Mencoba Untuk Setia
"Itu karpetnya langsung digulung lagi aja."
"Iya, Bu."
"Sri, sisa makanannya langsung dibungkus aja. Bagikan sama orang yang udah bantuin kita. Mumbazir kalau gak kemakan."
"Iya, Wa."
"Sep, kakak ipar kamu mana? Ibu gak lihat dari tadi."
"Setelah tahlilan selesai, dia langsung masuk ke kamar sama anak-anaknya."
"Oh, ya sudah. Udah makan belum ya mereka?"
"Kakak sih belum. Tadi Nay, Shaki sama Puput mah udah sama aku."
"Syukurlah. Ya udah, kamu bantuin orang di depan rapihin kursi. Bantu angkut ke mobil soalnya mau dipake sama Bu Ijah buat nikahan anaknya nanti lusa."
"Ya, Bu."
Bukan karena tidak sedih, Bu Sari hanya berusaha tegar setelah kehilangan anaknya 40 hari lalu. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan mengurus acara tahlilan anaknya? Sementara Hasna--menantunya-- tidak bisa diajak berdiskusi karena dia begitu terpuruk.
Hari seorang ibu pasti akan merasa sakit ditinggal pergi anaknya untuk selamanya, tapi dia pun sadar bahwa tugasnya lah untuk mengurus segala sesuatu mengenai kepergian anaknya.
Sanak sodara yang awal mulanya berdatangan untuk membantu, kini pergi satu per satu.
Suasana sepi mulai terasa. Kebisingan itu mulai sirna menyisakan hampa tiaa tara.
Hasna memeluk anak bungsunya, Nay. Di samping Nay ada anak keduanya yaitu Shaki. Lalu di sisi sebelahnya ada Puput si anak sulung.
Hasna memeluk semua anaknya sambil menatap mereka satu persatu. Sekuat tenaga Hasna tidak menitikkan air mata di depan sang buah hati. Dia tidak ingin anaknya yang sudah mulai tidak bersedih hati, kembali tersakiti.
Ya, Nay dan Shaki memang masih begitu kecil. Mereka akan mudah melupakan perasaan meski tidak benar-benar melupakannya. Mereka hanya sedang teralihkan oleh berbagai hal, apalagi sodara Hasna begitu care pada mereka. Sebisa mungkin mereka akan menghadirkan senyuman di putri kecil itu.
Berbeda dengan Puput yang sudah berada di masa transisi dari anak-anak ke remaja. Air matanya terus menetes. Entah berapa kali dia mengusapnya agar tidak dilihat oleh adik-adiknya.
Hasna tersenyum hangat pada putri sulungnya. Meminta agar dia bisa lebih kuat lagi.
"Bun, ayah itu pasti sudah senang kan? Soalnya kata guru aku di sekolah, di surga itu air sungainya susu. Banyak buah-buahan, mau apa aja tinggal minta," tanya Shaki, si anak cerewet.
"Iya, Sayang. Ayah sudah bahagia di sana. Shaki bahagia juga kan?"
"Iya, aku bahagia. Tapi nanti gak ada yang ngajak kita main speda lagi dong. Bunda kan gak bisa naik sepeda."
"Ada om yang bakal ngajakin. Kita ada om banyak. Ya kan, Bun?" tanya Nay.
"Iya, Sayang."
"Udah malem, ayo bobo. Nay ngantuk."
Merek mereka semua diam.
"Aku kangen sama ayah." Suara Shaki mulai serak karena menahan tangis.
"Aku juga," timpal Nay.
"Kalau kangen sama ayah, kita bacain Al Fatihah ya. Nanti Allah sampaikan doa kita ke ayah. Ayah pasti denger suara kalian dari surga. Yuk, mulai baca."
Mereka mengangkat tangan mereka lalu mulai membaca Al Fatihah bersama-sama.
Hasna menepuk-nepuk mereka silih berganti, hingga dia bocah itu mulai menutup mata mereka perlahan, semakin lama semakin rapat dan ... lelap.
Setelah adiknya terlelap, barulah Puput mengeluarkan suara tangisannya. Tidak ingin adiknya terganggu, dia membenamkan wajahnya di atas bantal. Sekuat tenaga menahan agar suara itu tetap ada di dalam, namun terasa begitu menyesakkan dada bahkan dia merasa tidak bisa lagi bernafas dengan baik.
"Kakak ...." Hasna bangun lalu mendekati anak sulungnya.
"Sakit, Bun." Suaranya terbata-bata. Tangannya menepuk-nepuk dada.
"Sini, sayang."
Hasna meraih tubuh anaknya ke dalam pelukan. Puput tidak mengeluarkan suara lagi, namun dia lebih terlihat seperti orang terkena serangan astma. Kesedihannya membuat dia kehilangan cara untuk mengeluarkan air mata hingga timbulnya menjadi sesak.
Hati Hasna terluka semakin dalam melihat anaknya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan tiga putrinya kelak. Mereka masih terlalu kecil. Masa depan mereka masih sangat panjang dan kini kehilangan sosok ayah sebagai penunjuk jalan.
Puput tertidur dalam dekapan ibunya. Perlahan Hasna membaringkan Puput di atas kasur.
Setelah anaknya tertidur, dia keluar dan masuk ke dalam kamarnya dan suaminya dulu.
Perlahan dia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Memiringkan badan dan menghadap pada tempat di mana suaminya biasa tertidur. Di usapnya bantal itu dengan tangan yang gemetar.
"Ayah ...." bisiknya.
Air mata wanita mulai luruh. Seperti air yang membludak.
"Aku rindu. Ayah kenapa begitu cepat pergi? Bagaimana aku membesarkan anak kita nanti? Apa yang akan terjadi pada mereka jika kamu gak ada? Bukannya ayah bilang ingin melihat kakak menjadi pengacara? Ayah juga mau Shaki mendapatkan medali emas bulan depan? Dia berlatih terus loh, dia bilang mau ngasih mendali emasnya buat ayah. Ayah, Nay sering manggil kalau dia bangun tidur."
Hasna terus berbicara sendiri sambil mengusap bantal yang biasa dipakai suaminya.
"Siapa yang nemenin aku minum teh kalau malem?"
Kesedihan itu terus bertambah saat Hasna mengingat semua kenangan indah bersama suaminya. Tangisan yang sudah berhari-hari dia lakukan membuat tubuhnya lelah hingga dia tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments