Bab 7 - Mendadak Miskin
"Kau tadi bilang apa, Na? Aku yakin kau baru saja mengucapkan kata terima kasih," ucap Risa seraya menunjukkan deretan gigi rapinya yang mulai menguning karena kerap mengkonsumsi kopi.
"Bersihkan kotoran telingamu! Jangan asal bicara!" ketus Ana pura-pura.
"Ih, kau ini menyebalkan! Sudahlah kalau gitu kau tidak usah banyak bicara dulu!" sela Risa cepat seraya kedua tangan mengepal dan hendak meninju Ana.
Namun, hal itu hanya bercanda. Lalu, dia kembali menatap Ana.
"Aku tahu ini akan jadi sesuatu yang panjang, kau hanya harus bertahan dengan kewarasan, Na," kata Risa setengah mengeluh.
Tidak pernah sedetik pun Ana bayangkan akan mengalami hal ini. Bangkrut, terpuruk, bahkan mengalami kecelakaan. Aset kulit mulusnya pun memudar seiring banyaknya luka memar dan lecet-lecet baik di tangan maupun di kaki.
"Apa orang bank itu tahu kalau aku dirawat di sini?" tanya Ana.
"Entahlah, belum ada siapa pun yang menjenguk mu kecuali Tomi dan Mia. Kalau Diana, aku rasa dia melarikan diri. Oh iya, Mas Bima juga kirim bunga. Tuh, aku letakkan di sana!" Risa menunjuk sebuah karangan bunga di atas meja depan sofa yang ada di kamar VIP tempat Ana dirawat.
"Bagaimana dengan biaya rumah sakit ini, Sa?" Ana terlihat khawatir.
"Sudahlah jangan dipikirkan. Biaya rumah sakit kan urusan asuransi. Kalau tak dicover semua, aku masih punya tabungan untuk membayar biaya perawatanmu dan hutang bank. Kalau seandainya kurang, saranku adalah menjual apartemenmu itu. Barang-barang branded milikmu itu juga harus dilelang," ucap Risa.
"What?! No way!" pekik Ana.
"Na, kau butuh uang untuk melanjutkan hidupmu! Heavenly Boutique juga sudah hancur! Tak ada investor lagi yang mau bekerja sama dengan kita." Risa terlihat sangat kecewa pada Ana.
Ana menoleh ke arah Risa lagi dan menatap perempuan itu tajam.
"Jadi, aku sekarang miskin?" tanya Ana.
"Ya, mau bagaimana lagi. Kita mulai dari nol lagi ya, Na? Tapi, kita pindah dari sini. Skandal video mu itu akan terus membayangi karirmu jika kita tetap di sini," ucap Risa.
Risa tampak menoleh ketika gorden berwarna biru muda itu tersingkap pelan. Di baliknya, muncul seorang pria paruh baya yang mendekat dengan stetoskop di leher.
Risa bangkit untuk menyambut dokter itu, yang langsung mengambil posisi tepat di samping Ana.
"Halo, Nona Ana! Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya sang dokter itu yang mendekat dengan pelafalan yang cukup jelas.
"Iya, Dok. Saya sudah lebih baik."
Ana memang sudah jauh lebih baik, daripada terakhir kali yang bisa dia ingat. Dokter berkacamata itu tersenyum ramah.
"Bagus sekali kalau begitu. Kau mengalami cedera kepala ringan dan sedang, kesadaran mu ternyata masih baik dan cenderung hanya mengalami gangguan fungsi otak yang bersifat sementara," tukasnya.
"Tapi, saya masih merasa pusing dan nyeri di kepala, Dok."
"Rasa nyeri di kepala, memar di kepala, mual muntah, dan merasa ingin pingsan yang dirasakan dalam hitungan jam hingga beberapa hari setelah kecelakaan, jangan khawatir. Selain itu berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen tengkorak maupun CT scan kepala tidak didapatkan gangguan pada struktur otak secara bermakna. Saya juga tidak menemukan kerusakan jaringan pada otak dan tengkorak Anda," ucap Dokter Richard.
"Syukurlah kalau begitu, Dok. Lalu, kapan Ana bisa pulang?" tanya Risa.
"Sampai dia pulih dengan baik. Oleh karena itu, kami harus mengobservasimu dulu selama beberapa hari ke depan. Kau akan dirawat hingga lukamu membaik," ujar dokter tersebut.
Risa tidak punya pilihan, selain kembali mengangguk.
"Kini beristirahatlah dan minum obatnya," sambung dokter itu lagi.
Ana menangkap semua dengan jelas, sebelum kemudian dokter itu melukiskan senyum di wajahnya untuk pamit undur diri. Dia meninggalkan Ana dan Risa di bilik kecil itu. Keduanya saling mengatupkan bibir satu sama lain. Namun, manik keduanya saling bertautan.
"Kau tahu di mana Jaya, si pemilik Batik Garuda?" tanya Ana.
Risa kembali duduk di kursi persis di samping ranjang Ana lalu menjawab, "aku sedang mencari tahu di mana dia. Memangnya kau mau apa dengannya?"
Ana tersenyum menyeringai.
"Dia harus mengganti rugi semuanya."
...***...
Satu bulan berlalu, Ana sudah sehat dan pindah ke desa bersama Risa. Semua harta yang ia punya habis untuk membayar hutang di bank, biaya rumah sakit, dan juga gaji karyawan.
Perempuan malang itu kini tinggal dengan keluarga Risa yang ternyata bekerja sebagai petani. Namun, bakat menjadi seorang designer Ana tak pernah pudar. Ia membeli mesin jahit dan menerima pesanan membuat pakaian bagi para tetangga Risa.
Ana menatap dinding kamarnya. Di sana ada skema tentang pencariannya terhadap Jaya. Tangannya mencoret wajah Jaya dengan spidol merah membentuk huruf X. Dia akan selalu bertekad mencari Jaya untuk mengganti rugi atas kebangkrutannya.
"Aku akan menemukanmu. Aku akan mencincang tubuhmu itu. Lihat saja nanti," lirih Ana.
Risa mengetuk pintu kamar Ana. Gadis itu membukanya.
"Aku sangat senang kau mulai banyak berubah. Aku tak menyangka kau bisa bertahan seperti ini. Aku bangga padamu, Na." Risa memeluk Ana dari samping.
"Aku hanya mengumpulkan uang untuk mencari dia!" Ana menunjuk foto Jaya.
Tiba-tiba, Risa menatap Ana dengan lekat.
“Apa kau baik-baik saja, Na? Wajahmu sangat pucat,” ujar Risa.
“Iya, aku baik-baik saja.” Ana melayangkan senyum manis di wajahnya.
“Sumpah, Na. Kau sangat pucat. Apa kau sedang demam, ya?" Risa menyentuh dahi Ana.
“Aku tak apa-apa, Sa. Tadi ibumu bilang juga mengatakan kalau aku pucat. Mungkin aku kurang darah atau aku salah memakai warna base make up, ya?” Gadis itu lalu menepis tangan Risa seraya terkekeh.
"Aku serius, Na, jangan bercanda!"
"Sudahlah, Sa. aku mau ke ladang menemui Bibi Siti. Pakaian yang dia pesan sudah jadi," ucap Ana.
"Baiklah kalau begitu. Maaf aku tidak bisa mengantarkan mu. Aku harus membawa kue pesanan Bu Citra," tukas Risa.
"Aku bisa, kok, sendiri. Kau tenang saja." Ana lantas pergi menuju ladang yang jaraknya satu kilo dari rumah. Ia sudah terbiasa berjalan ke sana.
Saat Ana menuju ke ladang, mendadak tubuhnya limbung. Kepalanya juga pusing. Ana tak fokus dan tertabrak pengendara motor yang tengah melintas.
"Aaawww!" pekik Ana.
"Mbak Ana?" Bapak pengendara motor yang merupakan tetangga Risa itu tampak panik.
Ana meringis saat melihat tangan kirinya terluka. Darah mengucur dari sikunya. Namun, saat si pengendara motor mendekat dan membantu Ana untuk bangkit, perempuan berparas ayu itu lantas tak sadarkan diri kemudian.
"Waduh! Mbak Ana kenapa pingsan begini?!"
...*****...
...Bersambung dulu, ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
choowie
mungkin s Diana juga yg nyebarin video itu😬
2023-09-08
0
Ayuk Vila Desi
ana hamil
2023-06-30
0
dianelischaa94_
Bukan nyeremin sih ini dendamnyaa..
Tapi lebih ke lucu🤣🤣
2023-03-14
0