Aku membuka mata dan merasakan sedikit nyeri di kepalaku. Juga semua tubuhku yang semula terkena setrika panas karena siksaan ibu mertuaku terasa sangat perih. Aku melihat Rega terdiam memandangiku, entah apa yang difikirkan olehnya.
Mataku melirik kearah lain dan mendapati Mama Siska yang tengah duduk bersandar di sofa dengan Raka yang sibuk memainkan ponselnya.
"Papa Refan juga ada disini? Apa mungkin Papa Refan mencariku karena tak melihat kehadiranku di kamarnya pagi ini? " aku terkejut saat menoleh kearah kiri yang ternyata ada Papa Refan.
"Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Papa sangat khawatir, Rega bilang kalau kamu terkilir saat sedang membantu menyetrika pakaian, " ucap papa Refan dengan suara pelan.
"Terkilir? "
Aku memaksa tersenyum agar Papa Refan tidak terlalu khawatir dengan keadaanku yang sebenarnya merasa sangat kesakitan saat ini.
"Bukankah Papa sudah bilang, jangan melakukan pekerjaan berat, itu semua biar pembantu yang melakukannya. Kamu hanya perlu menjaga dirimu dan juga calon cucuku dengan baik, " Papa Refan mendadak bawel dan mengomeliku.
"Robin, berikan dia minum, sepertinya kerongkongan nya kering, " papa Refan memang sangat memahamiku.
Rega melirik sinis saat Robin membantuku minum dengan menggunakan sedotan. Leherku yang dipasangi penyangga membuatku semakin kesulitan bergerak, jadi wajar saja jika aku menerima bantuan dari Robin saat dirinya sendiri tidak sudi membantuku.
Lalu apakah aku bermimpi jika yang menolongku kemarin itu Rega? Jangan-jangan itu bukan Rega, melainkan hanya bayangannya saja.
"Terimakasih, " ucapku pelan.
Robin hanya mengangguk tanpa menjawab. pria itu seperti manusia tanpa ekspresi, selalu datar dan kaku. Berbeda dengan Rega yang ramah dan selalu tersenyum, tapi itu dulu, sebelum sebuah fitnah di berikan padaku dan membuatku mendapatkan cap sebagai istri tukang selingkuh.
Bukan.. mungkin lebih seperti sebagai wanita murahan. Itu yang kulihat dari tatapan Rega yang jijik bila melihatku.
"Maafkan Anggi, Pa. Anggi hanya mau membantu pekerjaan pembantu saja, " aku takut melihat mata ibu mertuaku yang sudah melotot kepadaku seolah-olah berkata, "awas saja kalau kau berani berbicara yang sesungguhnya, "
"Yasudah, semuanya juga sudah terlanjur terjadi, untuk kedepannya jangan pernah lakukan lagi ya. Perbanyaklah istirahat saja, " nasehat Papa.
"Baik, Pa. Meskipun aku akan mati kebosanan jika hanya harus istirahat saja terus menerus sepanjang hari dimasa kehamilan, " balasku pada Papa Refan.
Ia tertawa pelan, "kamu tidak akan kebosanan, Papa akan selalu menemani mu kalau Rega sedang bekerja. Atau, kamu juga bisa pergi berjalan-jalan dengan nya saat dia libur, "
Rega memebelalakkan matanya mendengar perkataan Papa Refan. Sepertinya ia tidak setuju dengan ide dari Papa mertuaku itu.
"Rega akhir-akhir ini sibuk banget, Pa. Pekerjaan Rega lagi nggak bisa ditunda. Tapi kalau Papa mau jalan-jalan sama dia boleh kok, asal tetap hatus ada yang bersama kalian, " tolak Rega secara halus pada ayahnya.
Dia sama sekali tak menyinggung soal aku akan protes atu tidak dan akan mengeluh atau tidak. Dia sama sekali tak peduli pada perasaanku lagi.
Aku tersenyum getir, akan sampai kapan keadaan kami terus menerus seperti ini?
Diabaikan dan diacuhkan oleh suamiku sendiri seperti orang asing.
Apalagi sekarang akan lebih sulit bagiku untuk mengumpulkan bukti-bukti jika semua foto yang Rega dapatkan itu hanyalah rekayasa. Aku bahkan hanya bisa berbaring sekarang. Sedangkan hatiku sudah merasa tak sanggup jika masih harus terus menerus di acuhkan oleh Rega.
Memang foto-foto itu asli adanya, tapi kejadiannya lah merupakan hasil dari rekayasa semata. Karena aku sama sekali tidak tau dan tidak merasa di perlakukan seperti yang ada dalam gambar itu oleh lelaki yang entah siapa itu aku tak tau.
"Baiklah kalau begitu, biar Papa yang jalan-jalan sama Anggita kalau dia sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit nanti, " jawab Papa Refan yang di angguki oleh Rega.
Satu minggu aku dirawat di rumah sakit, dengan hanya Ambar yang menunggui dan menemaniku. Dan sesekali Papa Refan datang menjenguk jika kondisi badannya sedang bagus. Sedangkan Rega dan ibu mertuaku entah kemana mereka.
Tapi aku bisa sedikit mengistirahatkan diri dari siksaan ibu mertuaku itu. Tapi rasa sakit akibat siksaannya yang terakhir saja masih membekas rasanya sampai saat ini.
Aku belum tau seperti apa bekas luka akibat setrika panas yang ibu mertuaku tempelkan pada tubuhku. Mungkin akan membekas dan sangat sulit untuk menghilangkannya.
"Bagaimana kamu Rega akan semakin membenciku nanti? " perasaanku yang sensitif membuatku selalu saja menangis hanya karena hal-hal yang kecil.
"Tuh 'kan udah nangis lagi.. baru aja ditinggal ke kamar mandi sebentar. Udah mewek lagi.. mewek lagi, " ucap Ambar yang memergoki aku sedang terisak.
Aku segera mengusap air mataku dan memaksakan senyum, meski Ambar pun tau jika senyumanku adalah sebuah senyum palsu.
"Ambar.. aku boleh minta tolong nggak sama kamu? " tanyaku pada Ambar, gadis itu sedang mengupas buah mangga untukku.
Ambar menoleh menatapku, "minta tolong apa? bilang aja. Kalau aku bisa, pasti aku bantu, "
Aku memberi kode padanya agar mendekat padaku, dan segera ku bisikkan kalimat yang ingin aku sampaikan padanya. Kuharap ia bisa dan bersedia menolongku. Sebab aku tak punya harapan lain lagi selain Ambar untuk saat ini.
"Semoga rencanaku akan berhasil, setidaknya aku berusaha dulu. Untuk hasilnya kita lihat saja nanti, "
Selama aku dirawat di rumah sakit, hanya ragaku saja yang beristirahat dan berbaring, tapi otakku selalu bekerja keras untuk mengumpulkan bukti-bukti jika aku hanyalah korban fitnah dari ibu mertuaku.
"Tapi bagaimana caranya aku meyakinkan Mas Rega? Sedangkan dia sangat menyayangi dan menghormati Mama Siska, ibu tirinya itu, "
Baru saja aku teringat bayangannya, kedua orang itu sudah muncul di hadapanku. Bonus Raka yang selalu mengekor di belakang ibu mertuaku seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya.
Laki-laki itu lah yang benalu, hobinya hanya menghambur-hamburkan uang untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Tapi Mama Siska selalu bisa menyembunyikan tabiat buruk anak kesayangannya itu.
"Selamat pagi, Sayang.. Bagaimana kabar kamu? sudah lebih baik kan?" Mama Siska yang baru saja masuk ke ruangan ku langsung memeluk dan menciumi ku.
"Baik, Ma," jawabku pelan.
Rega terlihat memperhatikan interaksi diantara kami.
"Syukurlah.. Mama sangat senang mendengar nya, " wanita itu duduk dan meletakkan sebuah kotak makan di ranjang tempatku berbaring.
"Apa itu? " batinku curiga.
"Mama bawain rujak buat kamu lho! Selama ngidam, kamu belum pernah makan rujak 'kan? " Mama Siska membuka kotak yang dibawanya, ternyata isinya memanglah rujak buah seperti apa yang di katakan nya.
Mendengar kata 'rujak' saja sudah berhasil membuat air liur ku berkumpul, apalagi setelah aku melihat dan mencium aroma buah-buahan asam yang rasanya segar, membuatku tak sabar ingin segera menyantapnya.
Dengan senang aku membuka mulutku saat ibu mertuaku bersandiwara menyuapi ku karena aku memang menginginkannya.
"Makanlah uang banyak, gadis udik yang bodoh! Dan kamu akan segera kehilangan janin mu, "
"Nanas? "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Nur Wana
crita TDK bermutu
2023-08-06
0