Papa istirahat ya, biar cepat sembuh.. " ucap Anggita sembari menyelimuti ayah mertuanya sebatas dada.
"Terimakasih, Nak. Kamu juga langsung istirahat ya, jangan malah mengerjakan hal yang tidak-tidak. Karena yang terpenting sekarang ini adalah kesehatan kamu dan juga anak di dalam kandunganmu, " nasehat Papa Refan sebelum memejamkan matanya yang sudah terasa berat karena mengantuk.
Selain obat pelumpuh syaraf, mama Siska juga sering memberikan obat penenang sekaligus obat tidur untuk suaminya. Agar jika ia melakukan segala sesuatu, terutama saat ia melakukan kekerasan terhadap Anggita tidak akan diketahui oleh suaminya tersebut.
"Iya, Pa. Makasih udah sayang sama Anggi, " Papa Refan tersenyum dan langsung tertidur begitu saja tanpa sempat menjawab.
"Makasih udah sayang sama Anggi, " mama Siska menggumam menirukan perkataan Anggita dengan bibir yang mengejek, ia merasa muak melihat dua orang tersebut.
Mama Siska segera menggandeng lengan Anggita keluar dari kamarnya, ia membawa menantunya itu ke dalam gudang dan berencana untuk mengurungnya kembali disana setelah menyiksanya terlebih dahulu tentunya.
Tangan Anggita diseret dengan kuat oleh Mama Siska hingga wanita itu tertatih-tatih mengejar ibu mertuanya. Anggita masih merasakan sakit pada punggungnya yang ia rasa bekas melepuh di punggungnya tersebut pasti mengelupas lagi karena rasa perihnya luar biasa.
Mama Siska kembali menghempaskan tangan Anggita saat mereka baru saja masuk kedalam gudang. Hingga Anggita jatuh terduduk dan meringis kesakitan.
"Ampun, Nyonya, " teriak Anggita disertai tangis yang pecah.
ibu mertuanya menjambak rambut Anggita yang dikuncir kuda, "kamu benar-benar sudah mulai berani sama saya ya.. ha? kamu sudah mau mati rupanya, "
Mama Siska membenturkan kepala Anggita ke tembok, Anggita menjerit kesakitan namun ibu mertuanya itu malah masih mengulangi nya beberapa kali.
"Aaakh.. Ampun, Nyonya.. hentikan!" teriak Anggita sekuat tenaga.
"Rasakan ini! " teriakan mama Siska disertai gerakan tangannya yang membenturkan kepala Anggita.
"Hentikan, Nyonya. Saya mohon.. " rintihan Anggita memegangi kepalanya yang terasa sangat skit dan pening kini.
"Kamu sudah mulai kurangajar, berani-beraninya kamu mau menukar obat itu. Kamu mau mengacaukan rencana saya, hah? " Siska melepaskan genggaman tangannya pada rambut Anggita. Dadanya naik turun akibat emosinya yang meluap.
"Hentikan, Ma! Dia bisa mati, dan Mama bisa saja masuk penjara atas tuduhan pembunuhan. Mama nggak mau itu terjadi 'kan? " Raka memeluk ibunya dari belakang, ia berusaha mengehentikan kemarahan ibu kandung yang semakin hari semakin keterlaluan itu.
Bekas setrika yang mama Siska tempelkan pada tubuh Anggita saja masih ada dan belum sembuh, kini sudah ditambah dengan benturan di kepala, lalu mau apalagi nanti.
Raka memang bukan orang baik, tetapi lelaki itu menyukai Anggita yang membuatnya merasa tak tega jika terus menerus melihat wanita itu disiksa sedemikian rupa oleh ibunya sendiri. Andai itu orang lain, mungkin Raka sudah akan menghajarnya untuk membela Anggita, tapi ia bisa apa jika orang itu adalah ibu kandungnya sendiri.
"Dia sudah mulai berani dengan Mama, Raka. Biarkan Mama menyiksanya sampai Mama puas," ucap Mama Siska mencoba melepaskan diri dari Raka.
"Raka nggak mau kalau Mama sampai masuk penjara. Akan sia-sia usaha kita selama ini jika kita tidak jadi berhasil, " perkataan Raka sedikit membuat wanita paruh baya itu terdiam dan berfikir.
"Benar juga yang kamu bilang, kita bisa kehilangan aset kebahagiaan kita kalau Mama dipenjara dan kamu tidak jadi pemimpin Harsono Grup, "
"Maka dari itu, Ma. Biarkan dia melakukan pekerjaan seperti biasanya saja sebagai hukumannya, atau Mama tambah kalau perlu, " Raka melirik Anggita yang meringkuk dilantai dengan masih memegangi kepalanya.
Tangisan Anggita yang menyayat hati membuat dirinya turut merasakan betapa sakitnya yang wanita itu rasakan saat ini.
"Mama benar-benar keterlaluan, kalau sampai Anggita udah nggak mulus lagi gimana dong? " obsesi Raka terhadap Anggita sudah sampai ke tahap yang overdosis. Dimana ia tidak mau ada cacat sedikitpun di tubuh wanita itu.
"Heh, udik. Lakukan pekerjaan kamu seperti biasanya. Dan sebagai tambahan hukuman kamu, bersihkan juga gudang ini sampai bersih dan rapi, hingga tidak ada lagi debu yang menempel di dalamnya, mengerti kamu? " sentak ibu mertua Anggita di telinga wanita itu.
Anggita mengangguk lemah dengan posisinya yang masih meringkuk di lantai.
"Awas kalau sampai tidak beres, dan malah kamu berani macam-macam lagi," ucap Siska menekan-nekan kepala Anggita dengan jari telunjuk nya.
Mama Siska mendekat dan berbisik di telinga Anggita, "saya akan mengatakan pada Rega kalau kamu sudah menukar obat ayahnya, dan membuat kondisi Refan memburuk,"
Anggita membuka matanya yang semula terkenal erat, pandai sekali ibu mertuanya itu akan Memutar balikkan fakta.
"Dengan begitu Rega akan semakin membencimu dan mengusirnya dari rumah ini, atau dia malah akan menjebloskan mu ke penjara, " ancam Mama Siska, menakut-nakuti Anggita dengan ancaman yang justru hal itu lebih pantas di tujukan padanya.
"Ayo, Raka. Kita pergi dari sini, biarkan si udik kampungan itu merenungi kesalahannya dan berbicara dengan teman-temannya. Yaitu tikus-tikus menjijikkan, " Mama Siska mengajak Raka keluar.
"Hiks.. hiks.. "
Raka menoleh pada Anggita dan menatap wanita malang yang masih terisak itu dengan tatapan yang sulit di artikan.
Anggita bertahan dengan rasa sakitnya. Ia mencoba mendudukkan diri walau kepalanya terasa sangat berat seperti ada tumpukan batu di atasnya.
Ia merintih, "hiks.. sa-kit.."
"Kenapa nyonya Siska sangat jahat padaku.. apa salahku padanya. Padahal aku sama sekali tidak merasa kenal dengannya seblum ini. Tapi kenapa perlakuannya seperti ia memiliki dendam kesumat denganku, " air mata Anggita yang luruh tak bisa terhitung lagi banyaknya.
Anggita hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang malang. Iamerasakan tubuhnya yang remuk. Punggungnya kembali terasa panas dan perih, kepalanya pun pusing dan pening.
Ia memegang kepalanya yang berdenyut, ia merasakan kepalanya basah, saat Anggita melihatnya ternyata bercak merah menempel di telapak tangannya.
Lagi dan lagi.. hal ini terjadi..
Penglihatannya mengabur dan berkunang-kunang. Ditambah dengan perutnya yang terasa semakin sakit juga.
"Bertahanlah, Sayang.. kamu tetap harus sehat dan kuat di dalam sana. Jangan kecewakan kakekmu yang begitu mengharapkan kehadiranmu, " gumamnya sembari mengelus perut.
Matanya terpejam erat seiring perutnya yang terasa seperti di remas-remas.
"Ssh.. bertahanlah Anggita.. bertahanlah.. "
•••
"Apa kamu sudah melakukan apa yang saya minta kemarin? "
"Sudah, Tuan, "
"Bagaimana menurutmu? "
"Menurut saya yang pertama, wanita itu seperti menyembunyikan sesuatu dari caranya menjawab yang gugup, "
"Lalu?"
"Yang kedua, sepertinya dia memang di fitnah oleh seseorang. Dan dia sangat takut jika Anda akan membencinya lebih dalam. Bahkan dia juga meminta saya untuk mengatakannya pada Anda,"
"Apa benar itu hanya fitnah? "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments