Bianglala
Sejak menyelesaikan urusan kami perihal jadwal kuliah, gue dan Mei memilih untuk tidak langsung pulang. Mei berniat untuk tetap di kampus karena ia ada pertemuan perdana bersama anggota UKM Band siang ini dan gue cuma mengikutinya.
Lagi pula gue juga bosan kalau cuma berdiam diri dirumah, tapi ternyata duduk di kantin bersama Mei jauh lebih membosankan. Kalau seperti itu rasanya lebih baik gue bersantai di rumah.
"Teman baru? Emang harus ya?" tiba-tiba gue teringat pembicaran semalam dengan Aga, sahabat gue sejak kecil. Kami sempat membahas perihal pertemanan semalam.
"Apanya yang harus? Kalau ngomong tuh yang jelas Rhea." Mei yang tadinya fokus pada ponsel langsung menatap gue penuh tanya, sepertinya ia mendengar gumaman tidak jelas tadi.
"Em, tentang..." gue menjeda ucapan, karena masih ragu akan mengutarakannya pada Mei atau tidak mengingat akan seperti apa responnya, "Ah, lupain deh. Anggep gue nggak ngomong apapun."
Mei hanya mendengus dan kembali menekuni aktivitasnya yang tertunda. Dia tidak lagi memperdulikan apa pun yang gue lakukan. Gue pun begitu, tidak lagi berniat untuk mengajak Mei ngobrol karena bisa dipastikan pada akhirnya kami akan berdebat.
Lyra yang baru saja tiba mengomentari kami yang hanya diam sejak tadi, "Kalian tuh, duduk bareng tapi kayak orang musuhan."
"Mei tuh dari tadi sibuk sama notesnya. Mana gue dicuekin pula." Gue memutar bola mata malas, melihat Mei yang masih saja fokus dengan notesnya dan mengabaikan gue dan Lyra.
"Apaan sih Rhea, siapa yang cuekin kamu sih!" Mei terlihat tidak suka dengan protesan gue, berujar dengan nada sinis.
"Dih, gitu aja sewot." Gue melayangkan tatapan tajam menantang Mei yang masih menatap sinis. Begitulah kami berdua, sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah. Sepertinya sebentar lagi kami akan bertengkar.
Lyra yang sudah paham dengan tabiat kami hanya menatap datar. Lyra sama sekali tidak berniat melerai gue dan Mei, dia malah sibuk dengan ponselnya dan tidak memperdulikan kami.
"Tahu gitu gue ikut Aga tadi, daripada di sini cuma diem doang kayak patung."
"Lah terus kenapa masih disini?"
"Aga lagi ada urusan." Bukan gue
Sebentar, ngomong-ngomong soal Aga sepertinya gue melupakan sesuatu. Tapi apa ya, kayaknya Aga udah memperingatkan gue sejak semalam tapi gue lupa.
"Eh iya, ini nanti malem kita jadi mau kumpul?"
Kalian berdua aja yang bahas, aku ikut aja keputusannya gimana. Sekarang mau ke ruang musik dulu, bentar lagi latihan dimulai," ucap Mei yang langsung membuyarkan lamunan gue tentang Aga.
"Bentar, Ra! Kayaknya gue lupa sesuatu. Bahas itu nanti aja, gue mau ketemu Aga dulu."
Gue buru-buru mengemasi barang milik gue yang tercecer di meja. Dengan sedikit berlari gue keluar kantin menuju parkiran mobil.
"Rhea, lo ngapain sih lari-lari. Mana gue ditinggalin." Lyra yang tidak terima karena gue meninggalkannya di kantin memprotes sambil berusaha menoyor kepala gue. Tapi belum sempat niat Lyra itu terlaksana seseorang menyerukan nama lengkap gue.
Ah, sepertinya Aga sudah benar-benar marah. Setelah ini gue pasti akan mendapatkan omelan panjang dari lelaki itu.
"Rhea Arysta Yasmine."
Mendengar nama lengkap gue disebut dengan penuh penekanan oleh Aga, reflek kami berdua langsung menengok ke arah asal suara itu. Rupanya Aga sudah berdiri samping mobilnya dan sepertinya sudah menunggu gue sejak tadi.
"Ehehe, maaf Ga. Gue lupa."
Aga menatapku takjub, "Tsk, kebiasaan. Pasti lo lupa juga kalau sore kita ada janji ketemu rekannnya Bang Eza."
"Eh, janji?" Gue mencoba mengingat janji yang dimasud Aga, jujur saja gue benar-benar lupa soal janji itu.
"Janji apaan sih? Kok kayaknya dari tadi bahas janji mulu. Bawa-bawa nama Kak Eza juga." Lyra yang penasaran akhirnya bertanya pada Aga yang sedari tadi terus-terusan mengungkit soal janji yang gue lupakan.
"Iya, gue sama Bang Eza kerjasama. Lebih tepatnya sih komunitas yang gue ikutin ada proyek bareng sama perusahaan temennya dia," ujar Aga memberitahu Lyra juga sekaligus mengingatkan gue tentang janji itu.
Ah, rupanya janji untuk berdiskusi dengan Kak Bryan tentang kelajutan kerjasama komunitas menulis. Bagaimana bisa gue melupakan janji sepenting itu, untung saja Aga mengingatkan. Kalau tidak, bisa-bisa gue kena amuk anak-anak komunitas.
"Lo mau gimana Ra? Ini gue udah ditelponin sama abang lo. Rhea kudu ikut gue sekarang." ucap Aga sembari menerima panggilan dari Eza di ponselnya.
"Eh, kok sekarang? Katanya masih nanti sore. Nggak mau tahu, gue mau jalan dulu sama Lyra." Gue merajuk pada Aga agar diperbolehkan pergi dengan Lyra. Tapi sepertinya Aga tak menghiraukan dan tetap fokus berbicara pada Eza di telepon.
"Nggak bisa Rhea sayang, kita nanti ada acara sama anak-anak. Lagi pula, nanti katanya lo mau nginep di rumah Lyra juga." Aga berujar dengan lembut sambil mengacak rambutku pelan. Dia memang paling ahli meredam kekesalan gue.
"Maaf ya Ra, kayaknya lo jalan sendiri deh. Gue harus kelarin urusan ini biar gue bisa ikut nginep." Mau tak mau akhirnya gue membatalkan rencana dengan Lyra.
"Yah, masa gue sendirian sih. Temenin dong, bentar doang kok. Nanti gue deh yang bilang ke Kak Eza." Lyra masih berikeras mengajak gue untuk ikut berbelanja ke supermarket.
"Boleh ya Ga, nanti gue anter Rhea ke kantor Kak Eza. Bentar doang kok, janji deh." Lyra berusaha membujuk Aga agar mengijinkanku pergi. Sedangkan gue hanya menatap penuh harap pada Aga. Karena sejujurnya gue memang sangat ingin pergi bersama Lyra walaupun hanya sebentar.
"Oke, masih ada waktu sekitar sejam. Kalian gue anter sekalian, searah juga kan" setelah sedari tadi hanya diam menatap gue, tiba-tiba Aga berbicara pada Lyra setelah ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Akhirnya kami bertiga menuju ke daerah Cihampelas untuk mengantar Lyra yang bersikukuh untuk tetap pergi walaupun hanya sebentar. Sebenarnya tujuan awal kami, hanya untuk mengantarkan Lyra ke Ciwalk karena anak itu ingin membeli beberapa barang untuk acara nanti malam. Tapi entah kenapa, Aga justru menarik gue untuk memasuki salah satu coffeshop yang ada di sana.
"Lo berdua mau pesan apa?" tanya Lyra yang langsung duduk santai di salah satu kursi kosong.
"Gue mau cappucino."
"Nggak usah, gue mau pindah ke lantai atas."
Gue dan Aga berucap bersamaan dengan jawaban yang berbeda.
"Buruan Rhea, Bang Eza udah nunggu," ucapnya sembari menarik tangan gue agar segera berdiri.
"Lo mau gimana?"
"Tenang aja, ntar gue bisa balik naik gocar atau bareng Kak Eza sekalian," sahut Lyra tidak meyakinkan, karena yang gue tahu, Lyra tidak akan mungkin berani menemui kakaknya itu.
"Yakin lo mau bareng abang lo yang galak itu," gue bertanya dengan nada sinis sambil menatap ragu Lyra ketika ia mengatakan pulang dengan kakaknya.
"Iya Rhea, lo tenang aja." Lyra mengangguk kecil menanggapi ucapan gue, "Kalian langsung ke atas gih, keburu Kak Eza marah gara-gara kalian telat. Dia kan nggak suka kalau diskusinya ngaret," lanjutnya.
"Kita duluan."
Begitu mendapat persetujuan dari Lyra, tiba-tiba Aga langsung menyeret gue yang jelas-jelas sedang membereskan novel yang tadi sempat gue keluarkan dari tas. Hah, cowok itu benar-benar tak punya perasaan.
Setelah diseret dengan tidak elit oleh Aga, di sinilah gue sekarang di lantai atas untuk menemui Kak Eza yang ternyata sudah berada di sini sejak tadi. Begitu sampai, kami langsung disambut dengan berkas proposal yang sepertinya sedang diperiksa oleh Kak Eza.
"Udah nunggu lama Bang? Maaf kita agak telat." Aga bergegas duduk disalah satu kursi kosong.
"Lumayan, lain kali jangan telat lagi. Gue nggak suka nunggu, buang-buang waktu."
Gue hanya mendengus tak suka mendengar ucapan Kak Eza yang terkesan menyalahkan gue dan Aga yang datang terlambat.
"Apaan sih, sok banget. Padahal temen lo aja juga belum dateng."
Entah gue bersuara terlalu keras atau memang pendengaran mereka cukup peka, karena Kak Eza dan Aga langsung menatap gue dengan sorot mata yang berbeda.
Aga menggeleng pelan sambil berbisik, berusaha memperingatkan gue agar diam dan tidak berulah lagi.
"Rhea, nggak usah mulai."
"Bukan gue sok atau gimana, gue cuma nggak mau buang-buang waktu. Masih banyak hal penting yang bisa gue lakukan selain menunggu kalian," sahut Kak Eza tenang sambil tetap fokus pada proposal yang sedang dicek ulang.
"Ini proposal udah bagus, cuma perlu diperbaiki dikit bagian aggarannya. Kalau bisa dibuat lebih detail lagi."
"Ah, oke. Nanti biar gue sama Rhea benerin. Terus ini kan rencananya kita mau bikin perpustakaan di Rumah Belajar Aksara, kalau sekalian diadakan kelas menulis gimana? Nanti biar anak-anak Goresan Pena yang handle."
Sepertinya Aga tidak membiarkan gue kembali memprotes ucapan Kak Eza karena ia langsung menyahuti dan fokus diskusi tanpa menunggu Kak Bryan yang belum datang.
"Maaf saya terlambat, tadi ada insiden kecil di bawah."
Kak Bryan muncul tak lama setelah Kak Eza dan Aga berdiskusi tentang proyek perpustakaan di rumah belajar.
"Duduk Kak, ini Aga sama Kak Eza juga baru mulai kok diskusinya." Gue mempersilahkan Kak Bryan duduk di satu-satunya kursi kosong sebelah gue.
"Gimana? Masih ada yang perlu di perbaiki nggak?" Kak Bryan bertanya setelah membaca proposal dengan seksama.
"Tadi Bang Eza cuma minta proposalnya diperbaiki soal anggaran," sahut Aga sambil mencatat beberapa poin yang menurutnya penting.
"Sama tambahan usul dari Aga, soal bikin kelas menulis di Rumah Belajar
"Oke berarti udah clear ya ini. Tinggal bahas yang lain," ujar Kak Bryan memastikan lagi tentang proposal yang gue buat.
"Ini mau lanjut atau udahan?"
"Cukup dulu deh Bang, lanjut lagi kalau anggaran dananya udah fix," sahut Aga sambil membereskan beberapa berkasnya tercecer di meja.
"Kira-kira butuh waktu berapa hari kalian menyelesaikan revisi proposal? Dua hari cukup?"
Gue langsung mendelik begitu mendengar penuturan Kak Eza. Yang benar saja, merevisi anggaran dana sebanyak itu hanya dalam dua hari. Huh, ingin rasanya gue memprotes, tapi mengingat kalau itu akan membuat pertemuan ini semakin lama, gue memilih mengurungkan niat itu. Lagi pula Aga sudah menyanggupinya.
"Yaudah kami duluan ya Kak."
Gue langsung menyeret Aga untuk bergegas pergi dari sana, karena gue sudah malas melihat Kak Eza dan tingkahnya yang sangat menyebalkan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments