Saat ini aku sedang dekat dengan seorang lelaki bernama Kenan. Lelaki itu selalu ada saat aku terpuruk, ketika pernikahanku dengan Alvian berantakan dan perusahaanku tengah terpuruk dialah yang membantuku.
Kenan adalah sahabatku, sewaktu SMA. Sejak zaman sekolah dulu Kenan selalu ada untukku, dia selalu menjadi garda terdepan saat aku terjatuh. Seperti saat ini, aku mulai merintis perusahaanku dari nol. Aku sama sekali tidak tahu apakah bisa melanjutkan perusahaan ini karena kerugian perusahaan yang telah dibuat Alvian sehingga aku harus merintis kembali perusahaanku dari awal.
"Hai, Rena apa kabarmu?"
"Maaf anda siapa?" Aku merasa heran melihat lelaki yang baru saja masuk ke ruanganku.
Lelaki berparas tampan, berkulit kuning langsat dengan tinggi 180 cm itu mendekat ke arahku. Lelaki itu melepas kacamatanya dan menatap kepadaku.
"Apa kau sudah lupa padaku?" Tanya lelaki itu dengan senyuman yang terulas dibibirnya.
"Maaf anda siapa? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanyaku pada lelaki yang baru saja datang dihadapanku.
"Kau sudah lupa padaku?" Lelaki itu mencoba mengingatkanku kembali.
Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama, setelah lama memperhatikannya aku baru bisa mengingat kembali wajahnya itu.
"Kenan, kamu Kenan Manaf ?" tanyaku pada lelaki itu.
"Ternyata kamu masih mengingatku. Lama tidak bertemu kamu makin cantik saja," godanya sambil menunjukkan senyum khasnya. Lesung pipi dan deretan gigi yang tersusun rapi itu menambah ketampanannya.
"Kau masih sama seperti yang dulu. Selalu saja suka menggodaku," ujarku dengan wajah tersipu malu.
Lelaki itu hanya terkekeh melihatku dengan wajah yang telah merona.
"Bagaimana perusahaanmu Rena? Apa semua berjalan dengan lancar?" Tanyanya padaku.
"Ya, seperti inilah.
"Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu," ujarnya sambil menatapku lekat.
"Duduklah, sebenarnya angin apa yang membuatmu datang ke sini? Bukankah kau telah memutuskan untuk pergi ke Amerika saat itu?" tanyaku sambil mengingat kembali saat dimana Kenan pergi tanpa memberikan penjelasan padaku.
"Maafkan aku Renata. Aku pergi tanpa bermapitan padamu, tapi sungguh aku tidak bermaksud membuatmu terluka." Lelaki itu kini menggenggam kedua tanganku.
"Kau tidak perlu meminta maaf, ini bukan salahmu. Lagipula kau pergi karena orang tuamu menginginkannya," ucapku pada lelaki itu datar.
"Maaf Rena, waktu itu aku ingin sekali berpamitan denganmu namun entah mengapa aku takut membuatmu bersedih. Aku tak sanggup melihatmu kalau sampai kau menangis."
Aku hanya tersenyum kecil mendengar penjelasannya, aku sudah tak ingin membahas hal itu lagi dan biarlah itu semua menjadi kenangan antara diriku dan Kenan saat itu. Pada akhirnya aku telah menikah dengan lelaki pilihanku dan memiliki dua orang anak yang sangat menggemaskan. Meskipun lelaki yang kucintai itu juga yang telah memporak porandakan hidupku.
"Oh ya Rena, aku lupa memberitahukan padamu, kedatanganku ke sini untuk melakukan kerja sama dengan perusahaanmu," tukas lelaki itu padaku sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Benarkah? Kau berniat menjadi investor?"
Kenan menganggukkan kepalanya sembari menatapku lekat.
"Aku sengaja datang ke Indonesia hanya ingin bertemu denganmu dan sewaktu aku mengetahui perusahaanmu sedang membutuhkan investor, aku berinisiatif untuk bekerjasama denganmu," jelas Kenan padaku.
"Baiklah, tetimakasih kau sudah mau membantuku. Aku janji akan mengembalikan secepatnya suntikan dana yang kau berikan," ucapku tanpa menatap matanya.
Aku merasa menatapnya bukanlah hal yang tepat saat ini, karena akan membuatku terperangkap dalam cintanya lagi. Sungguh, melihat wajahnnya saat ini membuat detakan jantungku semakin berdentum dengan cepat, wajah yang terlihat dewasa dari sebelumnya, saat aku bertemu dengannya semasa sekolah. Bahkan wajah itu telah ditumbuhi rambut-rambut halus yang membuat setiap wanita akan ingin menyentuh rahang tegasnya itu.Terlebih manik matanya yang hitam pekat membuatku takut untuk jatuh cinta kembali padanya seperti sepuluh tahun silam.
"Aku tidak ingin kau mengganti apa yang telah ku investsikan pada perusahaanmu karena aku tidak sedang memberikanmu pinjaman, aku menanamkan modal untuk perusahaanmu," tegasnya meyakinkanku.
"Aku tahu itu, tapi ... "
Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, lelaki itu mendekatkan tubuhnya padaku dan sekarang dia berdiri tegak dihadapanku. Aku benar-benar merasa gugup saat berhadapan dengannya dan benar-benar tidak sanggup menatapnya. Aku hanya mampu menundukkan kepala.
Kenan tahu persis dengan sikapku, tangannya menyentuh daguku kemudian mensejajarkan wajahku dengan wajahnya.
"Kau takut berhutang padaku? Sehingga kau mencoba menghindar dari bantuanku?" Tatap lelaki itu dengan intens padaku.
"Apa maksudmu?" Aku mulai gusar dengan perlakuannya.
"Aku sangat mengenalmu Renata. Sebenarnya kau ingin menghindariku setelah kau tahu akulah investor dari Amerika yang akan bekerjasama dengan perusahaanmu." Kenan mendekatkan wajahnya padaku, membuatku terperanjat dan tersudut, aku memundurkan langkahku. Namun, lelaki itu dengan sigap mengungkung. Dia mengurungku dengan kedua tangannya yang bertumpu ditembok sambil menatapku tajam. Lagi-lagi aku tak mampu menatap maniknya akupun tertunduk. Kenan tertawa seolah mengolokku.
"Kau? Kau pikir apa yang lucu?" sungutku padanya.
"Kau masih seperti yang dulu, setiap kali merasa gugup kau selalu tak mau menatap mataku."
Aku mengerjapkan mataku tak ingin merasa kalah darinya. Aku berusaha keras untuk menatap matanya, namun kali ini aku benar-benar terperangkap pada manik matanya. Aku tak sanggup berkata apapun hanya menatap manik hitam itu tanpa suara.
Dia masih saja menatap mataku sambil mendekatkan wajahnya yang kini tidak berjarak padaku. Nyaris saja bibirnya menyentuh bibirku. Akupun memejamkan mata merasakan deru nafas yang hangat berada didepan wajahku.
"Kau pikir aku akan menciummu?" ucapnya sambil menyentil keningku.
Aku merasa kesal dengan sikapnya yang selalu mengolokku.
"Aku juga tidak ingin kau melakukannya," gerutuku dihati.
"Aku bisa mendengarkan meskipun kau hanya berucap dihati," tuturnya membuatku terkejut.
Aku tak ingin berdebat dengannya, akupun mendorong tubuhnya agar tidak lagi mengungkungku.
"Menyebalkan!"
Kenan terkekeh mendengarkan omelanku. Dirinya benar-benar merasa puas saat melihatku merasa kesal padanya. Memang begitulah kebiasaannya padaku. Dia akan selalu membuatku gugup saat berdebat dengannya agar aku tidak mampu menghadapinya. Dia benar-benar tahu persis titik kelemahanku.
"C'mon Rena, apa kau tidak merindukanku? Bukankah dulu kau selalu menungguku untuk selalu bisa bersama denganku?" Lelaki itu mencoba mengingatkanku akan masa lalu yang telah lama aku lupakan.
"Itu dulu Kenan, sebelum kau meninggalkanku, tapi kini itu semua tidak akan pernah terjadi karena aku telah melupakan semuanya," ucapku sambil memutar bola mataku.
"Apa kau tak ingin mengulang masa itu lagi? Bukankah saat kita bersama dulu itu hal yang palinh menyenangkan?"
"Kenan, ku mohon jangan bahas itu lagi. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Itu sangat menyakitkan bagiku," ringisku padanya.
Kenan terdiam, dirinya seakan mengerti bahwa aku tak ingin mengingat masa-masa saat cinta itu masih tumbuh dan bersemi antara aku dan dirinya. Entah apa yang membuatku ingin menghilangkan semua rasa itu, aku tahu perpisahanku dengan Kenan waktu itu hanya karena masalah waktu dan tempat. Namun, entah mengapa terasa menyakitkan bagiku. Membuatku tak bisa melupakannya begitu saja. Meskipun aku sadari aku sangat senang dengan kedatangan Kenan. Terlebih saat kulihat api cinta itu masih membara dimatanya, tetapi aku masih takut untuk memulainya kembali. Mengingat dengan pengkhianatan dan masa lalu bersama Alvian membuatku belum bisa membuka hatiku untuk lelaki lain.
***
Kenan baru saja sampai di apartemennya. Dirinya menghempaskan tubuhnya ke sofa dan menyandarkan kepalanya pada sandran sofa. Sejenak memejamkan matanya kemudian membuka kembali matanya dan menatap langit-langit apartemen. Dirinya teringat akan pertemuan singkatnya dengan Renata. Kenan tersenyum tipis mengingat bagaimana wajah gugup Rena saat menatapnya.
"Cantik, kau masih secantik yang dulu. Wajah merona itu benar-benar menggemaskan," gumamnya dalam hati.
Kenan mengambil ponselnya dari saku celananya dan membuka layar ponselnya. Mencari foto yang terdapat dalam gallery ponsel tersebut, dirinya mendapati wajah Renata yang masih tersemat dalam gallery ponselnya.
"Aku janji Rena, setelah pertemuan kita hari ini aku pasti akan mendapatkan hatimu kembali. Apapun caranya pasti akan kulakukan," monolognya menatap foto Renata di ponselnya.
Benar, setelah sepuluh tahun berlalu Kenan masih betah menikmati kesendiriannya. Entah apa yang dipikirkannya, selama ini banyak wanita yang datang silih berganti kepadanya namun dirinya tidak pernah mempunyai komitmen dengan mereka, Kenan hanya sekedar bersenang-senang tanpa ada cinta. Kenan yang sangat mengetahui pesona yang terdapat dalam dirinya mendekati para wanita hanya untuk berpetualang tanpa ada ikatan. Namun, dirinya masih tak bisa melupakan Renata. Baginya Renata memang sepesial. Bahkan saat di sekolah dulu dirinya tak mau mempermainkan Renata, selalu berdua dalam segala hal, melindungi dan mencoba menjadi sahabat yang baik untuk Renata.
Setelah pergi ke Amerika, Kenan masih mencoba menghubungi Renata tapi seakan takdir tak bersahabat saat itu, dirinyapun kehilangan kontak dengan Renata. Kenan berjanji pada dirinya sendiri akan menemui Renata dan membuat hubungan mereka menjadi hubungan yang sakral.
Namun, akankah Kenan bisa menerima keadaan Renata yang sekarang? Renata adalah single parent dengan dua orang anak. Apakah Kenan masih akan tetap mencintai Renata seperti saat dulu?
Entahlah biar waktu saja yang menjawab semua.
***
Sementara itu, Anastasya baru saja hendak menuju lift untuk segera turun ke lantai dasar karena saat ini adalah waktunya pulang. Ryan yang baru saja keluar dari ruangannya mendapati wanita itu akan menekan tombol lift. Ryan segera menghapirinya, baru saja pintu lift terbuka, melihat kedatangan Ryan dihadapannya, Anastasya terperanjat dan mematung. Dirinya terlalu gugup saat bertemu dengan lelaki itu. Masih terngiang dalam ingatannya bagaimana lelaki itu begitu menentangnya saat dia kembali lagi ke perusahan itu.
"Hei, apa kau akan tetap berdiri disitu? Kau akan menghalangi pintu lift itu untuk tertutup," ujar Ryan sambil menjentikkan jarinya pada Anastasya.
Wanita itu masih saja mematung, tidak tahu harus berkata apa.
"Masuklah, kali ini aku tidak akan mengusirmu. Maaf aku sudah bersikap terlalu keras padamu tadi pagi."
Anastasya hanya tersenyum simpul. Kemudian masuk ke dalam lift yang sama.
Sebenarnya, Ryan tidak suka bersikap kasar pada wanita, tapi apa boleh buat kelakukan Anastasya yang telah membohonginya dengan menghancurkan rumah tangga kakakknya dan nyaris saja membuat bangkrut perusahaa milik Renata itu, membuatnya malu dan sangat kecewa. Karena waktu itu dialah yang mengenalkan Anastasya hingga bisa masuk ke perusahaan itu. Namun Anastasya berbuat curang.
Saat di lift, hanya suasana hening tanpa sepatah katapun diantara Ryan dan Anastasya. Sungguh menegangkan saat mereka hanya berdua didalam ruangan persegi yang kecil itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments