Stay Alive - Jungkook
Katanya, keluarga adalah rumah tempatmu pulang. Mereka akan menyambutmu dengan tangan terbuka dan pelukan hangat, disertai sajian lezat mengenyangkan. Namun, mengapa tidak berlaku untuk Hara? Rumah itu bahkan enggan untuk ia singgahi. Meski bagian dalamnya terlihat mewah sekalipun, Hara tetap menolak dengan tegas. Yah, hidupnya memang tidak seberuntung mereka yang memiliki keluarga harmonis. Hara yakin, hunian mereka kerap dipenuhi obrolan hangat dan tawa riang. Tidak lupa meluangkan waktu untuk jalan-jalan rutin di akhir pekan, melakukan piknik di dekat sungai Han, ataupun hanya sekedar di depan televisi menonton film kesayangan. Jujur, Hara sangat iri.
Pun katanya, menginjak usia 22 tahun adalah masa transisi menuju kedewasaan. Dulu Hara tidak mengerti apa artinya dewasa. Yang ia tahu saat itu, menjadi dewasa yaitu melakukan tindakan tabu yang hanya bisa dilakukan orang-orang berusia 21 tahun ke atas; merokok, minum alkohol, berciuman, dan melakukan hubungan badan dengan lawan jenis. Ya, benar, itulah yang ia pikirkan. Memang bodoh dan sempit sekali pola pikirnya kala itu. Hingga akhirnya Hara mengalami sendiri fase yang diimpikan kebanyakan anak kecil. Aku ingin cepat besar. Aku ingin menjadi orang dewasa. Hey, Nak. Percayalah, kau akan menyesalinya nanti.
Di usia ini, kau tidak lagi mengalami permasalahan cinta ala anak remaja, bertengkar dengan teman karena tidak diajak main, atau uring-uringan karena tidak dibelikan barang yang kau inginkan pada orangtuamu. Oh, ayolah. Permasalahan yang akan kau hadapi jauh lebih besar dan lebih berat dari ini. Dan kau pasti akan menderita sakit yang disebut dengan Mental Illness. Tidak perlu heran jika dokter psikologis maupun psikiatri memberikan diagnosa depresi dengan bermacam istilah yang selalu diakhiri kata disorder.
Seiring berjalannya waktu, masalah lain akan bermunculan perlahan. Tidak peduli berapa besar beban yang harus kau genggam. Yah, mau bagaimana lagi, suka tidak suka harus dihadapi. Kehidupan ini akan terus bergerak maju, bukan? Pun, mau berkata belum siap juga tidak bisa. Lagipula, dirimulah yang setuju untuk lahir ke dunia ini setelah diperlihatkan bagaimana keadaan yang akan kau hadapi sebelum kau lahir. Walaupun terkadang orangtuamu sendiri tidak menginginkan keberadaanmu.
Seperti biasa, pagi ini ruang makan terlihat sepi. Tidak ada aktifitas bagi sosok seorang ibu di dapur yang biasanya membuat sarapan untuk anggota keluarga. Bahkan, tidak ada bekas piring kotor di westafel, atau suara tetesan air mengalir dari keran . Benar-benar sunyi. Seperti tidak ada tanda kehidupan di hunian berlantai dua yang berisikan empat orang di dalamnya.
Mungkin mereka belum bangun. Pikir Hara, mengingat jam masih menunjukkan pukul 06.00 KST. Yang artinya masih terlalu dini jika melakukan aktifitas di negara ginseng ini.
Gadis itu pun tidak ambil pusing. Tanpa berpamitan, ia bergegas keluar rumah meninggalkan suara derit pintu yang memecah keheningan, dan mulai menyusuri jalanan beraspal menuju halte bus terdekat.
Hara selalu berangkat kerja sepagi ini demi mengejar waktu, lantaran jarak dari rumah menuju jalan raya sangatlah jauh. Memakan waktu kurang lebih 20 menit jika berjalan santai---sekalian berolahraga menurutnya. Setelah itu, ia harus menunggu bus yang datang setiap 10 - 15 menit sekali. Kemudian disambung dengan naik kereta bawah tanah penuh sesak di jam kerja.
Sehari-hari Hara menggunakan transportasi umum sebagai sarana perjalanan. Yah, lagipula ia tidak mampu membeli kendaraan pribadi. Cukup memiliki tabungan saja sudah membuatnya bersyukur.
Total 2 jam perjalanan yang Hara habiskan untuk menuju tempat kerjanya. Sudah termasuk antrian panjang kereta bawah tanah, kemacetan di beberapa titik, dan adanya kecelakaan kecil di persimpangan lampu merah tadi---hingga menyebabkan arus lalu lintas sedikit terganggu.
Hara merenggangkan tubuhnya kuat-kuat ke udara, diakhiri hembusan napas panjang sebagai tanda frustrasi---menghadapi kenyataan di hari Senin ini, sebagai budak korporat di perusahaan ternama. Entah bagaimana ia bisa diterima bekerja di sana---di antara kualifikasi saingan yang lebih mumpuni. Namun yang pasti, ia percaya bahwa akan selalu ada setidaknya satu keberuntungan untuk hal yang tidak pernah disangka-sangka.
"Selamat pagi." sapa Hara pada sekuriti di lobi.
"Selamat pagi, nona Shin Hara." balasnya disertai senyum ramah.
Lantas gadis itu mulai menge-tap ID card yang mengalung di lehernya sebagai akses menuju lantai 23---lantai di mana ruang kerjanya berada.
Setelahnya, ia menuju lift yang tidak ada tombol sama sekali di sana. Cukup melakukan scan dengan ID card. Jujur saja, pertama kali bekerja di sana, Hara sangat terheran-heran dengan fasilitasnya. Kecanggihan teknologi yang digunakan tak henti-hentinya membuatnya berkata; Wah, keren. Seiring berjalannya 6 bulan, ia sudah mulai membiasakan diri. Walaupun terkadang masih suka bingung bagaimana cara menggunakan fasilitas tertentu.
Di sela-sela waktu menunggu pintu lift terbuka, terdengar hiruk pikuk karyawan wanita yang histeris menyambut kedatangan seorang pemuda di pintu lobi. Postur tubuh tinggi dibalut setelan jas mewah berwarna hitam, dengan beralaskan sepatu kulit mengkilap berwarna senada, dan yang paling mencolok adalah wajahnya yang sangat rupawan. Karena memang hanya ia yang memiliki rupa bak pangeran di antara karyawan pria di sini.
Pria bernama Nam Jungkook itu merupakan CEO sekaligus pewaris Nam Corp---perusahaan turun-temurun keluarga Nam yang memiliki ketinggian gedung hingga 38 lantai ini.
Tidak heran jika sekuriti dan orang-orang di sana membungkuk hormat padanya. Di samping itu, Jungkook baru kembali menginjakkan kaki di perusahaannya sendiri setelah 2 tahun tinggal di Amerika. Kehadirannya seakan membawa angin segar untuk membangkitkan semangat bekerja. Bagi kaum hawa tentunya.
Sejujurnya, Hara tidak mengenal Jungkook siapa. Ia pun baru bekerja selama 6 bulan di sana. Namun jika Hara perhatikan kembali, bukankah kehidupan Jungkook sangat sempurna di usianya yang ke 23 tahun? Memiliki rupa tampan, anak konglomerat, pewaris perusahaan, dan pastinya memiliki otak cerdas. Siapapun pendampingnya kelak, sudah pasti dari keluarga yang setara dengannya.
Lantaran terlalu asik mengagumi sang CEO muda, suara denting dari lift sampai membuat Hara tersentak. Ia lantas segera masuk ke dalam, menunggu lift mulai beranjak naik perlahan. Sementara Jungkook tengah berjalan menuju lift ditemani sekretarisnya yang merupakan seorang pria---mungkin seumuran dengannya. Entah lantai berapa yang akan ia tuju, lagipula gedung ini adalah miliknya sendiri. Ia tidak perlu memiliki kartu akses untuk pergi ke lantai manapun.
Setibanya di lantai atas, Hara meletakkan tas jinjingnya, dan mengeluarkan segulung kimbap yang ia beli di stasiun sebagai menu sarapan, sembari menunggu jam masuk kantor dimulai. Mereka lantas mengawali hari dengan melakukan meeting pagi terlebih dahulu. Tanpa ia sangka, meeting untuk divisi Strategi dan Pengembangan Operasi Layanan dipimpin langsung oleh Nam Jungkook. Sontak membuat wanita-wanita di ruangan berjingkrak kegirangan. Namun, tidak dengan Hara. Ia justru tengah sibuk memikirkan pekerjaan apa yang akan mereka berikan padanya. Mengingat statusnya masih anak baru.
"Selamat pagi, semua." vokal tenor dari sang CEO, sontak membuat semua mata tertuju padanya. Layaknya tengah dihipnotis, mereka---termasuk Hara---mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari pria begigi kelinci itu.
"Ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Sebagai pemimpin perusahaan, aku ingin tahu kendala apa saja yang dialami divisi Strategi dan Pengembangan Operasi Layanan bagian tim 2. Silahkan dari ketua tim dulu, tolong sampaikan."
"Baik, terima kasih tuan Nam, atas ketersediaannya meluangkan waktu untuk rapat hari ini." Ahn Hyoseop sebagai ketua tim, membuka suara. "Selama beberapa bulan ke belakang, kami menerima aduan dari klien yang komplain. Kata mereka, pelayanannya membosankan dan tidak membantu sama sekali. Maka dari itu kami melakukan pelatihan kembali untuk bagian customer service, dan mengajarkan metode layanan terbaru. Namun, kami masih menguji metode tersebut apakah dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau tidaknya." penjelasan Hyoseop ditanggapi anggukan mengerti dari Jungkook.
Di satu waktu, Hara menyadari bahwa pekerjaan menjadi CEO adalah yang terberat, lantaran harus memahami dan menguasai semua bidang di dalam perusahaannya. Yah, sebanding dengan gajinya juga, sih.
Tanpa terasa 2 jam telah berlalu, Jungkook mengakhiri rapat dengan meminta dikirimkan laporan hasil rapat hari ini. Tentu saja yang membuat laporan tersebut adalah Hara sang anak baru.
***
Di tengah sibuknya mengetik laporan, Hara menghentikan kegiatannya sejenak, lantaran jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Ia mencoba mengajak Kim Yeji---rekan kerja yang berada di samping mejanya untuk makan siang bersama. Sayangnya Yeji menolak, lantaran harus menyelesaikan pekerjaannya segera. Tentu saja Hara tidak ingin mengganggunya.
Rooftop gedung menjadi lokasi makan siang Hara kala sendiri. Untungnya di sini sudah tersedia beberapa fasilitas bangku, meja, dan sunblock shade, membuatnya betah berlama-lama dimanjakan pemandangan langit tanpa harus takut kepanasan. Ia pun tetap harus berhati-hati berada di sini, meskipun di sekelilingnya diberikan pengaman. Sungguh, Hara tidak ingin mati sia-sia karena terjatuh dari lantai 38.
"Kita bertemu lagi." vokal dari sang pemilik menyapa indera pendengaran Hara dengan lembut.
Gadis itu memutar tubuhnya, mendapati seorang pria yang baru ia kenal beberapa jam terakhir tengah berdiri di sana, sembari menggenggam sebungkus sandwich dan sebotol kecil susu pisang.
Melihatnya, Hara sampai membatin; Serius, makanan seorang CEO seperti itu?
"Oh, kau di sini, Tuan Jungkook."
"Boleh aku bergabung?" kedua bola matanya mengarah pada bangku panjang yang Hara duduki.
"Ya, tentu saja. Lagipula gedung ini adalah milikmu. Kau tidak perlu izin apapun," Hara menggeser tubuhnya sedikit menjauh guna memberi ruang, meski ia tahu masih banyak ruang kosong untuk Jungkook duduki.
Setelahnya, mereka menyantap makanan masing-masing dalam hening. Sesekali Hara mencuri pandang pada pria di sebelahnya, memastikan kalau Jungkook memang manusia asli dan bukan hantu. Lantaran aneh saja kenapa seorang CEO tidak makan bersama kolega di restoran di jam makan siang ini.
"Ada yang ingin kau bicarakan padaku?"
Hara sontak berpaling, diselimuti rasa panik yang menyapa.
Ia tahu aku mencuri pandang padanya?
"Tidak ada. Hanya penasaran kenapa seorang CEO makan di sini, bukan di restoran dengan kolega." sahutnya cepat.
Samar-samar terdengar Jungkook tertawa kecil. "Kau bilang gedung ini milikku. Aku tidak butuh izin apapun untuk makan di manapun, bukan?"
Hara terdiam. Iya juga, sih.
Suasana canggung pun mulai menemani keheningan mereka setelah selesai menyantap menu makan siang masing-masing. Tidak ada satupun yang membuka suara, hingga Jungkook berucap, "Kau ingat aku?"
Hara sontak mengernyit heran. "Maksudmu?"
"Sudah lama, wajar kalau kau lupa." Jungkook melanjutkan ucapannya tanpa berniat memberi penjelasan pada gadis di sebelahnya.
"Namun ingatlah hal ini," lanjutnya sembari menatap Hara lekat.
"Kau adalah aku."
Hara termangu, mencoba memproses informasi yang baru saja ia terima. Namun seberapa keras otaknya bekerja, gadis itu tetap tidak mengerti.
"Eh?!"
...To be continued.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments