku.

Dan perkataannya yang tadi itu membuatku jadi berpikiran, jika Devan memiliki fet*sh melihat secara langsung mimik marah seorang anak kecil.

"Hmm, apa dia memiliki kesenangan seperti itu yaa...? Harusnya sih aku takut, tapi karena aku suka dengannya... jadi tidak masalah."

Sadar akan tatapan mata Devan yang saat ini masih melihatku dengan serius layaknya pakar mimik wajah membuatku jadi terperangah.

"Kamu sedang memikirkan suatu hal tentangku bukan, dan itu langsung berhubungan dengan diriku!" seloroh Devan seperti membuatku kena tamparan secara tidak langsung.

Selain diriku yang memiliki kemampuan unik Devan juga sepertinya memilikinya, kalau aku bisa melihat keadaan dengan mata terpejam lain halnya Devan, bisa membaca mimik wajah sesuai dengan perkataan dalam isi hati seseorang. Namun kemampuan uniknya itu cuma deduksi ku saja.

"Hehe.."

Saat aku hendak membuka mulut, mobil yang aku tumpangi ini berhenti di tempat tujuan, otomatis menghentikan obrolan tadi.

Di tempat ini terlihat begitu ramai dipadati oleh orang-orang, ada masyarakat dari kelas bawah sekedar melakukan transaksi dari bisnisnya, maupun masyarakat dari kelas menengah yang kemari dengan tujuan umum. Tebak ku dari setiap mengamati orang-orang yang berlalu lalang.

Seingat ku Devan pernah bilang, orang-orang dari kelas menengah banyak yang mengundi nasib dengan mencari pekerjaan di wilayah masyarakat kelas atas.

Mudah saja untuk membedakan antara golongan kasta sosial seseorang, yang aku ketahui dari buku pengetahuan. Caranya dengan melihat penanda pada lengan setelah berganti wilayah.

Tanda itu berupa gelang yang akan terbuka jika masa waktunya habis.

Usai memarkirkan mobil Devan langsung saja menggandeng tanganku dalam ruang lingkup ramai ini, dia ternyata peka pada kondisi. Menuntun diriku menuju tempat yang bisa membuat seseorang berganti wilayah.

Tapi nyatanya harus antri terlebih dahulu dan menunggu giliran, tidak langsung ke tempat itu.

"Nomor berapa antriannya?" tanyaku kepada Devan setelah dia kembali dari loket pengambilan nomor dan tujuan. Lalu duduk di kursi panjang dengan tempat yang sudah aku persiapkan untuknya.

"23 hehe.."

"Iyaa gapapa."

Tak lama duduk sembari menunggu nomor antrian yang sudah ditetapkan, Devan tiba-tiba saja bangun dan pergi begitu saja tanpa memberitahu apa-apa kepadaku.

"Apa ada kesalahan?" gumam ku melihat kepergian Devan yang sepertinya menuju ke arah loket lagi.

Sibuk melihat sekitaran aku pun jadi kepikiran keadaan di rumah mengingat ayah dan ibu sekarang ini di asuh oleh Marin, orang kepercayaan ibu.

Perempuan seumuran dengan Devan yang memilih bekerja sebagai pengurus lansia dan anak kecil. Kebetulan dia adalah teman ibuku, jadi ibu menyuruhnya untuk mengasuhnya.

Dikala Marin sedang mencari pekerjaan lantaran tempat lamanya tidak membutuhkan bantuan khusus darinya lagi sebagai pengurus.

Dan karena di awal aku bekerja Devan memberiku sejumlah uang sebagai jaminan bagi keluargaku yang ditinggal, yang padahal aku bekerja di kediamannya karena berhutang padanya. Yaitu memecahkan layar ponsel yang ku ketahui adalah ponsel mahal.

Bukan malah membuatnya semakin rugi.

"Ayo!" ujar Devan membuyarkan lamunanku.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Kita ke tempat itu, sekarang sudah giliran kita!" jelasnya masih membuatku mengerutkan dahi. Pasalnya seingat ku, sekarang ini masih dalam antrian nomor 5 di ruang 01, sedangkan nomor antrian aku dan Devan masih lama.

"Hmm, aneh? Apa dia menggunakan kekuasaan orang berduit?"

"Kyaa!"

Aku sudah membuat kesalahpahaman sekarang, disebabkan karena aku berteriak secara spontan saat Devan menyentuh tanganku.

"Maaf, aku tadi melamun...!" ucapku meminta maaf karena merasa bersalah dengan menundukkan kepala.

"Oke, lain kali jangan diulangi. Karena diriku akan disangka melakukan tindakan kriminal terhadap anak kecil!" sambungnya yang malah membuatku tertawa, ada-ada saja alasannya.

"Hihi.."

Di dalam ruangan yang mirip kapsul seperti pil obat bedanya berukuran besar, aku duduk di samping Devan dalam perjalanan menuju ke lantai bawah. Lebih tepatnya wilayah kelas bawah, kampung halamanku.

Tak lama, akhirnya kapsul yang seperti kendaraan ini terasa seperti turun ke bawah, rasa-rasa yang sama saat menggunakan lift. Kini berhenti di tempat tujuan.

Udara yang aku rasakan sekarang ini terasa berbeda dengan wilayah kelas atas, jauh berbeda sekali.

Disini entah mengapa terasa begitu pengap dan gampang gerah atau hanya perasaan ku saja, karena efek dari kebiasaanku selama berada lumayan lama di wilayah masyarakat kelas atas. Dan lama tidak pulang ke kampung halaman.

Terpopuler

Comments

mom mimu

mom mimu

semangat kak Wiii 💪🏻💪🏻💪🏻

2023-03-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!