Semenjak penemuan jasad Anggara Laksono dalam ruang bawah tanah, sontak kondisi di kastil berubah tegang. Apalagi Ammar Marutami sendiri yang langsung menangani kasus itu. Nama Ammar Marutami sudah cukup dikenal di dunia kriminalitas. Kepiawaiannya memecahkan berbagai kasus pembunuhan membuat nama Marutami begitu berkibar dan disegani. Penemuan jasad Anggara melecut Ammar Marutami untuk bekerja ekstra. Hal pertama yang dilakukan adalah mengisolasi para penulis yang terlibat.
Pagi hari, ketika matahari baru saja mengintip malu-malu di kawasan perkebunan teh, petugas medis telah datang untuk mengevakuasi jasad Anggara. Petugas medis itu secara langsung dijemput oleh Ammar Marutami. Polisi itu menyempatkan diri pergi ke kota pada malam sebelumnya, ketika para penghuni lain terlelap.
Kedatangan tim medis dipimpin langsung oleh dokter pribadi Anggara Laksono, yakni dr. Dwi Wahyudi, seorang dokter yang terlihat berwibawa dan tegas. Secara cekatan ia sendiri yang memeriksa beberapa luka di tubuh Anggara tanpa ada rasa jijik sekali pun. Sementara, seorang perawat seksi mendampingi langkahnya kemana-mana.
“Kita harus melaksanakan autopsi jasad ini ke fasilitas yang lebih lengkap. Kita akan membawa ke kota untuk penanganan lebih lanjut,” kata dr. Dwi Wahyudi sambil menyeruput teh yang disajikan oleh Helen di ruang tengah. Parasnya yang tegas, tampak berpeluh setelah memeriksa jasad Anggara.
“Saya berharap anda bisa tinggal di sini beberapa hari ke depan,” pinta Ammar Marutami.
“Ada yang dapat kubantu?”
“Ada yang perlu saya diskusikan sedikit untuk keperluan penyidikan. Tentang riwayat penyakit yang diderita oleh Anggara Laksono. Karena Anda adalah dokter pribadi, jadi Anda adalah orang yang paling tahu dengan kondisi fisiknya”
“Tidak masalah. Aku bisa saja tinggal di sini selama beberapa hari. Mungkin aku bisa anggap sebagai liburan.”
“Ya, Anda bisa membantu untuk memecahkan kasus ini, mengingat aku tak percaya siapa pun yang ada di sini. Mereka semua mengenakan topeng.”
Jasad Anggara Laksono sudah siap dibawa ke kota, sementara Mariah Alray sudah dapat dipastikan akan ikut pula untuk mengurus pemulasaraan jenazah pamannya. Wanita itu sedang bersiap-siap di dalam kamar, sementara suaminya merenung, memikirkan sesuatu.
“Aku akan ke kota selama tiga atau empat hari, sampai jenazah paman dimakamkan.” Mariah Alray berkata sambil merapikan beberapa baju dalam tas.
“Aku akan berusaha cepat menyelesaikan ini. Aku janji akan meringkus pembunuh pamanmu dengan tanganku sendiri.”
“Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Aku bisa merasakan sesuatu yang jahat akan terjadi. Pembunuh ini bisa saja melakukan hal buruk kapan saja. Kamu harus hati-hati!” pesan Mariah.
“Tentu saja, Sayang!”
***
Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Para penulis lebih memilih berada dalam kamar masing-masing, sebagian berada dalam ruang baca. Jarum jam merapat pukul sembilan, tetapi suasana lebih mirip tengah malam. Ruang tengah yang biasanya digunakan untuk bercengkrama, hanya tersisa Ammar Marutami yang sedang menulis sesuatu dalam agenda pribadinya.
Maira Susanti, seperti biasa dengan balutan busana yang menggoda, segelas minuman bersoda di tangan menatap polisi itu dengan tatapan nakal.
“Butuh bantuan, Pak Polisi?” tanya Maira Susanti. Dengan langkah manja ia mendekati polisi yang tengah sibuk itu.
“Maaf, saat ini tidak Maira. Sebentar lagi dr. Dwi kesini dan kami akan berdiskusi masalah serius. Kurasa lebih baik kamu menyingkir dari sini. Tak ada yang menarik yang perlu kamu tahu,” ucap Ammar Marutami sambil terus menulis.
“Hmm. Aku memang tidak pandai menganalisis sebuah kasus. Tapi aku akan membantumu untuk rileks selama istrimu tidak ada!” rayu Maira.
Ammar Marutami meletakkan pulpennya. Ditatapnya tajam Maira dengan pandangan menusuk.
“Maaf Maira, saat ini posisimu adalah tersangka kasus pembunuhan. Tidak lebih. Jadi kuharap kamu bisa mengerti. Segera tinggalkan aku atau kudakwa dirimu dengan pasal penyuapan terhadap aparat negara!”
Paras Maira Susanti berubah kemerahan. Ia benci penolakan, karena jarang menerima penolakan. Kebanyakan lelaki akan jatuh ke pelukannya. Sayangnya kali ini ia kurang beruntung, polisi itu telah menepis rayuannya dengan sukses. Maira mengatupkan geraham, menahan kekesalan yang membuncah.
Sebelum Maira pergi, muncul dokter Dwi Wahyudi, dengan kemeja resmi, dipadu jas warna kelabu. Ia menebar senyum kepada Ammar, tentu saja Maira juga.
Wanita muda itu tak menggubris. Parasnya terlihat kesal. Ia segera berlalu meninggalkan dua orang pria yang akan berdiskusi itu.
“Maafkan aku agak terlambat. Rumah ini luas, jadi agak bingung mencari ruangan ini.”
Dokter kharismatik itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
“Tak apa, Dok. Ini aku sedang menyusun kronologis kejadian itu, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada. Pak tua malang itu ditikam di bagian dada dengan brutal tak terarah. Aku membutuhkan keterangan resmi hasil autopsi, tapi mungkin akan membutuhkan waktu lama. Berdasarkan luka yang telah Anda lihat, paling tidak bisa disimpulkan karakteristik si pembunuh. Bagaimana menurutmu?” tanya polisi itu.
“Ya, aku tadi memang melihat bekas tusukan yang mulai membusuk. Bekas tusukan itu tidak terpola dan acak. Sepertinya si pelaku melakukan dengan terburu-buru karena takut ketahuan atau bagaimana. Bahkan di tusukan ketiga aku menilai luka yang ditimbulkan tak terlalu dalam.”
“Berdasarkan luka tusukan, apakah bisa dipastikan pelakunya pria atau wanita?”
“Tidak dapat dipastikan. Kadang wanita mempunyai kekuatan yang luar biasa di saat tertentu. Kondisi luka bukanlah data akurat untuk menentukan gender seseorang.”
Tiba-tiba dari ruang makan, Rania muncul dengan paras yang diliputi rasa takut. Kedua pria itu menghentikan diskusi, mengalihkan pandangan ke arah Rania yang sedang dirundung cemas.
“Ada apa, Rania?” tanya Ammar Marutami.
“Maafkan aku mengganggu diskusi kalian, baru saja aku ke halaman belakang untuk mencari Yoga, tetapi aku menemukan kantong plastik hitam yang cukup mencurigakan di bawah semak-semak taman belakang,” kata Rania dengan gugup.
“Kantong plastik hitam? Mungkin bungkusan sampah?”
‘Bukan. Sampah di sini langsung diangkut ke tempat pembuangan dan dibakar. Kantong plastik itu cukup besar, dan dikerumuni semut.”
Ammar mengernyitkan dahi, membuang pandangan ke arah dr. Dwi Wahyudi.
“Kurasa kita harus mengecek isi kantong plastik itu. Sepertinya akan ada kejutan malam ini!”
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga segera menuju ke lokasi yang ditunjukkan Rania. Sebuah kantung plastik hitam tampak teronggok dekat serumpun tanaman perdu, seolah diletakkan begitu saja untuk menarik perhatian.
Dengan waspada, Ammar mengeluarkan sarung tangan dari saku celana. Seperti biasa, polisi satu ini memang sangat teliti. Perlahan ia membuka ikatan pada bungkus plastik hitam itu, sementara Rania menunggu agak jauh dengan perasaan cemas. Plastik hitam besar itu biasanya digunakan untuk membungkus sampah.
“Menurutmu apa yang ada di dalam bungkus plastik ini?” tanya Ammar pada dr. Dwi.
“Entahlah. Mungkin bukan sesuatu yang menyenangkan. Malahan aku mengira di dalamnya adalah suatu yang buruk.”
“Mari kita cari tahu!”
Bungkusan plastik terbuka. Pemandangan yang terlihat sangat mengerikan! Polisi itu tercekat melihat sesuatu di dalamnya. Ia geleng-gelengkan kepalanya dengan raut putus asa.
Dokter Dwi juga ikut melongok isi plastik itu.
“Oh, Tuhan!” desis dokter itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
IG: _anipri
aku harap lu is dead Maira. kesel aku
2023-01-05
0
dementor
mayatnya yoga pastinya sayang..
2022-11-03
1
Emmy Ndoen
jangan sampai rania yang bunuh yoga.
2021-09-07
1