"Bu, saya pamit pulang dulu. Ada bapak yang jagain ibu di sini."
"Makasih ya, Bi. Hati-hati di jalan."
"Semoga kita bisa bertemu lagi nanti ya, Bu. Yang kuat, yang sabar."
"Iya, Bi. Makasih ya sekali lagi."
Bi Juriah pun pergi.
"Gimana keadaannya sekarang, Bu?" tanya Raden berpura-pura seakan dia baru datang.
"Mendingan, Pak. O, iya. Saya bisa pulang kapan, ya? Kasian anak-anak terlalu lama ditinggal."
"Mungkin besok. Pastikan dulu kondisi ibu sehat benar. Lebih susah lagi ngurus anak dalam keadaan sakit."
"Iya juga, sih."
"Sodara ibu ... emm maksudnya sodara kandung, apa ...."
Hasna tersenyum. Dia tau Raden sungkan bertanya tentang pribadinya.
"Saya lima bersodara, Pak. Orang tua saya jauh dari sini. Mereka tinggal di Majalengka. Kemarin mereka lama di sini saat suami saya meninggal. Saya anak sulung."
"Oohhh, kebetulan saya anak ketiga dari lima bersaudara. Semuanya laki-laki kecuali yang bungsu, dia perempuan sendiri. Orang tua saya tinggal ibu. Bapak saya meninggal karena jatuh dari atap."
"Innalilahi."
"Anak saya dua. Yang pertama laki-laki, dia kuliah semester akhir ngambil hukum, dan yang ke dua masih SMA kelas 2. Perempuan."
Hasna manggut-manggut.
"Ibu udah makan? Kalau belum saya pesan lewat online."
"Sudah, Pak. Terimakasih."
Raden melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah malam, ibu lebih baik istirahat biar lekas sembuh."
Hasna mengangguk. Dia membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga menutupi dada. Meski tidak mengantuk, dia memaksakan diri untuk terpejam. Rasa canggung dan tidak nyaman karena berada di ruangan yang sama dengan orang asing, membuat dia selalu kesulitan tidur dengan nyenyak.
"*Bi, kenapa Pak Raden begitu baik sama saya? Maksudnya ... ya gak wajar kalau dia mau tanggung jawab sampai menunggu saya segala di sini. Jujur, saya merasa tidak nyaman."
"Dulu, saat dia sedang di luar kota, istrinya pergi menjemput anaknya yang sedang sekolah. Sejak awal bapak tidak pernah mengizinkan Bu Erna memakai sepeda motor, namun entah kenapa hari itu malah diizinkan. Bu Erna tertabrak dan nahasnya dia ditinggal begitu saja. Bu Erna tidak tertolong karena lamanya pertolongan. Mungkin bapak trauma dan tidak ingin itu terjadi pada ibu."
"Oh, begitu. Tapi tetap saja saya merasa kurang nyaman. Padahal dia tanggung jawab membiayai rumah sakit pun udah cukup."
"Kita tidak pernah tau sedalam apa trauma seseorang. Mungkin bagi kita itu hal yang terdengar aneh dan biasa. Tapi, hati manusia siapa yang tahu*."
Hasna mencoba memaklumi apa yang Raden lakukan sekarang karena mendengar cerita dari Bi Juriah.
Semu orang punya masa lalu, punya masalah dan ketakutan sendiri. Mereka pun punya trauma masing-masing yang mungkin tidak akan pernah bisa kita mengerti.
Hasna yang sudah mulai tertidur merasa tangannya sakit. Perlahan dia membuka matanya dan memeriksa apa yang terjadi. Dia begitu kaget saat melihat selang infusnya berwarna merah.
"Astaghfirullah!"
Teriaknya membuat Raden yang juga sudah tertidur, terbangun.
"Ada apa?" tanyanya sambil mengucek mata.
"Darah, ini kenapa berubah jadi merah?" tanyanya panik.
Raden melihat selang infus Hasna, dan ternyata botol infusnya sudah habis. Raden segera kelua dan memanggil perawat.
Perawat pun datang.Mereka langsung melakukan tindakan.
"Gimana sus?" tanya Raden.
"Gak apa-apa, Pak. Tadi cairan infus istri bapak habis, jadinya darahnya yang naik. Tapi gak apa-apa. Udah normal lagi kok."
"I-iya. Terimakasih, sus." Raden menjadi gagap karena ucapan perawat tadi.
Sementara Hasna menundukkan kepala sambil berpura-pura melihat infusannya yang baru.
"Saya permisi dulu, Pak. Nanti kalau cairan infusnya tinggal sedikit, bapak jangan tidur dulu takut darah istri bapak naik lagi ke selangnya."
Raden mengangguk grogi.
Hasna tidak ingin melihat wajah Raden, lebih tepatnya dia tidak ingin bertatapan dengan pria itu. Perlahan dia membaringkan tubuhnya sambil membelakangi Raden.
"Dingin," ucap Raden sambil menyelimuti tubuh Hasna. Sontak wanita itu terkejut dan ... merasa aneh.
Raden berdehem. Dia duduk lalu mengambil ponsel. Membuka beberapa aplikasi lalu menutupnya. Membuka aplikasi lain, lalu kembali menutupnya. Begitu seterusnya hingga beberapa kali dan entah sedang mencari apa.
Malam pun semakin larut, keduanya pun terlelap.
Azan subuh berkumandang. Hasna terpaksa membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Perlahan dia bangun, turun dari tempat tidur untuk mengambil wudhu. Sudah payah dia melakukan itu karena tidak mungkin meminta Raden untuk membantunya wudu di atas ranjang.
Hasna mengambil mukena dan solat dalam keadaan duduk.
"Assalamualaikum warahmatullahi ...."
Ya Allah Ya Rabbi. Sampaikan rindu hamba untuk suami hamba. Berikan dia tempat yang mulia di sisimu. Ampuni segala dosanya ya Allah. Aku bersaksi bahwa dia orang yang baik dan bertanggung jawab pada keluarga. Ridhoi dia ya Allah. Katakan padanya kalau hamba sangat rindu. Hamba sangat merindukan dia ya Allah.
Hasna menangis sambil terus berdoa untuk almarhum suaminya.
Raden yang mendengar Isak tangis Hasna hanya melihat dalam diam. berpura-pura tertidur karena tidak ingin menganggu khusyuknya Hasna dalam berdoa.
Kenapa setiap melihat kamu menangis, hatiku selalu merasa sakit? Beban apa yang sedang kamu pikul, Hasna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments