7. Merasa Tersisih

Ammar segera ke rumah sakit. Setibanya di sana Tari sudah di pindahkan di ruang perawatan dengan bayinya yang sedang berada di dalam boks. Ammar merasa sangat bersalah pada Tari karena sudah berjanji untuk menemani istrinya melahirkan.

"Tari ..! Sapa Ammar saat melihat Tari sedang tidur pasca melahirkan.

Suster yang baru masuk membawakan makanan untuk Tari, mencoba menjelaskan kepada Ammar tentang proses persalinan Tari.

"Istri tuan sangat mandiri dan tidak cengeng walaupun ia sempat mengalami kesulitan saat melahirkan bayinya. Mungkin terlalu lelah pasca melahirkan, nona Tari tertidur sampai saat ini. Mungkin sebentar lagi akan bangun. Sebaiknya tuan azan putra tuan saja karena belum di azanin." Ucap suster Ghita.

"Terimakasih suster untuk informasinya." Ucap Ammar.

Ammar memperhatikan wajah bayi tampan itu dan benar saja, wajah bayi Tari justru sangat mirip dengan istrinya. Itu berarti Tari tidak perlu kuatir karena wajah bayi itu tidak mirip dengan mendiang kekasih istrinya walaupun, Ammar sendiri belum pernah melihat foto wajahnya Syahril.

Saat Ammar mengumandangkan adzan, sayup-sayup Tari mendengar suara merdu dan syahdu suaminya. Baru pertama kali Tari mendengar suara azan yang dikumandangkan Ammar.

Hatinya terasa tenang dan sangat nyaman. Mungkin Ammar orang timur tengah jadi suara mereka rata-rata sangat indah karena sering bersentuhan dengan ibadah sholat. Bagi orang Arab, orang yang Arab yang tidak sholat itu adalah suatu aib. Jadi mereka tidak pernah meninggalkan sholat.

Ammar membaringkan lagi bayi itu ke dalam boksnya dan melihat Tari yang sedang tersenyum padanya. Sebenarnya Tari sangat kecewa pada suaminya, namun ia menahan diri untuk tidak marah pada Ammar karena ia merasa pernikahannya dengan Ammar atas rasa belas kasih bukan cinta. Itulah sebabnya ia seperti tidak punya hak untuk marah apa lagi menuntut.

"Bagaimana kabarmu, Tari?" Tanya Ammar seraya mengecup kening Tari.

"Sangat baik."

"Mengapa tidak membangunkan aku saat kamu merasa perutmu sakit?" Tanya Ammar.

"Aku sudah berusaha membangunkan beberapa kali tapi kamu hanya bergumam dan tidur lagi."

"Setidaknya kamu membangunkan aku lebih keras lagi kalau perlu berteriak keras atau memukul ku supaya aku langsung bangun."

"Perutku sudah terlalu sakit dan aku tidak punya waktu merengek-rengek padamu untuk menemaniku ke rumah sakit. Lagi pula ini bukan bayimu, jadi kamu juga tidak perlu merasa kuatir karena kamu tidak punya kewajiban atasnya."

Ucapan Tari terlihat tenang namun sangat menusuk tajam membelah hati Ammar yang tidak menyangka Tari bisa berkata lembut dan itu sangat menyakitkan dirinya.

"Apakah tidak ada pemilihan kata yang lebih sadis daripada ini Tari?" Sindir Ammar terlihat kecewa dan langsung meninggalkan lagi Tari dari bayinya.

Melihat Ammar pergi, Tari baru bisa menangis. Hatinya merasakan sangat sakit karena merasa dirinya tidak berguna menjadi wanita. Ia berniat untuk meninggalkan Ammar setelah pulang dari rumah sakit karena ia sudah membawa paspor dan dokumen lainnya untuk bisa kabur entah ke mana yang penting bukan kembali ke Indonesia.

"Kenapa Tari begitu ketus padaku? Aku hanya merasa sangat kelelahan semalam hingga tidak mendengar saat ia membangunkan aku. Apakah tidak ada sedikitpun pengertiannya sama sekali padaku? Apakah dia hanya ingin mengambil keuntungan dariku untuk menutupi aibnya dan setelah anaknya lahir aku tidak dibutuhkan lagi?" Lirih Ammar sambil menyetir mobilnya dalam keadaan gusar.

...----------------...

Keesokan harinya, Ammar kembali ke rumah sakit untuk menjemput Tari pulang sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh dokter. Ketika tiba di kamar inap Tari, istrinya sudah tidak terlihat lagi di kamar itu yang sudah bersih lagi.

Ammar kembali ke tempat suster menanyakan keberadaan istrinya." Maaf suster di mana istri saya Tari?"

"Oh, nona Tari sudah pulang semalam. Katanya dia sudah di jemput oleh sopir anda, Tuan dan kami menyangka nona Tari sudah di rumah Tuan." ucap suster Ghita membuat Ammar syok.

"Astaga...! Tidak mungkin aku menjemputnya ke sini kalau istriku sudah kembali ke rumah." Imbuh Ammar terlihat sangat marah pada suster dan juga Tari.

"Maaf tuan! Kami tidak tahu ke mana istri anda pergi." Ucap suster Ghita.

"Terimakasih. Maaf saya suster."

Ammar segera menghubungi anak buahnya untuk mencari istrinya. Namun Tari saat ini sudah berada di Malaysia karena ingin bekerja di negara itu. Dengan bermodalkan perhiasan dari suaminya sebagai maharnya waktu itu, namun cukup untuk bisa menyewa apartemen dan membesarkan putranya di tanah Jiran Malaysia itu.

Ammar memeriksa laci meja nakas mungkin Tari meninggalkan sesuatu untuknya namun yang ia temukan hanya black card miliknya yang pernah ia berikan kepada Tari.

"Ya ampun Tari, kesalahanku hanya tidak bisa mengantarmu ke rumah sakit dan kamu jadikan alasan untuk kabur dariku. Kamu bahkan tidak membawa apapun dari rumah ini kecuali pakaianmu saat masih gadis.

Bagaimana kamu bisa hidup dengan bayi yang masih merah itu. Apakah aku harus menghubungi kedua orangtuanya menanyakan kabar Tari atau kakaknya saja?" Tanya Ammar sendirian di dalam kamarnya.

Annisa yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba dikejutkan dengan ponselnya yang berdering dan itu dari adik iparnya Ammar. Asia segera menerima panggilan itu dan menempelkan benda pipih itu di kupingnya seraya mengucapkan salam dan di sambut Ammar.

"Hallo Ammar! Bagaimana kabar kalian di sana?" Tanya Annisa terlihat girang.

"Kenapa dia tanya kalian? Berarti Tari tidak berada di Indonesia saat ini.

"Alhamdulillah, saya dan Tari sehat, kak." Ucap Ammar.

"Apakah kandungan Tari baik-baik saja? Kapan perkiraan Tari melahirkan, Ammar?" Tanya Anissa lagi.

"Sekitar dua bulan lagi kak." Ucap Ammar bohong.

"Syukurlah. Nanti aku akan meminta umi dan Abi ke Kairo untuk menemani Tari saat menjelang persalinannya nanti." Ucap Annisa.

"Apakah kak Anisa sedang bersama Abi dan ummi?"

"A..iya. Kebetulan aku menginap di sini karena ummi lagi kurang sehat. Apakah Ammar mau bicara dengan Abi?"

"Ah, nanti saja. Aku sedang bawa mobil sendiri." Ucap Ammar lagi-lagi bohong.

"Baiklah. Sampaikan salam ku pada Tari. Aku sangat merindukannya." Ucap Anisa.

"Tunggu kak Nissa! Apakah aku boleh bertanya sesuatu mengenai Tari?"

"Silahkan!"

"Apakah Tari orangnya mudah ngambek jika sesuatu yang menganggu dirinya?" Tanya Ammar hati-hati.

"Sifat Tari sangat sulit di tebak. Ia nampak terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya hatinya sedang terluka. Tapi kita akan tahu kalau dua marah saat dia berusaha menyendiri dan tidak ingin di ganggu. Apakah Tari sedang marah padamu?"

"Tidak kak. Tapi benar kata kak Nisa. Tari sangat sulit di tebak perasaannya hingga aku harus berpikir keras untuk merayunya agar bisa membuat hatinya lunak. Apa yang harus aku lakukan agar bisa membuat Tari memaafkan aku?"

"Biarkan dia tenang, dengan begitu 8a akan kembali menyapa kita kalau hatinya sudah lebih baik. Begitu cara Tari mengobati perasaannya." Ujar Nissa.

Terpopuler

Comments

Nyonya Gunawan

Nyonya Gunawan

Sikap tari tdak mencerminkan sosok perempuan yg mandiri..paling g' suka lo cewe yg pengambekan tdak mengerti pa lagi dikit" kabur..
Oke lah lo yg pertama dia kabur krn hamil tpi ini kah udah nikah sehrusny bersyukur pnya suami yg baik..

2023-03-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!