Kamar Anggara Laksono terbilang luas, dengan dekor yang cukup unik. Ranjangnya terbuat dari besi berukir di tengah ruangan, dengan perabot-perabot antik yang seolah diusung dari abad pertengahan. Ada aroma seram ketika serombongan penulis memasuki kamar itu. Terlihat jendela besar di dinding samping, langsung terhubung dengan pemandangan kebun teh menghampar di kejauhan. Di sisi dinding lain tergantung lukisan besar seorang wanita cantik bergaun putih, persis sama dengan lukisan yang berada di ruang tengah.
Walaupun cantik, para penulis marasakan ada hawa mistis di balik lukisan itu. Mata wanita dalam lukisan menyorot tajam, dengan senyum yang begitu misterius. Tiara Laksmi terpana di depan lukisan. Dalam hati ia mengagumi siapa pun pelukisnya. Gurat-gurat kuas begitu sempurna, menggambarkan begitu detail di atas kanvas. Ia teringat dengan lukisan Raden Saleh yang begitu terlihat real.
“Ini adalah mendiang istri Pak Anggara kan?” tanya Tiara Laksmi.
“Iya. Itu adalah lukisan diri istri Pak Anggara. Beliau meninggal karena kanker rahim, tanpa meninggalkan satu keturunan pun. Kurasa Pak Anggara sudah menerangkan sedikit tentang istrinya kemarin,” terang Rania.
“Siapa namanya?” celetuk Hans sambil melihat-lihat sebuah asbak antik berbentuk tengkorak kepala manusia. Asbak itu dibentuk dari pasir kaolin, diukir secara detail dan sempurna.
“Anastasia,” jawab Rania.
“Pak Anggara merokok?” tanya Hans lagi. Ia mengusap dasar asbak yang sedikit kotor.
“Tidak. Asbak itu hanya hiasan saja. Pak Anggara mempunyai masalah serius dengan kesehatannya. Beliau mempunyai seorang dokter pribadi yang biasa datang kesini tiap bulan. Mungkin beberapa hari ke depan, dr. Dwi Wahyudi akan berkunjung. Sayangnya, aku belum mengabari kalau Pak Anggara sudah meninggal,” kata Rania.
“Tidak apa-apa, biar dokter itu kesini. Ada beberapa yang ingin kutanyakan padanya,” kata Michael.
“Lalu di mana brangkas berisi surat wasiat dan emas-emas itu?” tanya Maira.
“Maaf. Saya juga tidak tahu mengenai itu. Kurasa itu urusan Pak Anggara dengan pengacara pribadinya,” kata Rania.
“Hmmm ....” Maira menatap Rania curiga.
Ia merasa ada yang disembunyikan dari keterangan Rania. Walaupun Rania berwajah sendu, namun Maira tak percaya begitu saja. Maira merasa ada rahasia terpendam di balik topeng yang digunakan Rania.
Tubuh Rania yang seksi adalah aset yang begitu menggoda kaum pria. Sebagai perempuan yang mempunyai insting kompetisi, Maira merasa kemolekan tubuhnya tersaingi oleh Rania. Padahal berbagai kelas kebugaran telah ia ikuti untuk mempertahankan kekencangan tubuhnya.
“Tanpa meninggalkan satu keturunan pun? Kamu yakin?”
Michael tiba-tiba menemukan sebuah foto tua yang terpasang dalam pigura-pigura kecil yang terpajang di lemari besar. Di dalam foto itu terlihat Anggara Laksono bersama istrinya, sedang menggendong bayi.
“Maaf, aku tidak tahu menahu tentang asal foto itu. Mungkin itu bukan anak kandungnya. Saya sama sekali nggak tahu tentang ini. Saya juga baru melihat foto ini,” kata Rania.
“Sudah berapa lama kamu melayani Pak Anggoro?” tanya Michael.
“Lima atau enam tahun ini. Sebelumnya beliau punya asisten pribadi juga. Tetapi asisten itu meninggal, sehingga saya menggantikannya,” tutur Rania.
“Selama kamu melayani Pak Anggara pernahkah kamu melihat sesuatu yang aneh atau janggal?”
“Tidak. Pak Anggara orang baik, tetapi dia nyaris tak pernah keluar rumah sama sekali. Kadang keponakannya yang ada di Jakarta berkunjung ke sini,” kata Rania lagi.
“Keponakan? Pak Anggara punya keponakan?”
“Iya. Seorang wanita yang mempunyai indera keenam. Dia seorang cenayang, namanya Mariah Alray.”
Michael manggut-manggut mendengar keterangan dari Rania.
“Boleh aku tahu latar belakang hidupmu?” tanya Michael lagi.
“Apa yang ingin Anda tahu?”
“Apa saja ....”
Percakapan itu masih terjadi ketika beberapa penulis memutuskan untuk keluar dari ruang kamar Anggara Laksono. Hanya tertinggal Michael, Hans, Tiara dan Maira yang ada di situ. Kamar Anggara mempunyai sebuah balkon yang cukup nyaman, dengan pemandangan indah di bawahnya. Sementara Michael bertanya-jawab dengan Rania, ketiga penulis lain keluar untuk bercengkrama di balkon sambil menikmati keindahan sketsa alam yang begitu cantik. Angin bertiup mempermainkan rambut Tiara dan Maira. Sementara Hans tak jemu memandang para wanita muda itu dengan tatapan bak serigala lapar yang siap melahap mangsanya.
“Ini akan jadi liburan yang menyenangkan, apalagi aku dikelilingi gadis-gadis cantik seperti kalian,” kata Hans sambil terus menatap Tiara dan Maira.
Tiara merasa tidak nyaman, berusaha menepis pandangan Hans. Ia menjauh. Sedangkan Maira masih menebar senyum genit, bak madu yang memabukkan. Tiara sedikit muak.
“Kamu harus lebih sering mengunjungiku. Ranjangku selalu sepi ...,” bisik Maira kepada Hans.
“Ide bagus. Kita akan berpesta nanti malam! Akan ada musik dan bir!” kata Hans.
“Kamu jadi membeli bir-bir itu?” tanya Maira.
“Iya. Semuanya beres. Tak ada seorang pun yang tidak menyukai uang. Semuanya sudah diurus beres oleh Yoga, dan nanti malam kita akan merayakan malam dengan kehangatan. Kamu mau gabung, Tiara?” tanya Hans tiba-tiba.
Tiara tergagap.
“Aku nggak tahu. Mungkin aku akan membaca buku di ruang baca saja. Kulihat banyak novel bagus di sana. Kulihat beberapa novel milik kalian tersimpan di sana,” kata Tiara.
“Jangan lupa baca novelku. Pasti kamu akan ketagihan,” kata Hans.
“Nanti akan kucari novelmu. Tentang mitologi Yunani kan?”
“Jangan hanya novel, kamu boleh menikmati malam denganku kapan pun kamu mau. Kamu bisa tanya pada Maira, betapa dia menyukai permainanku. Atau kita bisa bersenang-senang bertiga?” tawar Hans sambil mengerling nakal.
Maira tergelak mendengar perkataan Hans.
Tiara tak dapat menyembunyikan kegugupannya. Sontak rasa tidak nyaman menjalar ke seluruh tubuh. Ajakan Hans itu terasa sangat aneh di telinganya. Sungguh, ini sedikit kurang sopan. Walaupun Tiara adalah seorang penulis cerita dewasa, ia masih menjaga norma kesopanan yang berlaku di masyarakat.
“Maaf, ada hal lain yang harus kukerjakan!”
Tiara segera berlalu dari hadapan Hans dan Maira. Dengan senyum penuh arti, Hans menatap kepergian Tiara.
“Kamu masih penasaran dengan penulis murahan itu?” tanya Maira.
“Tidakkah menurutmu dia begitu cantik?”
“Iya. Dia cantik dengan dada besar, sesuai dengan kriteriamu. Tapi entahlah, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengannya. Sesuatu yang disembunyikan di balik kepolosannya. Sama seperti Rania. Kurasa banyak yang mengenakan topeng di sini,” kata Maira. Tatapannya menerawang jauh ke sampai batas cakrawala.
“Aku juga bisa melihat wajah asli di balik topengmu itu, Maira!” sentil Hans sambil menepuk pinggul Maira yang padat berisi.
“I like when you do that ...,” bisik Maira.
***
Di ruang baca yang cukup luas, dengan lemari-lemari tinggi berisi koleksi buku. Karina duduk di salah satu kursi di ujung ruangan. Berkali-kali, ia membetulkan letak kacamata bacanya. Raut mukanya begitu serius. Walaupun begitu, pesona kecantikannya masih terpancar sempurna.
Hidungnya yang runcing, dengan rambut yang kecoklatan. Karina adalah potret wanita keturunan Eropa Timur yang sempurna.
Ayahnya seorang diplomat asal Bulgaria, yang menikahi ibunya, wanita asal Bandung. Warisan kecantikan Karina mengalir dari darah ibu berpadu dengan gen Eropa dari sang ayah.
Karina Ivanova begitu antusias memelototi lembar demi lembar buku harian tua itu. Tulisannya agak samar termakan usia. Kertasnya juga terlihat buram. Yang menarik, isi buku harian itu seperti urutan kronologis suatu kejadian yang diceritakan dalam bahasa yang indah.
“Serius sekali. Apa yang sedang kamu baca?” sapa Cornellio Syam yang tiba-tiba hadir.
Paras pria berkumis tipis itu terlihat tegas, dengan sorot mata tajam. Terlihat memesona bagi sebagian wanita yang menyukai tipikal pria yang ramah dan periang.
“Sebuah buku harian yang kutemukan dari ruang bawah tanah. Cukup menarik perhatianku,” kata Karina.
“Oya? Siapa yang menulis?”
“Aku tak dapat memastikannya. Ada inisial AP di sampulnya. Mungkin dulu pernah tinggal di sini.” Karina menjelaskan tanpa menoleh ke arah Cornellio.
Pria berkumis tipis itu mencari-cari buku di rak. Seulas senyum tersungging di bibirnya yang merah jambu.
“Rasanya aneh ...,” gumam Cornellio.
“Aneh?”
“Aku membaca novelku di rak ini, kemudian aku membacanya sendiri. Sepertinya aneh sekali kalau tulisanku bisa sampai di tempat terpencil seperti ini. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Anggara Laksono menyukai tulisan receh tentang horor seperti ini,” kata Cornellio.
“Kamu sendiri percaya hantu?” tanya Karina.
“Tidak. Hantu adalah khayalan gila para penulis dan pembuat film. Seumur hidupku tak pernah sekali pun aku bertemu dengan hantu, manusia serigala, vampire atau apa pun.”
“Tapi kamu menulis tentang hantu secara detail dan sempurna,” puji Karina.
“Aku hanya mempercayai instingku. Jangan percaya apa pun yang kutulis,” tawa Cornellio.
“Itu bagus.”
“Instingku mengatakan kalau malam ini hal buruk akan terjadi,” gumam Cornellio.
“Apa yang kamu rasakan?”
“Seseorang akan terbunuh malam ini ....”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
Arasya
Malah ga ngerti kenapa novel misteri begini, harus dibungkus dengan cerita vulgar jadi agak kurang srek bacanya
2023-01-10
1
IG: _anipri
siapa yg akan terbunuh?
2023-01-04
0
IG: _anipri
bagus sih berarti imajinasi kamu, Cornellio
2023-01-04
0