Sisa-sisa pesta tadi malam masih terlihat di ruang tengah. Gelas-gelas kristal masih tersebar di sana-sini. Bekas makanan ringan juga berceceran mengotori karpet. Aroma minuman beralkohol masih menggelitik hidung. Yang paling mencengangkan adalah sosok Maira yang tergeletak di atas sofa tak sadarkan diri. Terlalu banyak minuman beralkohol yang ia tenggak, membuatnya hilang akal. Wanita muda itu terbaring tengkurap, dengan pakaian tersibak dan rambut acak-acakan. Kewarasannya menghilang entah di mana.
Bahunya terguncang. Seseorang membangunkan, sehingga ia membuka mata dengan malas. Maira melihat sesosok pria berwajah dingin menatapnya tajam.
“Jam berapa ini, Hans?” bisik Maira dengan suara parau.
“Hampir pukul tujuh. Lebih baik kamu kembali ke kamar dan membersihkan diri. Lihat! Kondisimu berantakan. Tempat ini akan dibersihkan Helen.” Kata Hans.
“Kepalaku pusing, sepertinya aku tak sanggup berdiri!”
Hans meraih tangan Maira, menarik tubuhnya. Wanita muda itu berdiri sempoyongan, bersandar di tubuh Hans. Aroma alkohol jelas menguar dari mulutnya. Maira, seorang wanita metropolis yang akrab dengan dunia malam. Tentu minuman beralkohol bukan barang baru.
“Aku akan tidur seharian ini. Jangan ada yang menggangguku!” oceh Maira.
“Jangan khawatir. Tak ada seorang pun yang peduli padamu kecuali aku!”
Dengan susah payah Hans membopong tubuh Maira berjalan menaiki tangga. Mulut Maira masih meracau tak jelas apa yang diucapkan. Pikirannya melayang kemana-mana.
“Hans...,” bisik Maira.
“Apa?”
“ Temani aku tidur ya? Aku takut ....”
“Jangan gila kamu! Tidur aja seharian. Tak ada yang perlu kau takutkan di sini!”
Tangan bergelayut di pundak Hans. Sejatinya, apa yang diucapkan Hans ada benarnya. Tak seorang pun yang peduli dengan Maira, karena sikapnya yang jutek dan angkuh. Tutur katanya juga pedas. Mungkin hanya Hans satu-satunya yang masih peduli padanya.
Dari arah berlawanan, muncul Tiara yang baru keluar kamar untuk bersiap sarapan pagi. Ia heran melihat kondisi Maira yang berantakan.
“Mabuk?” tanya Tiara.
“Bukan perkara aneh kan?” balas Hans.
“Tentu saja tidak. Kalian nggak sarapan?”
“Aku akan mengantar dia dulu, baru kesana. Kurasa Maira tidak akan sarapan pagi ini,” kata Hans.
Tiara melangkah menuju meja makan sementara Hans mengantar Maira ke kamarnya. Di meja makan, sebagian para penulis lain sudah duduk di sana. Suasana tetap sama. Nyaris tak ada keceriaan. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Kegelisahan terukir di paras-paras mereka. Tak dapat dipungkiri, kebosanan mulai melanda.
“Selamat pagi!” sapa Tiara, berusaha mencairkan kebekuan suasana.
Adrianna Chen membalas dengan senyum dan anggukan kepala. Wanita bermata sipit itu selalu tampil memukau seperti biasanya.
Di sebelahnya, Michael bertopang dagu, sedang berpikir keras, tak terlalu menghiraukan kehadiran Tiara.
Di seberangnya, Cornellio tampil segar dengan kumis yang sudah dicukur rapi. Pria itu terlihat makin maskulin dengan bekas cukuran kumis yang merata.
Aldo Riyanda juga menampilkan senyum terbaiknya. Sementara Rania juga tampil cantik pagi ini. Riasan tipis dan busana modis membalut tubuhnya, seperti biasa.
Tak berapa lama, Hans juga bergabung dalam komunitas kecil itu. Gayanya yang dingin langsung membekukan ruang makan.
“Maira tak sarapan pagi ini,” kata Hans sambil menghempaskan pantatnya di kursi.
“Sudah kuduga. Pasti dia mabuk semalam,” sambut Rania.
“Jadi, siapa yang kita tunggu?” tanya Cornellio.
“Karina. Ada yang tahu? Dia menghilang sejak kemarin. Tiara bilang, dia pergi ke kebun teh untuk menyegarkan diri. Sebenarnya berbahaya ke sana sendirian karena kebun teh itu mirip labirin. Aku khawatir tersesat,” ujar Michael.
“Bagaimana kalau kita cari dia?” usul Hans.
“Aku khawatir nanti malah kita yang tersesat!”
“Biar para laki-laki saja yang mencari. Para perempuan tetap di sini. Kalian tahu, riset membuktikan bahwa kaum perempuan lebih mudah bingung dan mereka tidak bisa mengingat jalan dengan baik bila dibandingkan pria. Lebih baik tidak kita libatkan mereka!” tambah Aldo Riyanda.
“Aku setuju!” Cornellio menanggapi.
“Baik. Setelah sarapan kita bergerak ke kebun teh!” kata Michael.
Aktivitas mengisi perut di pagi hari berlangsung cepat. Seperti biasa, Helen manyajikan makanan sederhana sehingga mereka bisa cepat kembali beraktivitas.
“Kurasa kalian akan membutuhkan bantuan Yoga!” celetuk Rania.
“Mengapa?” tanya Michael.
“Bagaimanapun, dia lebih tahu kawasan ini daripada kalian. Aku khawatir kalian tersesat dan tak bisa kembali. Yoga akan memandu dan menentukan arah.”
“Oke. Kami akan ajak Yoga!”
Beberapa menit kemudian, para pria sudah siap di depan gerbang depan. Matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan, sehinga cuaca tak begitu panas pagi ini. Bahkan kabut tipis menyelimuti kawasan kebun teh, menampilkan pemandangan alam yang menakjubkan. Pasokan oksigen yang berlimpah, seolah memompa mengusir energi negatif yang bersemayam di jiwa-jiwa mereka.
“Kita tunggu Yoga dulu!” ujar Cornellio.
Yoga berlari-lari kecil mendekat. Para penulis sudah gusar menunggunya.
“Maaf, aku tadi harus membersihkan halaman belakang,” ujar Yoga.
“Kamu yakin tahu daerah sekitar sini?” tanya Cornellio Syam.
“Tidak seberapa tahu. Dalam kebun teh banyak percabangan jalan setapak. Kusarankan untuk membuat tanda jejak setiap jalan yang kita lewati, agar nanti tidak bingung!” saran Yoga.
“Terserah kamu ajalah mau ajak kita kemana!”
Tanpa menunggu waktu lama, rombongan kecil itu mulai bergerak menuju perkebunan teh yang membentang di sisi jalan. Suasana masih sejuk, embun masih enggan beranjak dari dedaunan. Mereka mengikuti jalan setapak kecil, dengan Yoga sebagai pemandunya.
***
Sementara para pria menjelajah kebun teh, para wanita bekumpul di gazebo dekat kolam renang sambil bergosip. Maira masih tergeletak tak berdaya di kamarnya karena pengaruh alkohol, jadi tak bisa mengikuti acara gosip itu. Gelas-gelas berisi es jeruk dan aneka cookies tersaji, menambah hangat suasana.
“Menurut kalian kemana Karina pergi?” Adrianna Chen membuka pertanyaan.
“Perkebunan teh. Tapi aku tidak yakin. Mungkin dia tersesat entah di mana. Tapi yang paling masuk akal adalah dia mungkin kabur ke kota menumpang kendaraan lain yang kebetulan lewat,” Tiara berpendapat.
“Kurasa kemungkinan itu sangat kecil. Jarang sekali kendaraan lewat daerah sini. Kalaupun dia kabur ke kota, dia harus menempuh jarak puluhan kilometer. Aku nggak yakin Karina sanggup melakukan itu. Tangannya lembut seperti bayi. Dia bukan tipe pekerja kasar,” ujar Rania.
“Lalu di mana dia berada?” Adrianna mengernyitkan dahi.
Rania mengangkat bahu.
“Kuharap dia baik-baik saja,” bisik Tiara.
***
Sebuah taksi menderu memasuki halaman kastil. Penumpangnya seorang wanita jangkung dengan wajah angkuh, memakai blazer warna abu-abu gelap dan rok dengan warna senada. Sementara, pasangannya seorang pria gagah berpakaian resmi menggunakan kacamata hitam.
“Sepi, seperti biasa!” ujar wanita berwajah angkuh itu. Tatapannya menyapu ke segenap penjuru kastil yang sepi.
“Kapan kamu terakhir mengunjungi pamanmu?” tanya pria yang berdiri di sampingnya.
“Setahun lalu. Biasanya ada Helen yang menyambut. Tapi ini sepi sekali,” ujar si wanita.
“Kita langsung masuk saja!” ajak si pria.
Tanpa menunggu banyak waktu, pasangan itu langsung menuju halaman samping dengan menyeret kopor mereka. Si wanita tampak sudah akrab dengan kastil itu. Halaman samping langsung terhubung dengan ruang tengah. Keduanya langsung memeriksa keadaan ruang tengah yang agak kotor. Masih ada sisa-sisa remahan kue di karpet dan tumpahan minuman di sofa.
“Seperti ada pesta tadi malam,” kata si pria.
Si Pria, Ammar Marutami, adalah seorang polisi yang bertugas khusus menangani kasus pembunuhan. Instingnya terasah kuat untuk mencium ketidak beresan di suatu tempat. Tak terhitung kasus pembunuhan yang berhasil ia pecahkan.
“Kurasa pamanmu kedatangan tamu,” kata Ammar Marutami.
“Siapa?”
“Entahlah. Mungkin nanti kita akan bertemu mereka, Mariah!”
Si wanita berwajah angkuh, Mariah Alray adalah keponakan Anggara Laksono yang mempunyai insting tak kalah tajam. Mereka berdua pasangan ideal. Mariah Alray, mempunyai indera keenam, sehingga dapat merasakan keberadaan sesuatu yang tak kelihatan di sekitar mereka.
“Suasana rumah ini masih sama. Aku bisa merasakan aura negatif di sekitar sini!” ucap Mariah Alray.
“Mari kita cari tahu!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
IG: _anipri
pasti itu si gadis cenayang
2023-01-04
0
IG: _anipri
aku kok jadi khawatir kalau Yoga bunuh Aldo ya? Aldo tuh baik lho
2023-01-04
0
IG: _anipri
si kulkas dua pintu datang
2023-01-04
0