Setelah makan siang di restoran Jepang, kami memilih untuk langsung pulang. Di perjalanan tiba-tiba mas Dylan menghentikan mobilnya.
Ku lihat keluar jendela ‘Hah? Dimana ini?’ Tanyaku dalam hati. Tunggu.. tunggu.. entah mengapa perasaan ku mulai tidak enak.
Bagaimana kalau mas Dylan melakukan hal yang tidak-tidak, secara disini sangat sepi. Bagaimana ini? Ku gigit ujung kuku jempolku, hal yang selalu aku lakukan jika cemas.
Ku lirik mas Dylan “Loh, mas Dylan kemana?” Ku edarkan pandanganku disetiap sudut mobil, tapi tidak ada!
“Mas..” panggil ku
“Apa yang kau lakukan?”
Suara dari luar jendela menyentakku. Ku lihat rupanya mas Dylan sudah keluar dari dalam mobil dan sekarang berdiri di samping pintu mobil yang kududuki. Ku elus dadaku. Sejak kapan mas Dylan disana?!
“Mas kenapa turun?”
“Mau tunggu disini atau mau ikut masuk kedalam?” Mas Dylan nampak menunjuk sebuah bangunan.
Aku manggut-manggut, rupanya aku yang terlalu berpikir jauh “Maaf mas, aku tunggu disini ajah. Lagi dapet.” Lirihku di akhir kalimat
Mas Dylan hanya mengangguk dan masuk kedalam masjid. Yap waktu memang sudah menunjukkan jam 12.15, Waktu sholat Dzuhur.
Bonus mempunyai suami seperti mas Dylan adalah, mas Dylan itu taat agama. Yah aku juga kurang tau bagaimana, cuman yang aku lihat selama ini mas Dylan selalu sholat tepat waktu.
Mungkin karena pengaruh dari keluarganya, aku pernah bertemu kedua orang tua mas Dylan saat menemani mbak Indah dan mas Dylan menikah. Ibu mas Dylan memakai hijab panjang dan baju syariah. Kedua anak gadisnya juga seperti itu. Jadi yah mungkin mas Dylan rajin sholat karena sudah terbiasa dari kecil.
Lama aku menunggu hingga akhirnya mas Dylan kembali dengan rambut basah. Beuuuhhh gantengnya tambah berkali-kali lipat.
Mas Dylan masuk kedalam mobil. Aku masih terpana dengan wajah nya yang terlihat bercahaya, Memang nya setiap berdhu seperti itu yah? Wajah akan langsung bercahaya?
“Ada apa?”
“Ah! Ti.. tidak.” Aku gelagapan. Ku palingkan wajahku ke samping jendela. Nih Mata juga, lihat yang bening sedikit Langsung melotot!
Ku rasakan mobil bergerak “Kemana selanjutnya?” Tanyanya
Aduh kenapa pake tanya lagi. Kalau seperti ini kami jadi seperti berkencan! Sadar Ifa, dia suami mbak mu
“Fa?”
Aku tersentak mendengar mas Dylan memanggil namaku “Ha? Ah! Maaf mas, Ke toko Buku Ilham ajah.”
Mas Dylan hanya menoleh sesaat dan kembali melihat jalan.
Tak lama kami pun sampai di sebuah toko buku. Tempat ku bekerja paruh waktu.
“Terima kasih mas, untuk tumpangan dan traktiran nya.”
“Hmm jam berapa kau pulang?”
Aku sedikit bingung dengan pertanyaan nya. Ada apa yah? Walau bingung aku tetap memberitatahu “Mungkin jam 3 sore.” Jawabku sekenanya
.
.
memang sulit tuk dapatkanmu... tak mudah juga tuk lepaskan mu..
“oh percayalah sayang.. cintaku hanya untukmu.. oh.. berjalanlah bersama ku.. kita nikmati indahnya.. cinta.. sayangku... cinta ku..” Ku goyangkan sapu ijuk yang sedang ku pakai ke kanan dan kiri sembari bernyanyi.
Tok.. tok.. tok..
Aku terdiam, detik kemudian “Ku beruntung jadi, pemilik hati mu... Oh sayang ku.. cinta ku..” Tentu ku lanjutkan menyanyi dan acara sapu menyapu di hari weekend.
Tok.. tok.. tok..
“Ku berjanji tak kan permainkan mu.. tetap bersama ku sayang.. sampai tua nani...” Ku hiraukan ketukan pintu dari kamar kostku.
Tok.. tok.. tok..
Sekali lagi bunyi ketukan pintu terdengar. Aku mendengus, padahal hari ini aku libur. Kenapa harus ada yang ganggu.
Dengan langkah terpaksa aku menyeret kaki ku menuju pintu. Sapu masih sedia di tanganku. “Awas saja kalau bukan orang penting. Ku getok pakai sapu baru tau rasa.”
Ceklek..
“Apa sih!!!!” Tanpa ku lihat siapa yang datang langsung ku sembur dengan suara ku yang bernada beberapa oktaf.
“Assalamu'alaikum dek.”
“Eh! Mbak.. heheh wa'alaikum salam.” Jawabku sambil nyengir “Masuk mbak.”
Mbak indah nampak menggelengkan kepala “Untung tadi mbak yang datang, coba bayangin kalau orang lain.”
“Heheh maaf mbak.” Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal, sapu ijuk yang ku pagang ku sembunyikan di belakang ku.
Mbak Indah masuk kedalam kost kecilku, segera ku taruh sapu yang tadi ku pegang.
“Duduk mbak,” Mbak Indah duduk di lantai beralaskan karpet. Aku segera mematikan musik di ponselku.
“Mau minum?”
“Emangnya ada apa ajah?” Tanyanya sudah seperti memesan di rumah makan
“Air putih? Kopi hitam?” Maaf mbak, tapi disini tidak ada jus atau minuman mewah seperti yang ada di rumah mu
Mbak Indah tertawa geli “Tidak usah. Ada yang ingin mbak bicarakan sama kamu.” Ku lihat wajah mbak Indah berubah serius.
Karena ku rasa memang ada yang serius, aku pun duduk di samping mbak Indah “Ada apa mbak?”
“Hari ini hari bersih-bersih?” Mbak Indah melihat beberapa kantung sampah di sudut ruangan
Aku mengangguk “Iya mbak, maklumlah hari weekend gini mending pakai buat bebersih, soalnya hari-hari biasa gak ada waktu.” Jelasku. Aku juga masih menunggu apa yang ingin di katakan mbak Indah yang sebenarnya.
“Kamu punya pacar gak, Ifa?”
Aku yang ditanya tiba-tiba seperti itu menyerngit ‘kan dahi. Kenapa nih? “gak ada mbak. Mbak tau sendiri ‘kan aku sibuk kuliah dan bekerja. Gak ada waktu buat pacaran.” Jawabku
“Ada cowok yang kamu suka gak?”
“Memangnya kenapa mbak?”
“Enggak, mbak cuman penasaran. Tapi masa kamu benar-benar gak ada pacar, Ifa? Jangan ngawur.”
“Yah mbak gak percaya lagi, sumpah dah mbak. Aku sama sekali gak ada pacar atau pun cowok yang aku suka. Kenapa sih mbak? Mbak bukan datang kesini buat nanyain itu ‘kan?"
Mbak Indah menggeleng pelan “Emm.” Ku lihat mbak ku nampak gugup. Sekali-kali ia meremass satu sama lain telapak tangannya
“Jangan gugup mbak, bilang ajah. Ada apa sih?” aku mencoba memberikan pengertian
Mbak Indah melirik ku sekilas “Kamu bisa bantu mbak gak dek?” Tanyanya dengan penuh keraguan. Terlihat dari mata mbak Indah yang bergerak tidak beraturan
“Bantu apa mbak?” Tanyaku, sebisa mungkin biasa saja. Walaupun sebenarnya aku heran, bantuan apa yang ingin di mintai tolong padaku? Secara menurut ku nasib mbak Indah sudah sangat bagus.
“Emm kamu gak bakalan nolak ‘kan?”
Ku hembuskan nafas halus “In Syaa Allah mbak, kalau aku bisa bantu pasti ku bantu kok.” Jawabku seadanya.
Mbak Indah nampak menghela nafas panjang “Kamu tau ‘kan dek, mbak dengan mas Dylan udah satu tahun nikah tapi belum di beri momongan?” Tiba-tiba pembicaraan mbak Indah jadi mellow dan tak tau arah.
Apa hubungannya dengan bantuan yang tadi disebutkan mbak Indah?
Aku mengangguk “Semuanya ada jalannya masing-masing mbak. Mungkin mbak dan mas Dylan belum diberi kepercayaan dari yang maha kuasa untuk dititipkan anak.”
“Mbak tau dek, tapi gimana kalau selamanya mbak dan mas Dylan gak diberi kepercayaan? Apa yang harus mbak bilang pada keluarga besar mas Dylan?” Ia nampak sangat frustasi
“Kamu tau ‘kan keluarga mas Dylan itu keluarga seperti apa. Mereka keluarga terpandang dengan orang-orang elit. Mereka juga udah nuntut pengen punya keturunan dari mbak dan mas Dylan.”
Aku terdiam. Benarkah apa yang dikatakan mbak ku? Tapi yang aku lihat dari keluarga kakak ipar ku, mereka semua baik-baik dan seperti tidak mungkin akan menuntut hal seperti yang dikatakan mbak Indah kepadaku
“Tapi, bukannya masih ada kakak kembar dan adik kembar mas Dylan yah mbak? Kenapa jadi mbak yang harus di tuntut.” Ucapku
“Kamu gak tau Ifa? Cuman mas Dylan doang yang sudah berkeluarga dari keempat anak dari keluarga Sam.” Seru mbak Indah tak percaya menatapku.
Sam, adalah sebuah keluarga yang sudah tidak akan asing lagi bagi orang-orang di negeri ini ataupun di negara lain. Bahkan sampai ke pelosok negeri.
Aku mengangguk “Maaf mbak, aku lupa.”
Mbak Indah nampak menggeleng tak percaya “Kamu tau sendiri bagaimana terpandang dan terhormatnya keluarga mas Dylan. Coba bayangin istri dari anak kedua keluarga Sam gak bisa ngasih keturunan, Menurut mu gimana cara masyarakat melihat keluarga mas Dylan.”
Aku terdiam, benar saja pasti para deterjen Konoha akan koar sana koar sini tak jelas. Padahal mereka tidak tau bagaimana kebenarannya.
“Tapi mbak belum tentu gak bisa ngasih keturunan ‘kan? Bisa jadi tahun depan bisa. Atau kalau bisa mbak coba bayi tabung ‘kan juga bisa.” Usulku
Mbak indah menunduk dalam. Tak lama setetes air mata keluar dari dalam mata mbak ku. Tentu aku gelagapan, kenapa jadi tiba-tiba menangis? Apa jangan-jangan... Ku bekap Mulut ku tak percaya
“Mbak.. ini bukan..__”
“Iya Ifa, seperti yang kamu pikirkan. Hiks..” Mengusap air mata “Sebenarnya dua Minggu yang lalu mbak udah periksa dan hasilnya... Hiks.. mbak.. mbak.. yang ber.. bermasalah hiks.. hiks..”
Aku terdiam. Tidak ku sangka pemikiran ku tepat sasaran. Ku genggam salah satu tangan mbak ku yang ada di pangkuannya.
“Yang sabar mbak. Lagian mas Dylan juga kayanya gak maksa amat.” Aku mencoba membujuk. Walaupun aku tau tidak akan semudah itu untuk berdamai dengan keadaan.
“Hiks.. kamu salah dek, aku tau mas Dylan memang gak mengatakan nya langsung. Tapi dia selalu mengelus perut mbak berharap agar ada bayi kami yang tumbuh disini hiks..” Tangis mbak Indah semakin keras
Kalau di pikir-pikir sepertinya apa yang dikatakan mbak Indah benar adanya. Jika dilihat dari sifat mas Dylan yang irit bicara dan dingin aku yakin pria itu tidak akan mengatakan keinginan nya secara langsung.
Aku tidak tau harus apa. Aku tidak berpengalaman dalam hal berumah tangga. Ya iyalah, orang aku masih gadis!
Lama mbak Indah terisak, yang bisa ku lakukan hanya Memeluk nya saja sampai tangis mbak Indah kian reda.
Tiba-tiba mbak Indah menggenggam balik tanganku, dia melihat ku dengan tatapan berharap, sungguh tatapan yang membebani “Jadi, ada yang ingin mbak mintai tolong ke kamu dek.” Ucapnya
Aku balik menggenggam tangan mbak Indah “Bilang ajah mbak, In Syaa Allah aku bakalan bantu semampu ku.” Jawabku selembut mungkin
Ku lihat mbak Indah menarik nafas panjang lalu membuangnya “Tolong...., menikahlah dengan mas Dylan.”
.
.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Toko john 125
😱😱😱 sejarah berulang. Dulu ibunya Dylan yg minta spt itu sm ilyas. Skrg istrinya Dylan gitu jg. Udah mulai jelas ini alurnya 🤔😁 Lanjut kak...
2023-03-18
1
Rita
hmmm msh bnyk misteri 😌
2023-03-17
1