Acara makan pagi berlangsung cepat. Atas permintaan Michael, Helen menyiapkan makan pagi sederhana, agar penyelidikan bisa segera dimulai lagi. Lembar-lembar roti diedarkan, siap dioles selai berbagai rasa. Ada pula lembaran-lembaran keju dan telur rebus. Gelas-gelas berisi susu juga sudah disiapkan dengan baik.
“Hari ini saya dan Yoga harus ke kota untuk membeli bahan makanan. Karena stok menipis,” ujar Helen, sambil menuang air putih di gelas-gelas.
“Baik. Kamu boleh ke kota dan membeli apa pun yang kamu perlukan. Setelah itu cepat kembali dan tidak mampir kemana-mana. Hindari bertemu dengan orang asing atau siapa pun” kata Michael.
“Apakah boleh saya menghubungi polisi juga?” tanya Helen lagi.
“Tidak Polisi akan membuat situasi akan semakin kacau. Kita akan selesaikan ini sendiri. Dengan cara kita,” ujar Michael tegas.
Semua yang hadir di meja makan tak ada yang bersuara. Sebenarnya mereka juga bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengikuti alur yang ditawarkan Michael.
“Mungkin ada sesuatu yang ingin dibeli? Ada yang ingin titip?” tawar Helen kemudian.
“Aku!” ujar Maira sambil mengangkat tangan.
“Apa yang anda perlukan?” tanya Helen.
“Seperangkat perlengkapan mandi, coklat, rokok, keripik kentang, dan minuman kaleng!”
“Apakah bir dan kond*m diperbolehkan?” tanya Hans.
“Tidak!” jawab Helen tegas.
“Terima kasih. Kalau begitu akan kulakukan tanpa pengaman!” kata Hans sambil menyeringai.
Tiara merasa muak melihat itu, sementara Maira mengulum senyum.
Cornellio Syam, yang duduk di sebelah Maira menyerahkan secarik kertas pada Maira, seraya berbisik,” Kamu tuliskan saja kebutuhanmu di sini, lalu edarkan juga ke yang lain. Siapa tahu yang lain juga perlu membeli sesuatu.”
“Ide bagus!” dengan cepat Maira mengambil kertas dari tangan Cornellio, kemudian menulis di atas kertas tersebut.
“Aroma parfum yang kamu pakai begitu lembut ...,” puji Cornellio pada Maira.
“Apa kamu sedang menggodaku?” tantang Maira.
“Tentu saja tidak, B*tch! Sayangnya kamu bukan tipeku,” jawab Cornellio enteng.
Setelah sarapan pagi berakhir, mereka segera berkumpul ke ruang santai. Jendela-jendela besar dibuka. Angin sejuk perkebunan teh berhembus lembut menawarkan aroma yang penuh sensasi. Dari jendela terlihat pemandangan yang begitu menawan. Hamparan kebun teh yang tumbuh di bukit-bukit, bagai permadani-permadani menyejukkan pandangan mata.
“Tempat ini begitu cantik,” gumam Adrianna Chen melepaskan pandangannya menyusuri hamparan kebun teh di kejauhan.
“Cantik, tetapi mengerikan!” sambung Tiara Laksmi.
“Seperti Maira?” ujar Adrianna Chen, disambut gelak tawa Tiara Laksmi.
Semua penulis sudah menempati kursi masing-masing, siap mendengar penjelasan dari Michael. Aldo Riyanda memberikan sejumlah catatan kepada Michael, sebelum detektif palsu itu bersiap membacakan hasil pemeriksaan jasad Anggara Laksono.
“Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap jasad Anggara Laksono kemarin. Yang dapat kami simpulkan dari hasil pemeriksaan, orang tua itu mengenal si pembunuh dengan baik. Ini terbukti dengan tak ada tanda perlawanan ataupun kekerasan di tubuhnya. Pembunuh ini sempat mengobrol di gazebo, sebelum akhirnya menusuk dengan pisau dapur.” Michael menarik napas sebentar.
“Setidaknya kami menemukan ada tiga tusukan secara vertikal di dada kiri secara berdekatan. Tusukan itu lumayan bertenaga, sehingga menembus hingga sepuluh sentimeter. Akibat dari tusukan ini, darah yang hilang cukup banyak, sehingga korban mengalami syok hipovolemik. Tubuh kekurangan pasokan oksigen, hingga jantung tak berfungsi normal. Kemudian si pelaku mendorong tubuh korban ke kolam renang. Selain karena kehabisan darah, kami juga khawatir paru-paru korban juga terisi air,” ungkap Michael.
Semua masih terdiam mendengar penjelasan Michael. Raut muka mereka begitu tenang, tak ada kepanikan atau apa pun. Masing-masing saling melirik, khawatir kalau-kalau si pembunuh berada di sampingnya.
“Oke, kurasa teorimu tentang sebab matinya pak tua itu tidak penting. Sekarang mari kita telusuri modus yang mungkin dari peristiwa pembunuhan ini,” interupsi Hans.
“Ada yang punya pendapat?” Michael menatap para penulis satu persatu.
“Harta mungkin ...,” Adrianna berpendapat.
“Harta? Kurasa tidak. Kita memang bukan orang kaya, tetapi bahkan letak harta Pak Anggara kita tidak tahu. Kabarnya beliau mempunyai brankas berisi banyak emas batangan dan surat wasiat. Tetapi toh tak ada satu pun dari kita yang tahu.” Pendapat Adrianna segera dipatahkan oleh Aldo Riyanda.
“Tapi aku yakin Rania pasti tahu semuanya!” tembak Maira.
Merasa namanya disebut, wajah Rania berubah memucat. Ia menggelengkan kepala beberapa kali. Dengan gugup ia berusaha menjelaskan,”Aku tak tahu apa-apa tentang brankas itu. Bahkan aku tak pernah diizinkan memasuki kamarnya.”
Karina tersenyum sinis. Masih teringat peristiwa semalam, saat tanpa sengaja ia memergoki gadis seksi itu bersama kekasih gelapnya sedang memadu kasih.
“Bolehkah kami memeriksa kamarnya?” tanya Michael.
“Kalau itu untuk penyelidikan, silakan saja!” jawab Rania.
“Kita akan mulai siang ini!”
***
Mobil yang dikemudikan Yoga melaju lambat menyusuri perbukitan menuju ke kota. Wajah Yoga gusar, sambil mengganti-ganti saluran radio. Hampir semua saluran terdengar berdesis dan kemrosok. Ia mulai mengeluh. Sementara Helen yang duduk di sampingnya masih terlihat tenang. Wajahnya yang sudah dihiasi keriput, tak menyiratkan seulas senyum sedikit pun. Kesan angker dan dingin juga kentara, membuat orang yang menatapnya akan bergidik.
Mobil itu adalah akses satu-satunya yang bisa dipakai untuk menuju kota atau tempat lain. Ada dua mobil Anggara Laksono yang lain, tetapi tak pernah dipakai, sehingga mesin sering bermasalah. Sedangkan mobil dengan bodi berwarna hijau tua ini lebih terawat, karena Yoga sering memakainya untuk mengantar Helen berbelanja.
“Aku mulai bosan tinggal di kastil itu! Saluran radio sama sekali tak dapat dijangkau di sekitar sini!”
“Matikan saja radio sialan itu! Aku sedang tidak ingin mendengar musik apa pun!” perintah Helen.
Yoga semakin gusar. Dipukulnya radio mobil itu dengan telapak tangan. Sayup-sayup terdengar lagu lawas milik Scorpion ‘Wind of Change’ mengalun dari radio. Yoga menyeringai.
“Radio tua ini harus dipukul dulu agar mau bersuara!”
“Yoga ... matikan saja musik itu!
“Tidak Helen! Aku akan mendengarnya. Kamu jangan mulai berulah seperti para tamu itu. Menurutmu, berapa lama mereka akan bertahan di kastil itu? Seminggu, dua minggu atau satu bulan?” tanya Yoga.
“Entahlah. Aku juga tak peduli. Firasatku mengatakan hal buruk akan terjadi. Aku sudah menghubungi keponakan Pak Anggara secara diam-diam. Besok dia akan datang ke rumah,” kata Helen.
“Pak Anggara mempunyai keponakan?”
“Iya. Seorang wanita cenayang bernama Mariah Alray. Suaminya seorang polisi. Siapa tahu mereka bisa mengungkap kasus pembunuhan itu!” ujar Helen.
“Kamu gila! Michael mengatakan bahwa kita tidak boleh menghubungi siapa pun!”
“Aku tidak peduli, Yoga! Dia hanya tamu di sana, dan kita lebih berhak dari siapa pun untuk menentukan pilihan kita. Pikirmu aku akan diam saja saat terjadi kejahatan di rumah itu?”
“Oke. Terserah kamu, Helen. Oya, hari ini kita mampir untuk membeli beberapa botol bir!” kata Yoga.
“Astaga! Bukankah tadi aku sudah berkata bahwa minuman keras tidak diperbolehkan!”
“Itu bisa diatur selama dia memberi ini!” Yoga tersenyum licik, sambil mengeluarkan lembar-lembar rupiah.
"Bagaimana kalau yang lain tahu?"
"Jangan khawatir, nanti akan kuberi untuk uang tutup mulut!”
“Aku tidak butuh uang!”
“Tidak seorang pun manusia di dunia ini tidak suka uang. Jangan munafik!”
Helen terdiam. Matanya terus menatap ke depan. Mobil sudah mulai memasuki kota. Suasana sepi berubah menjadi agak ramai. Banyak mobil lain berlalu-lalang. Di trotoar, banyak pejalan kaki berbaur dengan para pemulung atau bahkan orang-orang yang berkedok di balik topeng jahatnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
bbyylaa
haha puas banget
2023-10-26
0
Eviloque Pradibtia
Ini baru indonesian style 😁
2023-08-28
0
Ai Emy Ningrum
Mariah Alray bukn Mariah Carey yaaa 🤪
2023-04-29
1