Jadi Istri Iparku
"Vin, tolong nikahilah Azizah seandainya usia kakak benar-benar hanya sampai sini!" pinta Hasan kepada adiknya yang paling dia sayang dan percayai selama ini.
"T-tapi, Kak. Dia istrimu, lagipula daripada bicara yang tidak-tidak seperti ini, lebih baik Kakak fokus untuk sembuh!" Gavin menggenggam erat tangan kiri Hasan yang terasa lemas dan dingin. Dia tidak mau kehilangan kakaknya, dia tidak mau ditinggal lebih dulu, dia tidak siap untuk itu.
"Kakak rasa usia kakak tidak akan lama lagi, tolong ingat permintaan kakak, Vin! Jangan biarkan anak yang dikandung Azizah menjadi yatim, lambat laun cinta pasti akan tumbuh di hati kalian. Kakak titip istri kakak, Vin. Tolong jaga dan sayangi dia seperti kakak menjaga dan menyayanginya selama ini!" Hasan menatap adiknya sendu, rasanya dia ingin sekali menua bersama dengan istri tercinta, tapi apalah daya jika Tuhan tidak mengizinkan takdir itu untuk terjadi.
"Aku tidak berjanji, Kak. Tapi, seandainya itu benar-benar terjadi, aku akan mencoba untuk menjadi ayah yang baik untuk anak kalian." Gavin mencium punggung tangan Hasan beberapa kali, berat sekali mengatakan kalimat itu, apalagi dia tahu seberapa besar rasa cinta di antara Hasan dan Azizah.
"Terima kasih, Vin. Terima kasih banyak. Kakak sangat mengantuk sekarang, kakak izin tidur dulu ya?"
Dan kalimat itu menjadi penutup ucapan Hasan untuk terakhir kali dalam hidup. Hasan meninggal dunia pukul 07.34 WIB setelah seminggu dirawat di rumah sakit karena sirosis hati yang baru diketahui penyakitnya satu setengah bulan yang lalu.
Selama ini Hasan tidak pernah memiliki keluhan sama sekali, dia terlihat sangat sehat. Memang, terkadang penyakit kronis baru ketahuan ketika sudah cukup parah. Sebenarnya Hasan masih bisa sembuh dengan menjalani operasi donor hati, tetapi sayang sekali keluarganya belum menemukan donor yang cocok sehingga Hasan harus meninggal karena penyakit kronis itu.
Kepergian Hasan membawa luka dan kesedihan tersendiri untuk orang-orang yang mengenal dan menyayanginya, baik dari pihak istri, kerabat lain, ataupun teman dan rekan kerja. Usianya baru dua puluh sembilan tahun ketika Tuhan mengambilnya kembali, dia meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anak pertama mereka.
Hari itu, Hasan langsung dimakamkan dan sekarang pemakaman masih terlihat ramai, beberapa orang masih menangis sesenggukan. Sekuat apa pun mereka berusaha untuk tidak meneteskan air mata, tetapi kesedihan membuat air mata mereka tetap mengalir dengan derasnya.
Setelah pemakaman selesai, satu per satu orang mulai meninggalkan pemakaman. Sekarang tinggal keluarga inti saja yang masih setia di sana dan enggan untuk pergi. Dua jam tanpa terasa sudah berlalu setelah pemakaman selesai.
"Sayang, ayo kita pulang. Kita sudah terlalu lama di sini!" ajak Farah kepada menantunya yang sejak tadi sibuk mengusap nisan Hasan sambil terus melantunkan doa.
"Ti-dak mau. Azizah masih mau di-di-sini, Ma!" tolak sang menantu dengan terbata-bata. Suaranya sangat serak, wajahnya sudah basah karena terus dialiri air mata, kelopak matanya bengkak dan memerah.
"Besok kita ke sini lagi, Sayang. Sekarang pulang dulu, ya! Ingat, Nak! Kamu sekarang sedang hamil dan kehamilan kamu itu cukup lemah, jangan sampai anak kamu kenapa-kenapa karena kamu keras kepala tidak mau pulang. Hasan tidak akan suka melihat kamu seperti ini kalau dia masih ada," nasihat Farah lembut seraya merangkul dan mengusap bahu menantu satu-satunya itu.
"Aku masih ingin di sini, menemani Mas Hasan, Ma. Jangan paksa aku pulang!" tolak Azizah lagi dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Kami tahu kamu sedih dan kehilangan, tetapi jangan sampai kesedihan kamu semakin bertambah karena kehilangan calon anak juga!" ucap Gavin yang sejak tadi hanya diam memerhatikan kakak iparnya, dia kasihan melihat Azizah seperti ini, tetapi dia juga kesal karena wanita itu benar-benar keras kepala.
Mendengar ucapan Gavin, Azizah malah kembali terisak kencang, dia tidak suka Gavin berkata seperti itu, dia benci kata-kata itu. Azizah kemudian langsung berdiri dengan perlahan, tetapi saat itu dia merasa kepalanya sangat pusing dan semua yang dia lihat menjadi gelap, tubuhnya terasa begitu lemas sampai akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri, beruntung seseorang menahan tubuhnya sehingga tidak langsung terjatuh di tanah kuburan.
***
Lima bulan berlalu dan kandungan Azizah sudah memasuki bulan ke delapan sekarang. Perutnya semakin besar dan bayinya juga sangat aktif di dalam sana. Beberapa kali dia masuk rumah sakit dan harus dirawat inap di sana karena kandungannya yang lemah. Dia juga sering drop karena merasa sedih tidak ada suaminya yang mendampinginya ketika dia hamil. Namun, Azizah sudah mulai mengikhlaskan Hasan karena tahu jika Tuhan lebih sayang dengan suaminya.
"Mbak, ini rujak mangga ya kamu minta. Saya membelikannya di tempat yang kamu maksud." Gavin yang baru saja pulang bekerja langsung menghampiri Azizah dan memberikan titipan kakak iparnya itu.
"Aku sudah tidak ingin memakannya, kamu saja yang makan!" ucap Azizah dengan begitu santai tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Saya tidak suka makanan yang asam," jawab Gavin sambil membuang napas kasar.
"Keponakan kamu yang memintanya, kamu tidak mau mengabulkan keinginannya?" Azizah menatap Gavin dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa sejak suaminya meninggal mereka memang menjadi lebih dekat, tetapi Azizah masih menganggap Gavin hanya sebagai adik ipar saja.
"Dih, padahal saya tahu kalau sebenarnya itu keinginan kamu melihat saya tersiksa makan makanan yang asam ini, 'kan?" tuduh Gavin dengan ekspresi wajah yang begitu kesal.
"Jadi kamu tidak mau? Kalau tidak mau ya sudah!" Setetes air mata menetes begitu saja di pipi Azizah. Entah kenapa dia benar-benar kesal karena Gavin menolak permintaannya.
"Lah, kok malah nangis beneran? Cengeng banget sih kamu, Mbak." Gavin kelimpungan, dia menatap rujak mangga di depannya kemudian tanpa aba-aba membuka dan berdoa kemudian memakannya. "Nih, aku sudah memakannya, jadi berhentilah menangis!" pintanya setelah menelan sesuap rujak mangga asam, pedas, dan manis itu dengan susah payah.
Azizah yang melihat itu langsung tersenyum senang. "Habiskan!" pintanya semakin melunjak.
"Mbak!" Gavin berteriak kesal tidak terima.
Azizah kembali menunduk dan ekspresi wajahnya berubah sedih lagi.
"Dasar keponakan yang sholeh, oke paman akan menghabiskan rujak ini." Gavin menatap perut buncit Azizah kemudian kembali memakan rujak mangga tadi dengan tenang.
Azizah yang melihatnya menelan ludah beberapa kali karena rujak itu terlihat sangat enak dimakan Gavin. "Vin, aku juga mau makan itu," katanya ketika rujak hanya tinggal separuh porsi.
"Beneran?"
"Iya." Azizah mengangguk dengan antusias.
"Ya sudah ini dihabiskan sekarang!" Gavin tersenyum lega, dia terkekeh pelan melihat Azizah mengambil rujak mangga tadi kemudian memakannya dengan begitu lahap. "Enak, Mbak?" tanyanya masih dengan senyuman, tetapi kali ini dia menatap sendu wanita itu.
"Enak, kapan-kapan belikan lagi ya!" ucap Azizah tanpa menatap adik iparnya.
"Oke." Gavin mengangguk, dia merasa sedih sekarang. Mungkin kalau Hasan masih hidup, yang ada di posisi ini adalah kakak tersayangnya itu. Namun, semua sudah berbeda sekarang, kakaknya sudah tenang di alam lain dan dirinya punya tanggung jawab yang sangat besar sekarang. Menggantikan posisi kakaknya dalam keluarga dan untuk Azizah juga.
Apakah aku harus menikahimu sesuai dengan permintaan terakhir kakakku, Zi? batin Gavin dalam hati dengan begitu sedih.
.......
.......
.......
...Usahakan setelah baca komen dan like ya. Share cerita ini juga boleh banget. Kasih hadiah juga alhamdulillah banget....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments