"Ini semua bukan salahku, Nyonya. Tapi Raka! Dia yang mau memperkosa ku! Aku berteriak dengan menjejak-jejakkan kedua kakiku yang diseret oleh ibu mertuaku.
Keadaannya yang mabuk membuatnya seperti memiliki kekuatan yang berlebihan hingga hentakan kakiku benar-benar tak ada apa-apa nya dibandingkan dengan cengkeraman tangannya.
"Kamu mau memfitnah anak saya? iya? " bentaknya seraya melemparkan kakiku begitu saja ke dalam kamar mandi Raka.
"Aaakh... " teriakku saat tubuhku ikut terlempar dan berhenti karena terhantuk dinding.
"Ambilkan air es, Raka, " ucapnya yang membuat mataku melebar.
"T-tapi, Ma? " Raka terlihat keberatan dengan perintah ibunya, tapi ia tak berani membantah karena takut akan ketahuan tentang perasaan nya padaku, juga kebohongannya saat ini pada ibu mertuaku itu.
"Kamu mau membantah dan membuat Mama lebih marah dari ini, Raka? " ucap mama Siska penuh penekanan.
"Ba-baik, Ma, " dengan berat hati lelaki brengsek anak mami itu pergi, mungkin ia akan benar-benar menjalankan perintah dari ibunya.
"Aaakh.. lepas, Nyonya! " aku memukul-mukul tangannya saat ibu mertuaku kembali menarik kasar rambutku.
"Bisa-bisanya kamu menuduh anak saya mau memperkosa kamu. Kamu fikir kamu itu siapa? hah? Kamu itu tak lebih berharga dari hanya seonggok sampah yang menjijikkan, " ia hempaskan kepalaku seiring perkataannya yang penuh penekanan.
Aku menangis meratap, rasa sakit dari benturan di kepalaku tadi pagi saja belum sembuh, ibu mertuaku sudah kembali menjambak dan meremas rambutku dengan kasar hingga kepalaku kembali pening dan berkunang-kunang.
Memang apapun yang aku katakan akan selalu salah baginya, bahkan aku tak berbuat apapun juga masih aka salah di matanya. Entahlah, memiliki dendam apa dia padaku, hingga ia memperlakukanku seperti sampah yang berbau busuk. Di tendang, di injak-injak, lalu disingkirkan.
"Tapi saya tidak berbohong, Nyonya, " gumamku pelan.
Raka datang dengan seember penuh es batu di tangan kanannya, dan seember lagi air, mungkin itu air es seperti apa yang ditetapkan ibunya tadi padanya.
Aku menelan ludah susah payah dan hanya bisa berpasrah, ingin lari tapi mereka berdua pasti tidak akan membiarkankan aku begitu saja. Ingin melawan, itu adalah hal yang mustahil karena aku bukanlah manusia super yang memiliki kekuatan di atas manusia biasa.
Cetarr ...
"Aaak... " tubuhku terjingkat saat tiba-tiba punggungku mendapatkan pecutan ikat pinggang.
"Jangan, Nyonya... aaakh.. " jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku yang sudah hancur lebur.
Air mataku pun sudah tidak bisa lagi terhitung berapa banyak jumlahnya yang luruh karenanya.
Tak ada gunanya aku menjelaskan, karena ibu mertua hanya akan percaya pada perkataan Raka saja, bahwa aku menggoda anak semata wayangnya itu.
"Nikmatilah belaian ikat pinggang Raka ini! Karena kamu sudah berani menuduh anakku yang tidak-tidak, "
"Ampuun... ampun, Nyonya, "
Aku terus menerus memohon ampun saat ibu mertuaku dengan membabi buta memukulku dengan ikat pinggang Raka.
Rasa sakit, pedih, lemah, dan kulitku tubuhku serasa terkelupas, serta tulang belulangku seakan remuk setelah berulang kali terkena lecutan ikat pinggang tersebut.
"Sudah, Ma. Hentikan, Ma.. " seru Raka merebut ikat pinggang di tangan ibu mertuaku.
Pecutan itu pun terhenti, tetapi berganti dengan guyuran air es yang sontak membuat semua luka di tubuhku semakin pedih dan tubuhku serasa membeku.
Aku menggigil kedinginan dan tak bisa merasakan semuanya lagi, seluruh tubuhku seakan mati rasa. Mungkin karena rasa sakit yang terlalu berlebih dan tak bisa lagi kutahan. Aku pun kembali tak sadarkan diri.
Author pov.
Mata Raka membelalak saat melihat darah mengalir di bawah tubuh Anggita. Lelaki itu panik dan ketakutan. Takut akan terjadi sesuatu pada Anggota, dan juga takut jika dirinya serta ibunya akan menjadi tersangka jika ketahuan.
"Ma, darah, Ma.. "
"Apa? "
"Itu, Ma. Bagaimana ini? kita akan dituduh sebagai pembunuh kalau sampai ada yang tau, Ma, "
"Hah.. sial! " mama Siska menggeram. Ia menjambak rambutnya sendiri tak kalah panik.
Apa yang akan dia katakan jika ada yang tau hal itu. Siska memikirkan suatu cara yang licik untuk dirinya dan anak tercintanya bisa terbebas dari tuduhan.
"Tidak-tidak.. tidak akan ada yang tau kalau dia tidak mengadu 'kan? " Raka mengangguk.
Mama Siska menyeringai, "kita buat dia tidak bisa mengadu lagi, "
"Maksud Mama apa? " tanya Raka tidak mengerti.
"Seret sampah ini ke balkon, " titah Mama Siska pada Raka.
"Anggita, Mah? " tanya Raka memastikan ia tak salah mendengar.
"Siapa lagi kalau bukan dia sampah disini?" bentak Mama Siska.
Wanita itu memijat pelipis, "lama kelamaan kamu bisa ikut jadi sampah kalau sering bergaul sama dia, "
"I-iya, Mah, " Raka berjongkok, merengkuh tubuh Anggita yang sudah tak berdaya. Darah pun terus mengalir di sela-sela kakinya, membuat Raka meringis ngeri sekaligus juga kasihan pada wanita yang sudah hampir diperkosa olehnya itu.
"Mau ngapain kamu? "
Raka berhenti dengan kedua lutut menyangga tubuhnya juga Anggita yang sudah berada dalam gendongannya, "mau bawa Anggi keluarlah, Ma. Bukannya tadi Mama sendiri yang suruh? gimana sih, "
"Mama suruh kamu seret dia, bukan gendong dia. Bodoh! " Siska semakin emosi melihat tingkah anaknya yang seperti orang idiot.
Raka seperti linglung dan bodoh karena merasa bersalah terhadap Anggita. Jika dirinya tak berulah, maka h itu tak akan terjadi pada Anggita, fikir nya menyalahkan diri sendiri.
Tapi sisi dirinya yang lain juga memungkiri jika itu bukanlah salahnya, melainkan salah Anggita sendiri yang tak mau menuruti keinginannya, kalau saja wanita itu menurut makan semuanya tak akan menjadi kacau seperti saat ini.
"Kamu benar-benar sudah tercemari oleh kebodohan wanita sampah dan udik ini! " Siska mendekat kearah Raka, dan menarik kaki Anggita.
"Apa yang mau Mama lakukan? " Raka memeluk erat tubuh Anggita agar tak kembali diseret oleh ibunya.
"Turunkan dia Raka! Atau Mama seret sekalian sama kamu, " bentak Mama Siska.
"Tapi, Ma. Dia sudah seperti ini. Apa Mama tidak punya sedikitpun belas kasihan pada wanita malang ini? " protes Raka yang sukses membuat darah ibunya tersebut mendidih.
Kedua mata Mama Siska mendelik, "belas kasihan?" teriaknya.
"Coba ulangi sekali lagi, Raka. Belas kasihan katamu tadi?" Bentak Mama Siska lebih kencang di samping telinga Raka.
Wanita itu memukul kepala Raka menggunakan sepatu hills nya, "ini kalau Mama tidak punya belas kasihan, " ucapnya geram.
"Aargh ... " teriak Raka.
"Kenapa Mama malah memukul kepalaku? Apa Mama sudah gila? " lelaki itu juga tersulut emosi, hingga rasa takut yang semula menghinggapi dirinya nya menguap entah kemana.
"Oh.. jadi kamu sudah berani sama Mama? Kamu juga mau melawan Mama sekarang? "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments