‘’Besok nggak usah menjemputku, aku sedang tidak ingin kemana-mana,’’ ucap Alesya sebelum John meninggalkan apartemennya. Pria itu akan kembali ke rumah keluarga Alesya. Tadinya, Alesya mengajak John untuk tinggal bersamanya di apartemen, tetapi orang tuanya tidak setuju karena walau bagaimana pun John adalah seorang pria dan Alesya adalah seorang wanita.
Dengan lemas dan setengah mengantuk, Alesya membawa langkahnya menuju lift.
Di dalam lift, Alesya berdiri dengan menutup rapat matanya, punggungnya di sandarkan pada dinding lift. Saking mengantuknya, dia sampai lupa menekan angka pada tombol lift.
Di sampingnya, Devan sedang menggelengkan kepala, dia lalu membantu Alesya untuk menekan angka pada tombol lift. Sepertinya Alesya tidak menyadari keberadaannya.
‘’Apa kau akan tidur dalam lift?’’ tanyanya. Tangannya menahan agar pintu lift tidak tertutup lagi. Sekarang mereka sudah berada di lantai 12 dan harusnya Alesya turun di lantai ini.
Alesya kaget, wanita itu memaksa untuk membuka lebar dua matanya yang sedikit berat. ‘’Kau, sejak kapan kau disini?’’ tanya Alesya.
Bukannya menjawab, Devan malah fokus memperhatikan mata bulat Alesya. ‘’Apa yang membuatmu menangis?’’ tanyanya tanpa sadar, sedangkan Alesya tampak bingung, wanita itu kurang mengerti dengan apa yang dipertanyakan Devan.
‘’Ha?’’
Devan langsung mengubah topik, saat sadar akan pertanyaannya yang salah. ‘’Kau mau keluar atau tidak?’’ tanyanya dengan nada kesal.
‘’Nanyanya nggak usah pake urat juga kali,’’ jawab Alesya dengan tidak kalah kesalnya dan langsung melangkah keluar dari lift. Setelah keluar, Dia kembali memutar tubuhnya dan melayangkan tatapan tajamnya sebelum akhirnya melangkah menuju unit apartemennya.
Di unit apartemennya, Devan belum juga bisa memejamkan matanya, beberapa kali dia berputar-putar diatas ranjang, tetapi kantuk tidak juga datang menghampiri, ditambah lagi pikirannya sama sekali tidak bisa lepas dari Alesya.
Pria itu begitu penasaran akan apa yang terjadi pada Alesya, apa yang membuat wanita itu menangis. Dia juga mengingat bagaimana sedihnya wajah Alesya tadi.
Di saat Devan sedang galau memikirkannya, Alesya malah sudah tertidur dengan begitu pulasnya.
*****
Matahari mulai menampakan cahayanya, langit yang tadinya gelap perlahan berubah menjadi terang. Alesya, wanita itu masih asyik dibalik selimut tidak beraturan yang menutupi tubuhnya. Sampai dering ponsel mengagetkan, memaksanya untuk membuka kedua mata yang masih enggan untuk terbuka.
‘’Aish siapa sih?’’ teriaknya dalam hati saat dering ponselnya tidak kunjung berhenti. Dengan mata yang masih setengah tertutup, dia menggapai asal samping kiri dan kanannya, berharap dapat menemukan ponselnya, tetapi nihil.
Mau tidak mau, dia bangun. Matanya bergerak kesana sini untuk mencari letak ponsel. Sialnya, ponsel itu malah berada diatas meja rias dan itu artinya dia harus turun dari ranjang.
‘’Awas saja kalau kau hanya ingin membicarakan hal yang tidak penting,’’ ucapnya kesal pada nama kontak yang tampil pada layar ponselnya.
‘’Ini hari minggu dan ini masih pagi, Chloe Anastasya,’’ Bukan sapaan yang diberikan, melainkan protes akan gangguan yang diterimanya.
‘’Sudah jam 7 Al.’’
‘’Dan kau pikir jam 7 itu apa, kalau bukan pagi?’’ Alesya memutar jengah bola matanya, saat mendengar suara cekikikan di seberang ponsel.
‘’Kenapa kau menelponku?’’ tanyanya dengan nada ketus. Dia sedikit kesal.
‘’Kau mau berangkat jam berapa nanti?’’
‘’Kemana?’’
‘’Reuni Al, jangan bilang kau lupa?’’
‘’Hari ini?’’
‘’Iya, ‘kan di grup ada Al, aku juga sudah pernah bilang ‘kan?’’
‘’Yasudah, aku nggak jadi pergi kalau begitu.’’
Alesya kembali meletakan ponselnya di meja rias, sesaat setelah Chloe mengakhiri panggilan telepon. Wanita itu lalu melangkah menuju bingkai foto Max, untuk menyapanya. Setelah itu, dia menuju bathroom untuk membersihkan wajahnya
Sehabis mencuci wajahnya, dia langsung melangkah menuju dapur karena perutnya sudah mulai protes. Maklum, dari semalam dia tidak makan, dan hanya makan sepotong roti dan segelas matcha di sore hari.
Harapannya pupus, saat melihat isi kulkas. Sama sekali tidak ada bahan makanan didalam lemari pendingin dua pintu itu, dan hanya ada beberapa jenis coklat, ice cream dan beberapa kaleng soda.
‘’Kenapa harus soda dan bukan susu, kenapa harus ice cream dan bukan roti? Ini juga coklat … aish kenapa sih isi kulkasku berbeda dari isi kulkas orang lain?’’ protesnya diiringi suara tangisan. Bukan benar-benar menangis ya, tetapi hanya mengeluarkan suara tangisan. Dia menutup kembali pintu kulkas dan melangkah menuju sofa yang berada di ruang tamu.
Di sofa itu, dia mengeluarkan suara-suara protes yang entahlah, apa yang diucapkannya. Badannya sudah menungging dengan tangan kanannya memegang perut sedangkan tangan kirinya berada diatas kepala.
Tiba-tiba saja dia mengangkat kepalanya lalu tersenyum, saat ide aneh muncul dalam pikirannya. ‘’Kalau lapar ya harus mencari makanan, memangnya kau bisa kenyang hanya dengan mengurung diri atau merengek?’’ protesnya pada diri sendiri, dengan memukul kecil perutnya.
Dia lalu turun dari sofa, melangkah keluar dari unit apartemennya dan menuju tempat asing yang kini ada dibenaknya. ‘’Semoga dia belum berangkat ke restoran,’’ gumamnya. Tangannya perlahan terangkat untuk menekan bel.
Ceklek
Pintu terbuka dan menampilkan Devan dengan penampilan yang sedikit urakan, sepertinya pria itu baru bangun dari tidur. Beberapa kali juga dia menguap.
‘’Ada apa?’’ tanyanya. Entahlah pria itu sedang sadar atau tidak. Ingin sekali Alesya tertawa, harusnya tadi dia membawa ponsel, biar bisa memvideo atau mengambil foto Devan.
‘’Ternyata seperti ini penampilanmu saat bangun pagi?’’ tanya Alesya disertai tawa kecil. Sontak saja Devan kaget, matanya langsung melotot sempurna, karena mendengar suara Alesya. Sepertinya dia belum benar-benar sadar.
‘’Ada apa?’’ tanyanya lagi dengan suara datar. Pria itu mengucak matanya beberapa kali, untuk menjernihkan penglihatannya. Dia juga tidak malu akan penampilannya. Lagian, mau dalam keadaan apapun wajahnya tetap tampan, pikir Devan dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.
‘’Kau sudah sarapan belum?’’ tanya Alesya yang membuat Devan menatapnya dengan tatapan bingung.
Sejak kapan wanita itu peduli padanya, sampai menanyakan sudah sarapan atau belum? Apa jangan-jangan ….
Saking herannya dengan sikap Alesya, Devan sampai berpikir kalau wanita itu sudah jatuh cinta padanya. Menurutnya, hanya itu alasan yang logis dengan perhatian tiba-tiba yang diberikan Alesya padanya.’’
‘’Jangan bilang kau …’’
‘’Kalau kau belum sarapan, aku boleh ikut nggak? Kebetulan aku juga belum sarapan,’’ ucap Alesya lagi, kali ini wanita itu sudah menampilkan senyum lebarnya. Devan pun hanya berdiri diam sambil merutuki pikiran bodohnya tadi.
Dia juga tertawa dalam hati karena merasa lucu akan hal itu, bisa-bisanya dia berpikir Alesya mencintainya, kenapa pikiran bodoh itu bisa muncul di kepalanya?
‘’Mau ngapain?’’ tanyanya saat Alesya sedikit menyingkirkan tubuhnya dan nyelonong masuk begitu saja ke dalam apartemennya.
Bersambung .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments