Alunan melodi mengiringi Enrico berputar bersama sang bibi di lantai dansa sebuah resort. Dansa waltz yang sangat disukai oleh bibinya. Sesuai dugaan Enrico, Olivia Mirelle tampil sangat memesona untuk wanita seumur dirinya. Bergandengan tangan dengan Enrico memasuki aula pesta pernikahan Lance dan Cecilia. Bibinya mengundang banyak perhatian, sorotan lampu kamera menyambut mereka di pelataran depan ketika Enrico membukakan pintu mobil untuk sang bibi.
"Kurasa kau senang, Bibi. Mereka penasaran denganmu. Mata mereka tak lepas memandangmu sejak kau memasuki aula ini." Enrico berbisik di telinga Olivia.
"Hahhhh ... tentu saja, mereka penasaran denganku. Kurasa pertanyaan yang berkelebat di kepala mereka adalah siapa wanita itu. Yang digandeng Tuan Costra dengan senyum terkembang sempurna, dengan mata berbinar menggoda. Mereka tertarik padaku karena pria yang sekarang tengah berdansa denganku!"
"Terima kasih, Bibi. Keponakanmu ini memang sangat menggoda dan sangat menarik," ucap Enrico sambil mengedipkan sebelah matanya. "Tapi jangan berkecil hati, Bibi. Kau juga sangat cantik, anggun dan ...." Enrico berhenti bicara, ia sedikit mendongak melihat ke arah atas seolah tengah berpikir sambil terus berputar bersama bibinya.
"Dan apa, Anak nakal!"
"Dan ... menarik mata banyak pria."
Olivia mendengus kecil mendengar ucapan keponakannya.
"Tapi ...." Enrico sengaja kembali berhenti bicara.
"Tapi apa?"
Olivia menatap Enrico yang dengan sengaja memutar kepalanya memandang seputar aula dansa dengan mata menyipit.
"Shhhh ... banyak pria yang memandangmu sejak kita tiba. Tapi yang terlihat tertarik dan terpesona kelihatannya hanya pria yang sudah punya kerutan di pelipisnya dan punya uban di kepala."
Sebuah tepukan mendarat di bahu Enrico, lalu menyusul cubitan di lengan atasnya.
"Jangan menghinaku, Anak nakal! Untuk apa masih gagah dan muda? Lihatlah dirimu!? Untuk pergi ke pesta seperti ini saja kau tak punya pasangan! Hingga terpaksa membawa bibimu yang tua dan jelek ini!"
"Aku bukan tidak punya, Bibi. Aku sengaja mengajakmu agar kau juga bisa melihat Alan dan Ally. Lagipula siapa yang bilang kalau kau tua dan jelek? Kau cantik dan anggun malam ini Nona Olivia Mirelle," goda Enrico.
Alunan musik akhirnya berhenti, dengan perlahan Enrico membimbing bibinya meninggalkan lantai dansa. Mereka berjalan bergandengan menuju meja minuman. Setelah mengambil sebuah gelas dan menyerahkan pada bibinya, Enrico mengambil satu lagi untuk dirinya sendiri. Namun baru saja gelas tersebut akan menyentuh bibirnya, sebuah tangan merebut gelas dengan paksa hingga gelas terlepas.
"Pasanganmu cantik sekali malam ini Tuan Costra. Aku jadi ingin menculiknya sebentar untuk dansa berikutnya nanti." Derek Langton menyeringai senang sambil mulai menyesap minuman yang ia rampas dari tangan Enrico.
"Boleh saja Tuan Langton, asal kau mengizinkan aku berdansa dengan si mungil cantik yang jadi pasanganmu malam ini."
Derek terkekeh, ia menoleh ke arah Olivia dengan senyum lebar. "Halo Bibi. Aku belum menyapamu dengan layak. Pria ini entah kenapa tidak datang saat prosesi pernikahan siang tadi. Apakah kau tahu alasan kenapa dia melakukannya Bibi?"
Olivia Mirelle tersenyum ketika Derek mendekat dan mencium pipinya setelah selesai mengucapkan pertanyaan.
"Jangan tanya aku, Derek. Temanmu tak pernah memberitahuku semua keputusan dan alasannya. Kau tanya saja padanya langsung. Dimana istrimu Derek? Ia suka berdansa, tapi kenapa dia tidak kelihatan?"
"Amy terlihat lelah Bibi. Dia istirahat bersama Ally."
"Kehamilannya ... sudah 9 bulan bukan?"
Derek menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Olivia. "Hanya menunggu hari ia akan melahirkan Bibi."
"Dan kau masih mengajaknya kesana kemari?"
Derek tertawa kecil. Teringat istrinya yang melotot ketika ia dilarang pergi ke suatu tempat yang ia inginkan.
"Amy tidak bisa dibujuk untuk diam di rumah. Dia mengatakan dia ibu hamil, bukan orang sakit ...jadi yang bisa kulakukan hanya menjaganya Bibi."
Olivia mengangguk lalu melirik ke arah keponakannya yang hanya diam berdiri dengan sebuah gelas baru berisi minuman.
"Yah ... kau beruntung Derek. Kau menunggu kelahiran anak ketiga. Tiga ... ck ck ck, kau punya tiga ... pria di sampingku ini bahkan kesulitan untuk hanya sekedar mencari istri. Jangankan memikirkan bayi ... seorang istri saja dia kesulitan mencarinya."
Enrico menyeringai mendengar sindiran bibinya.
"Aku tidak kesulitan Bibi. Aku hanya menunggu orang yang tepat lalu akan mulai mengejarnya. Meski kuakui aku akan butuh bantuanmu ketika aku memulainya nanti."
Mata Olivia dan Derek tiba-tiba membulat dan membelalak memandang Enrico. Sinar mata mereka penuh rasa penasaran dan tertarik.
"Dari ucapanmu orang yang tepat tersebut sudah ada?" tanya Olivia.
"Tentu saja."
"Astaga ... katakan pada kami siapa dia Enrico?" Derek menggosok kedua telapak tangannya.
"Itu rahasia, Langton."
"Oh, ayolah! "
Enrico tertawa sambil melirik ke arah bibinya dan juga Derek. Paras seseorang tiba-tiba melintas di otaknya, ia menggeleng sambil tersenyum miring. Dengan mata menerawang Enrico memandang seputar aula dansa, melihat pasangan pengantin baru yang tengah mengobrol dengan para tamu yang menyapa dan memberi selamat pada mereka. Ia sengaja tidak datang tadi siang saat keduanya mengucapkan janji pernikahan. Membayangkan melihat prosesi itu membuat hatinya sedikit iri karena Enrico menyadari ia menginginkan itu juga. Ia menginginkan membentuk keluarganya sendiri, seorang wanita yang akan mendampingi hidupnya dan juga mencintainya.
"Pertemukan aku dengan seseorang yang kau bayangkan di otakmu itu, Rico." Olivia bersedekap sambil menatap penasaran ke arah mata keponakannya yang terlihat menerawang.
Bibir Enrico menyunggingkan sebuah senyum, tangannya yang memegang gelas terangkat ke arah bibir, kedua matanya menangkap sosok seorang pria dengan tuxedo hitam yang tampak pas di tubuhnya. Pria itu berdiri dengan punggung tegak, sangat kaku dan terlihat sedikit tidak nyaman berdiri di sana bersama dua orang wanita yang sepertinya membuatnya kewalahan. Senyum Enrico tiba-tiba berubah jadi seringai ketika menatap pria itu, karena sosok itu membuat sosok lain yang ada di otaknya saat ini jadi semakin jelas, seorang gadis dengan pipi memerah karena malu menyadari kesalahannya mengira jemari Enrico sengaja mau mengelus pipinya, alasan Enrico hanya ingin membersihkan remah roti di pipi gadis itu. Dengan terkekeh pelan Enrico berkata pada dirinya sendiri.
Padahal aku sengaja melakukannya ... aku jadi rindu, mau membuat pipi itu memerah lagi, kali ini bukan karena malu ... tapi karena hatinya berdebar-debar dan perasaan itu merambat ke wajahnya. Mungkin ... bisakah dia akhirnya jatuh cinta padaku?
"Jangan bilang kalau kau akhirnya jatuh cinta Tuan Cassanova. Melihatmu senyum sendiri seperti itu aku jadi sedikit merinding. Katakan ... siapa gadis itu?" Derek Langton menyuarakan pertanyaannya dengan rasa penasaran yang makin menjadi.
"Kali ini kuharap akan jadi pelabuhan terakhirmu, Rico. Kau sudah cukup tua untuk hanya bermain-main." Olivia mengangkat gelasnya sendiri dan mulai menyesap.
Dengan sedikit membungkukkan tubuh Enrico memberikan salam hormat ke arah bibinya. "Kali ini akan berbeda Bibi ... kurasa kau akan menyukainya ketika bertemu."
"Astaga ... kau serius rupanya. Mau kubantu?" tanya Derek dengan seringai lebar. Namun hanya dijawab dengusan oleh Enrico dan disambut tawa renyah yang terdengar riang dari Olivia.
*************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
lisna
Akhirnya jatuh cinta juga cie..cie....😁
2023-07-06
0
Ney maniez
💪💪💪💪
2023-02-22
0
Ridha 💕
cassanova yg jatuh cinta
2022-12-04
0