Tiara berdiri di depan lukisan cat minyak yang tergantung di depannya. Rasa takjub tak berkesudahan, mengagumi sosok wanita bergaun putih yang ditorehkan dalam sapuan kuas dalam kanvas. Menurutnya, si maestro berhasil menghadirkan emosi dalam lukisan itu dengan sempurna. Sorot mata wanita dalam lukisan tampak kosong, putus asa, paras wajahnya memancarkan kegelisahan yang dalam, walau seutas senyum simpul terukir di sudut bibir. Sejak dahulu ia mengagumi karya lukis. Berbagai pameran lukisan di galeri seni telah ia kunjungi. Mungkin terdengar membosankan, tetapi Tiara menyukainya.
“Lukisan ini sempurna ...,” gumam Tiara.
Aldo Riyanda , yang sedang fokus membaca jurnal ilmiah membelokkan bola matanya ke arah Tiara yang berdiri mematung. Calon dokter muda itu hanya tersenyum kecil.
“Aku tak begitu menyukai lukisan. Aku lebih suka meneliti mengapa benua Atlantis yang hilang itu tak ditemukan hingga sekarang, atau siapa sebenarnya yang menyusun batu-batu Stonehenge, itu lebih menarik daripada sekedar mengamati lukisan berjam-jam.”
“Kamu nggak mengerti Aldo. Melukis adalah seni untuk memadukan berbagai emosi yang ada. Emosi yang ada saat melukis, akan mempengaruhi hasil lukisan.”
“Lalu apa bedanya dengan menulis? Melukis membutuhkan kuas dan kanvas, sedang menulis membutuhkan komputer atau media lain. Keduanya sama-sama memerlukan emosi untuk meghasilkan karya yang epik,” ujar Aldo.
“Itu benar. Aku melihat wajah perempuan dalam lukisan ini, dan berusaha menerjemahkan dalam tulisan. Anastasia, mungkin aku bisa menuliskan kisahnya sebagai insprirasi novelku berikutnya.”
Aldo Riyanda menutup jurnalnya, melepas kacamata dan meletakkan di atas meja kecil. Ia mulai tertarik dengan topik pembicaraan yang ditawarkan Tiara.
“Anastasia, perempuan cantik istri Pak Anggara yang ada dalam lukisan itu terlihat muram, tak kulihat sedikit pun keceriaan di wajahnya. Entah ini memang asli seperti itu, hanya rekaan pelukisnya saja. “ Aldo Riyanda berpendapat.
“Sepertinya ini nyata. Aku dapat merasakan kedekatan emosional saat menatap matanya, seolah merasakan apa yang ia rasakan. Sepertinya aku harus menulis kisah hidupnya yang tragis dalam novelku selanjutnya.”
Tiara beranjak, menghempaskan tubunya di sofa klasik berhadapan dengan Aldo Riyanda.
“Menuliskan kisah hidupnya dalam novel yang bertabur adegan dewasa?” seloroh Aldo.
“Jangan bahas itu, Aldo. Sungguh aku malu apabila ada seseorang yang mengungkit adegan dalam novelku. Aku tak pernah melakukan langsung, itu hanya imajinasi liarku semata.”
“Tak perlu malu, Tiara. Hampir semua penulis melakukan itu di awal karirnya. Pernah terpikir untuk membumbui novel dengan adegan seperti itu, tetapi akhirnya kusadari bahwa aku terlalu lugu dan tidak romantis. Sama sekali tidak ada bakat dalam menulis hal-hal erotis. Aku menyerah.” Aldo mengangkat bahu.
Dalam hati Tiara, ia sangat mengagumi pria muda di hadapannya. Tak banyak cakap seperti Hans, tetapi menyimpan daya tarik tersendiri yang tanpa disadari menyeret perasaannya ke tingkat yang lebih jauh. Perlahan tapi pasti, daya pikat Aldo Riyanda menghipnotis ke alam bawah sadar Tiara.
“Itu bagus. Menulis sesuatu yang membangkitkan nafsu bukanlah suatu prestasi yang patut dibanggakan!”
Keduanya saling menatap, mencoba mengorek isi pikiran masing-masing. Di mata Aldo, Tiara adalah perempuan yang cukup menarik, sedikit pemalu, cerdas, dan mempunyai keberanian luar biasa. Baginya, keindahan fisik bukanlah segala-galanya. Aldo lebih memandang wanita dari apa yang terendap dalam otaknya.
Adrianna Chen tiba-tiba muncul dari lorong ruang makan, membawa segelas jus lemon. Senyumnya merekah, dengan tampilan elegan seperti biasa. Tubuhnya terbalut gaun agak terbuka di bagian dada, dan bagian rok terbuka pula sampai ke paha. Motif bunga-bunga besar tampak sangat sesuai dipakai di siang yang sedikit panas hari itu.
“Mana yang lain?” sapa Adrianna. Ia memilih duduk di samping Tiara.
“Tak tahu. Mungkin mereka mulai bosan berada dalam rumah ini. Mengapa tak kita katakan saja kematian Pak Anggara pada polisi itu, agar dia mengungkap tuntas yang terjadi di rumah ini?” usul Aldo.
“Tak semudah yang kamu pikir, Aldo. Bahkan Helen memilih bungkam. Dalam beberapa hari ke depan, kalau kasus ini tidak ada kemajuan, aku akan balik ke Jakarta untuk melanjutkan hidupku. Sudah cukup aku membusuk di sini,” ungkap Adrianna.
“Mereka tak akan mengizinkan, sampai kasus ini terungkap,” sambung Tiara.
“Kurasa Karina sudah mengambil langkah benar. Dia berhasil menyelinap keluar dari rumah ini dan mungkin saja ia sudah menikmati harinya di kolam renang, atau makan di restoran terkenal, nonton film di bioskop dan apalah itu.” Adrianna membuang napasnya perlahan.
“Kamu yakin Karina baik-baik saja?” tanya Aldo sambil menatap tajam wajah Adrianna.
“Apa maksudmu?”
“Oh, lupakan saja! Kastil ini jauh sekali dari peradaban. Tentunya bukan perkara mudah bisa keluar dari sini tanpa mobil atau bantuan orang lain.”
Aldo membuang muka, untuk mencegah Adrianna bertanya lebih jauh keberadaan Karina.
Wanita muda itu manggut-manggut. Kecemasan seketika merayap di hatinya. Apa yang dikatakan Aldo benar. Tentunya bukan perkara mudah untuk bisa keluar dari kastil ini.
***
Aroma daging asap menguar dari arah dapur, saat Helen menyiapkan makanan untuk makan malam. Kepiawaian dalam memasak memang patut diacungi jempol. Tak ada menu masakan yang mengecewakan. Semuanya seolah diracik oleh seorang chef kenamaan yang sudah profesional. Helen begitu pandai memadu-madankan aneka jenis bumbu, hingga tercipta dish yang luar biasa sedap.
“Darimana kau pelajari semua ini, Helen?” tanya Mariah yang duduk sambil mengawasi Helen memasak.
“Ibuku salah seorang juru masak yang andal. Beliau memaksaku belajar dengan cara yang keras. Tak segan ia memukul atau menyiram mukaku dengan air ketika aku salah. Dari kecil aku terbiasa memasak dengan sempurna, tak boleh salah.”
Helen menjawab sambil terus fokus memotong bawang.
Mariah mengagumi Helen, wanita paruh baya yang begitu cekatan dalam mengurusi berbagai urusan rumah tangga. Selain pandai memasak, hasil pekerjaan juga selalu rapi nyaris tanpa cela. Lantai selalu bersih, kamar selalu rapi dan berbagai perabot tampak terawat. Sejak muda, Helen sudah mengabdi pada Pak Anggara. Bahkan sempat terlontar, bahwa Helen memberikan sisa hidupnya untuk merawat Pak Anggara.
Dari arah beranda luar, muncul Ammar Marutami dengan setelan kemeja warna cerah. Senyumnya lebar, kemudian mengecupkan bibir pada dahi istrinya.
“Lagi belajar memasak?” sapa Ammar.
“Tidak. Aku tak akan pernah bisa menyamai kehebatan Helen dalam hal memasak. Dari mana saja kamu?” tanya Mariah.
“Aku tadi sempat ke kebun teh sebentar. Agak menyeramkan di sana, karena begitu sepi. Jadi kuputuskan untuk kembali. Omong-omong, aku ingin melihat koleksi tulisan-tulisan tua yang ada di ruang bawah tanah, Helen!” ujar Ammar.
Helen terkejut seketika. Dalam ruangan bawah tanah itu ada jasad Pak Anggara. Mendadak wajahnya memucat, tak tahu harus berkata apa.
“Ruang bawah tanahnya sangat kotor dan bau, Tuan. Mungkin saya akan bersihkan dulu dan....”
“Tak perlu, Helen! Aku ini polisi yang sudah terbiasa dengan hal-hal yang paling menjijikkan di dunia. Lagipula aku hanya turun sebentar dan mengambil buku, bukan untuk menginap di sana. Kamu mau temani aku, Sayang? Siapa tahu kamu bisa bertemu dengan teman kamu dari dunia berbeda ...,” ajak Ammar kepada istrinya.
“Aku sudah sering ke sana, Sayang. Di sana hanya ada roh-roh kesepian yang menjerit. Aku tak mau berurusan dengan mereka. Kesanalah sendiri dan lekas kembali!”
Ammar manggut-manggut. Helen hanya berharap agar keberadaan jasad itu tak diketahui oleh Ammar. Ia hanya bisa pasrah ketika Ammar membuka tingkap dan turun ke dalam ruang bawah tanah.
Perubahan paras wajah Helen, sontak membuat Mariah ingin tahu.
“Kamu kenapa Helen? Kamu terlihat cemas? Sakit?”
Helen menggeleng cepat. Tak diperdulikan pertanyaan dari Mariah. Pikirannya tak tenang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments