Kalimat Sederhana

"Hari ini, masih sama. Satu garis lagi."

Mirae menatap suaminya, Jinan—saat suasana hening di ruang makan. Hanya dentingan suara sendok dan garpu berpaut dengan piring yang menyela obrolan mereka. Sesekali Younha melirik, bukan bermaksud untuk menguping percakapan rumah tangga orang lain, namun kini posisi Younha sedang makan bersama mereka dan luput dari pendengaran itu adalah hal yang mustahil. Younha mengalihkan perhatian pada Seojun yang sedang makan biskuit di pangkuannya sesekali mengajak bayi empat belas bulan itu berbicara.

Sesekali ia juga ikut menatap Jinan yang sedang meneguk air putih. Dia tahu obrolan yang sedang Mirae luruskan dan ia merasa salah tempat sehingga bingung sendiri untuk mengambil sikap.

"Lalu kenapa bersedih jika Tuhan belum menghendaki?" Tanya Jinan selagi menggenggam tangan Mirae yang tampak menunduk, sedih, dan gelisah. "Tak apa Mirae, berarti kita belum sempurna menjadi orang tua. Masih banyak hal yang harus kita pelajari. Kamu jangan terlalu memusingkan itu, bersabarlah. Aku takut kamu stress."

Mirae mengangkat pandangannya dan langsung lurus pada Younha dan kedua putranya yang berada tepat diseberang meja makannya. Tatapannya seolah menyimpan kesedihan juga ketegaran yang luar biasa.

Tangan rantingnya perlahan menggenggam tangan mungil Seojun yang berada pada pangkuan Younha. Mirae mengelus tangan lembut itu penuh kasih sayang dengan senyuman agak getir terselip dari bola matanya.

Younha hanya mengerjap. Tidak tahu harus berbuat apa. "Turutu.... Seojun mau ikut bibi Mirae?" Younha membujuk putranya agar mau menjulurkan tangan. Mirae tersenyum kemudian saat bocah itu merentangkan tangan. Badan kecil itu digendong perlahan untuk berpindah pangkuan.

"Tak apa Mirae, kamu bisa anggap Seojun dan Yeonjun seperti anakmu sendiri." Tukas Younha memberikan satu biskuit kecil.

"Terimakasih Younha." Jawab Mirae tersenyum.

Sambil mengajak main bayi di pangkuannya, Mirae berpikir dalam hati. Bukannya ia ingin membandingkan, namun bukankah tidak adil jika Tuhan malah menitipkan anak pada Younha dan suaminya. Mereka menyia nyiakan Seojun dan Yeonjun, menitipkan anak anaknya kesana sini, kurang kasih sayang dan perhatian. Sedang Mirae bahkan bisa memberikan segala cintanya untuk anaknya kelak.

Mirae menghembus nafas panjang. Terkadang ia kesal, namun ia tahu rasa kesalnya itu sangat tidak mendasar.

"Aku tidak seberuntung kamu Younha." ucap Mirae sambil mengelus rambut Seojun penuh kesedihan. "Karena itu aku senang jika kamu mau menitipkan mereka padaku. Mereka dapat menutupi rasa sedih dan kesepianku. Jadi jangan sungkan, titipkan saja mereka padaku ya?"

Younha melihat Yeonjun yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri—memainkan sosis goreng dengan garpu disamping tempat duduknya. Lalu pada Seojun yang berada di pangkuan Mirae. Anak seusia Seojun memang butuh kasih sayang lebih juga waktu bersama dengan keluarganya yang kini tidak bisa ia terima dari Younha dan suaminya.

Younha bersyukur bahwa Mirae sangat menyayangi Seojun dan Yeonjun. Setidaknya mereka tidak merasa kesepian.

"Kalau kamu tidak keberatan, aku akan menitipkan mereka kepadamu selagi aku bekerja." Keputusan Younha seketika membuat Mirae tersenyum dan antusias.

"Serius? Terimakasih Younha." sahut Mirae penuh binar bahagia. "Bahkan tak apa jika mereka menginap. Jika kamu mengizinkan, aku sama sekali tidak keberatan."

Jinan menepuk bahu istrinya pelan. "Seojun masih bayi, ia harus selalu dekat dengan mamanya. Ia tidak akan bertahan selama itu."

Teguran dari suaminya itu agaknya membuat Mirae tersadar dan meralat ucapannya. "Maafkan aku. Aku terlalu bersemangat."

"Hei, kenapa minta maaf?" Younha mencoba mencairkan suasana. "Seojun pasti rewel ya. Ia akan menangis saat mulai haus."

"Awalnya aku gugup saat Seojun menangis, aku bahkan menghubungi ibu mertuaku. Bertanya bagaimana cara menenangkan bayi menangis, aku juga ragu untuk menggendongnya karena anak seusia Seojun tulangnya belum terlalu kuat. Bahkan ibu mertuaku sampai datang untuk mengajariku cara menggendong bayi." Lanjut Mirae dengan nada cerita renyah, seolah menjelaskan bahwa ia sangat bahagia dapat menyayangi Yeonjun dan Seojun seperti anaknya sendiri. "Tapi kini tak apa, lama kelamaan aku mengerti dan mulai memahami."

Younha hanya mengangguk, memaksa otot kaku di sekitar bibirnya untuk tersenyum. Dalam batinnya ia berkata bolehkah berkata jika Younha sebenarnya iri dengan Mirae?

Mirae dicintai banyak orang. Suami, mertua, kakak, kerabat, tetangga, dan Younha sendiri. Ia juga ingin seperti Mirae yang keberadaannya memang dianggap dan dibutuhkan tidak sepertinya. Younha selalu menghadapi semua kehidupannya sendiri. Tidak ada dukungan, tidak ada kasih sayang, tidak ada yang menganggapnya.

Younha hanya lelah, ia ingin bersandar pada bahu seseorang sesaat. Seperti dahulu saat ia sering bersandar pada bahu Jinan. Ah, apakah hal itu mungkin terjadi lagi? Jinan kini telah memiliki pasangan sehidup sematinya. Younha jadi teringat dulu, kira-kira apa yang akan terjadi jika ia memilih tangan Jinan saat itu?

Kenangan hanya kenangan. Kini telapak tangan itu telah meraih orang lain.

...*****...

"Mama, memang peri Gigi itu ada?"

Kerjapan manis tapi penuh rasa penasaran, selimut yang menutupi sampai pinggang dengan kedua telapak tangan berada diperutnya. Yeonjun menatap sang mama yang duduk disamping ranjangnya dengan binar ingin tahu.

Younha tersenyum sambil mengusuk poni Yeonjun. "Kenapa tiba-tiba kakak tanya tentang peri Gigi?"

"Oh ya, kakak lupa. Ada sesuatu yang ingin kakak tunjukkan pada mama." Yeonjun langsung bangkit dari tidurnya, menyibak selimut kemudian kaki mungilnya mulai berlari untuk mengambil sebuah benda dari dalam tasnya yang berada diatas meja yang penuh dengan buku dongeng. Younha hanya melihat dengan heran, membiarkan jagoannya menunjukkan sesuatu padanya tanpa dibantu.

Sambil perlahan mendekati Younha, kedua tangan mungil itu menyembunyikan sesuatu dibalik badannya.

"Tada!!!" Seru Yeonjun mengeluarkan sebuah kotak plastik kecil yang berisi giginya sambil memamerkan kepada Younha deretan gigi yang sudah hilang satu dari tempatnya. "Gigi kakak udah copot."

"Wah, sekarang kakak sudah besar." Sahut Younha bangga. "Tapi pasti nangisnya kenceng 'kan?"

"Hehe, iya." Yeonjun memanyunkan bibirnya. "Tapi mama jangan bilang ayah kalau kakak menangis. Nanti kakak dimarahin ayah dan tidak dapat hadiah dari bibi Hyejin."

Seketika senyum Younha mulai luntur setelah mendengar nama Hyejin disebut. Kekasih suaminya itu sangat menyayangi Seojun dan Yeonjun seperti anaknya sendiri. Namun dibalik kasih sayang itu terselip rasa khawatir di benak Younha. Tidak tahu rasa kasih sayang itu asli atau sekedar kedok untuk lebih dekat dengan suaminya.

Younha menarik selimut Yeonjun saat bocah itu mulai berbaring lagi. Mendekatkan guling kesamping badan kecil itu tidak lupa satu boneka Kelinci kesayangannya. "Tapi kakak tahu dongeng peri Gigi dari siapa? bibi Mirae?"

Yeonjun menggeleng. "Dari ayah. Tadi siang ayah telfon dan bercerita tentang peri Gigi saat kakak bilang giginya copot."

"Ayah telfon?"

"Hm."

Hati Younha sedikit lega mengetahui jika mantan suaminya itu masih sering menghubungi anak anaknya walau melalui nomor Mirae. Lee Jihoon—mantan suaminya itu tahu jika setiap hari Mirae yang menjaga putranya saat Younha bekerja, sehingga menghubungi istri sahabatnya itu lebih efektif daripada Younha yang jarang bersama anaknya sendiri.

Jihoon itu sebenarnya perhatian, hanya terkadang salah menempatkan perhatian sehingga menimbulkan kesalahan.

Setelah lima belas menit membacakan Yeonjun dongeng, kini bocah empat tahun itu telah nyenyak menjelajah alam mimpi. Younha mengecup dahi putranya sekilas sebelum beranjak. Lampu utama kamar dimatikan, tidak lupa juga Younha menutup pintu kamar anaknya.

Waktu terus merangkak, hawa juga semakin dingin. Sebenarnya Younha lelah. Matanya berat dan tubuhnya lemas namun ia harus menuntaskan beberapa pekerjaannya.

Setelah memastikan bayi kecilnya pulas dalam boksnya, Younha melangkah ke konter dapur—mengambil kopi yang sudah mulai mendingin. Langkahnya menuju ruang tengah dengan laptop dan beberapa tumpukan berkas yang masih setia disana.

...*****...

Drrttt...... Drrttt.....

Getaran dan layar handphone yang menyala mengalihkan atensi Younha dari radiasi layar laptop—dibalik kacamata minusnya nama kontak itu masih sangat jelas terbaca.

Younha melirik jam dinding di konter dapur. Jam sebelas malam—hampir memasuki dini hari dan ada gerangan apa mantan suaminya menelpon. Tadinya Younha mengabaikan, biar saja mantan suaminya mengira bahwa ia sudah tidur. Namun panggilan masuk berkali-kali.

Ikon hijau digeser, Younha menekan tombol loudspeaker dan lanjut berkutat dengan laptopnya.

"Belum tidur?" gumam suara berat khusky seberang.

"Menurutmu?" Sahut Younha yang masih fokus pada layar laptopnya. "Lembur, ada report yang harus ku selesaikan. Besok setor ke atasan."

"Aku juga belum, sedang ingin mendengar suaramu." 

Younha mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Eh, maksudnya ingin mendengar cerita tentang anak anak." Jihoon terkekeh. Ia tersenyum tipis ditengah ruang apartemennya yang berpenerangan redup.

Younha menghela nafas, menyeruput kopinya perlahan. "Bukankah kamu sudah menelfonnya tadi siang? Yeonjun yang bercerita tadi."

"Ya, Yeonjun bilang giginya copot. Jagoanku sudah besar, ya" lirih Jihoon. "Rasanya baru kemarin aku menyuapinya makan bubur."

"Tubuhnya juga bertambah tinggi dan berbobot. Aku agak tidak kuat saat menggendongnya."

"Wah, kamu pasti mengurusnya sangat baik." senyum Jihoon dapat terlihat dari ruang gelap itu. "Mereka tumbuh dengan baik bersamamu, terimakasih."

Younha spontan menggeleng walau mantan suaminya tidak bisa melihat itu.

"Kamu juga ayahnya anak-anak, Mas." Younha merendahkan suaranya seolah menahan sendu. "Eksistensi kamu juga yang membantu pertumbuhan mereka."

"Malam itu, maaf aku benar-benar ada urusan mendesak."

Younha menghela nafas sesaat, sebenarnya masih dongkol dengan kejadian malam itu. Namun apakah ia harus selalu marah? Lagipula yang ia hadapi adalah anaknya sendiri. Mustahil jika Younha mengabaikan mereka.

"Tidak apa, aku mengerti."

Jihoon mengusuk tengkuknya ragu ingin mengatakan sesuatu. "Hm, akhir pekan bolehkah aku mampir?"

Seketika jemari Younha terhenti sesaat dari keyboard laptopnya. "Bukankah kamu selalu datang tanpa permisi?. Younha terkekeh. "Bahkan ditengah malam."

"Maaf untuk itu, salahmu sendiri tidak mengunci pintu dengan benar. Untung aku yang masuk bagaimana jika gorila." Jihoon tertawa lirih. "Jadi bagaimana?"

"Ya, anak-anak dirumah saat akhir pekan. Kamu bisa mengajaknya keluar."

"Bagaimana denganmu?"

Younha mengernyit, agak tidak faham dengan pertanyaan Jihoon. Kini pria itu sudah punya kekasih dan apakah mungkin Younha bisa keluar bersamanya walau untuk anak-anak? Sedangkan Hyejin seperti perangko kepada Jihoon. Menempel kemana mana.

"Kurasa Hyejin selalu senang membawa anak-anak." Tukas Younha mengangguk ragu. "Dia pasti juga merindukan Seojun dan Yeonjun."

Spontan Jihoon mengerjap tidak enak pada Younha. Sebenarnya Jihoon selalu mencari cara agar bisa bersama dengan Younha. Namun wanita itu selalu menyangkutkan Hyejin, walaupun Jihoon tahu bahwa Younha menahan perasaannya sendiri.

"Hei, aku bertanya tentangmu?" Lirih Jihoon mencairkan suasana. "Bisakah?"

"Sebenarnya akhir pekan waktu santaiku, tapi—"

"Jadi?" Sahut Jihoon.

"Ya?"

"Baiklah, akhir pekan aku akan menjemputmu. Oh, menjemput anak-anak maksudnya."

"Bagaimana dengan Hyejin?"

"Apakah aku harus mengirim dia ke Jepang dulu?" Jawab Jihoon terkekeh. "Jangan khawatir, dia memang akan ke Jepang besok. Katanya rindu dengan ibu."

"Jadi ini ajakan diam-diam?"

"Kurasa."

"Dasarr." Sahut Younha agak salah tingkah. "Sudahlah tutup telfonnya, aku tidak ingin dianggap sebagai perusak hubungan orang."

Jihoon terkekeh. "Aku sedang sendirian."

Tanpa sadar senyuman terulas perlahan dari bibir tipis Younha mendengar candaan dari sang mantan suami membuatnya agak berdebar dan sombong. Apakah pria itu selalu mencari cara untuk diam diam menghubunginya?

"Jangan terlalu larut mengerjakan tugasmu, hawa malam dingin jangan lupa gunakan pakaian yang hangat. Dan.." Jihoon agak menjeda kalimatnya. "Selamat malam."

Tutt..

Panggilan diputus Jihoon. Younha melihat layar ponselnya yang sudah berganti lockscreen foto Yeonjun sedang memeluk Seojun membuatnya otomatis mengulas senyum. Namun pikirannya bergelayut dengan satu kalimat Jihoon tadi.

"Selamat malam" adalah kalimat terindah yang menemaninya dalam kesunyian sendiri. Kalimat sederhana yang menjadi penyokong hari esok.

...*****...

Terpopuler

Comments

Weng Candra

Weng Candra

lanjutkan

2023-04-30

0

gemini

gemini

udah mampir ya kak ☺️☺️✌️

2023-03-23

0

Liandiva2630

Liandiva2630

Baca terus ya biar tahu jawaban dr teka tekinya☺️☺️

2023-03-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!