Raka menatap mataku intens. Wajahnya semakin mendekat hingga hanya tersisa beberapa centi saja. Aku menahan nafas karena tak kuat mencium aroma alkohol yang keluar dari mulutnya. Rupanya saat ini Raka sedang dibawah pengaruh minuman keras, lelaki itu mabuk, pantas saja tindakannya semakin nekat.
"Kamu jangan munafik, Anggita. Aku bahkan baru saja mendengarmu memanggil nama lelaki lain dalam tidurmu, siapa lelaki itu? apa dia selingkuhanmu?" ucap Raka yang mencengkeram kedua pipiku.
Aku terkejut, apa aku memanggil nama Mas Ridwan tadi, "nggak mungkin, jangan mengada-ada kamu, " sangkal ku menolehkan kepala meski leherku terasa sakit.
"Aku bahkan bisa menjadi selingkuhan mu dan bisa lebih memuaskanmu, Anggi, " Raka melepaskan cengkraman nya dan beralih membelai wajahku lembut.
"Jangan gila kamu, Raka! " teriakku padanya.
"Aku memang sangat tergila-gila padamu, Anggi, " ucapnya tepat di depan wajahku, hingga bau alkohol semakin menyeruak ke indera penciumanku.
"Kamu hanya terobsesi sementara saja, Raka. Aku mohon jangan lakukan hal ini padaku, " aku menangis dan memohon padanya kini.
"Anggita... " tangan Raka turun ke leherku yang masih kaku efek pukulan ibu mertuaku semalam.
"Raka... dimana kamu?" panggilan ibu mertuaku menghentikan aksinya.
Raka menggeram, "sial, gagal lagi, " aku mendengar gumaman nya seiring langkahnya berlalu.
Aku bernafas lega selepas kepergian Raka. Hari ini aku masih bisa lolos, entah sampai kapan lagi aku harus bertahan dari tindakan pelecehan Raka itu. Aku merasa jijik. Bukan karena Raka adalah lelaki jelek, tapi tatapannya yang begitu seperti singa kelaparan saat memandangku. Membuatku sangat ketakutan setiap waktu.
Entah jam berapa ini, aku tidak tau karena ruangan ini selalu gelap meski pada waktu siang hari. Hanya ada sedikit celah di dinding bagian atas sebagai ventilasi. Juga sebuah lampu kecil yang menerangi jika ada orang yang akan mauk untuk mengambil sesuatu yanga ada disini.
Aku kembali terlelap karena masih merasakan kantuk. Entahlah, aku jadi semakin mudah lelah dan mengantuk sekarang. Apa ini termasuk efek hormon ibu hamil?
Belum lagi rasa mual yang juga sering melanda disaat pagi hari. Atau pada saat aku mencium apapun bebauan yang menyengat, termasuk aroma parfum yang sering dipakai mama Siska. Lagipula aku juga tak tau harus melakukan apa di ruangan ini, membereskannya pun mungkin akan terasa percuma saja. Hanya akan menambah kelelahanku saja.
Byurr...
Aku gelagapan saat tiba-tiba mendapatkan guyuran air, rupanya ibu mertuaku sudah memulai kegiatan kesukaannya, yaitu menyiksaku.
"Hujan.. banjir.. " gumamku tak jelas.
"Bangun, pemalas! Mau sampai kapan kamu tidur terus? kamu fikir disini itu piknik? Atau kamu ingin tidur selamanya? " seru mama Siska. Ibu mertuaku membelai wajahku yang basah dengan kakinya yang bersandal.
"Mungkin itu lebih baik daripada harus Anda siksa setiap hari, Nyonya, " gumamku yang terkadang mendapatkan sedikit keberanian.
Ia menjambak rambutku hingga aku terbangun dari baringku, "kamu udah berani nantangin saya ya.. "
"Ampun, Nyonya.. " aku memegangi tangannya yang kembali menjambak rambutku lebih hingga tubuhku ikut terseret.
Aku memegangi tangannya tak kalah kuat agar kulit kepalaku tidak ikut tercabut bersama rambutku yang di genggamnya. Tapi seakan kekuatannya seperti mempunyai baterai baru, ia dengan entengnya menarikku dengan sebelah tangan saja.
Dia membawaku ke ruangan loundry, "mau apa dia? " batinku bertanya-tanya.
Sungguh akau ingin melawannya, tapi tenagaku selalu kalah kuat dibanding tenaganya. Ibu mertuaku memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, meski tidak tergolong gemuk. Sedangkan aku hanyalah seorang wanita yang kurus dan jauh lebih pendek darinya. Jelas saja aku kalah tenaga.
Apalagi ditambah dengan kondisi ku yang sedang hamil saat ini, sangat tidak mungkin bagiku akan bisa mengalahkannya.
Lagi dan lagi kepalaku dihempaskan nya, sampai leherku yang masih terasa sakit kini berbunyi.
Krek
Apa leherku patah?
"Aaakh... " aku memekik memegangi leherku dengan kedua tangan.
Kini kepalaku benar-benar tidak bisa aku gerakkan lagi. Aku berharap jika leherku sekalian patah saja agar aku bisa mati dan tidak akan merasakan sakit lagi.
Belum usai rasa sakit di leherku, aku kembali terpekik kencang karena merasakan punggungku terbakar. Bukan, ini bukan panas api, melainkan panasnya setrika yang ibu mertuaku tempelkan di punggungku.
"Aaaakh.. Ampun, Nyonya. Jangaan..! " teriakku dengan sisa kekuatan yang ada.
Leherku tak bisa kugunakan untuk menoleh, jadi aku mencoba meraih tangannya degan memutar tanganku kebelakang. Ia malah kembali menempelkan setrika panas itu ke tanganku yang membuatku semakin memekik lagi.
"Aaaakh... sakiit, " rintihan bercampur dengan deraian air mata.
Rasa panas, sakit, perih sudah tidak bisa ku gambarkan lagi bagaimna rasanya. Mungkin memang kematianlah yang lebih baik menurutku saat ini.
"Mau kemana kamu, udik? kamu bilang kau akan melawan ku, buktikan! ayo lawan aku. " tantang Mama Siska dengan tangan yang terus menempelkan setrika ke tubuhku.
Hanya area wajah dan leher saja yang ia hindari, karena hal itu akan memicu kecurigaan Rega.
Aku merangkak, mencoba menjauh dari ibu mertuaku. Tapi ia menarik kakiku dan menempelkan kembali setrika disana.
"Aaaakh, " pekikku yang kini tertahan karena merasakan sakit di sekujur tubuhku, apalagi leherku yang rasanya seperti benar-benar akan patah.
"Rasakan ini!" serunya dengan menekan semakin kuat setrika yang di pegangnya.
"Biar kamu sadar, siapa yang berkuasa disini, " ucap ibu mertuaku.
"Aaakh.. " teriakan kesakitanku seolah-olah adalah musik yang merdu di telinganya, ia tertawa terbahak melihatku kesakitan.
"Hahahaha... hanya aku yang berkuasa disini, bukan kamu atau siapapun itu, " tawanya seperti suara malaikat maut ditelingaku.
Aku terus berusaha menjauh dari ibu mertuaku, aku mengesot dan meraba meja loundry, dimana disana ada satu botol detergen cair. Rasa sakit yang kurasakan membuat otakkku seakan tak bisa lagi berfikir jernih. Hanya mengakhiri hidupku lah jalan satu-satunya bagiku agar bisa terlepas dari kekejaman ibu mertuaku.
Aku berhasil meraih botol itu, dengan cepat kubuka tutupnya dan segera ku tenggak cairan yang ada di dalamnya.
"Anggita, hentikan! " aku mendengar teriakan panik seorang laki-laki disertai langkah kaki yang berlari.
Lelaki itu mendekat dan merebut botol deterjen yang ada di tanganku lalu melemparkan nya sembarangan.
"Mas Rega? " gumamku.
Apa dia melihat semuanya?
Apa dia melihat perbuatan ibu tirinya kepadaku?
"Re-Rega? " aku sempat melihat ibu mertuaku ketakutan sebelum kesadaranku menghilang.
Ibu mertua ikut berlari mendekat kearahku dan kembali menjalankan aktingnya.
"Anggita.. kamu kenapa, Nak? " tanyanya berpura-pura panik.
"Kenapa kamu melakukan hal itu, Nak? itu bisa membahayakan dirimu dan calon cucu Mama, " aku rasanya benar-benar muak mendengar perkataan sandiwaranya.
"Ayo, Rega. Cepat bawa Anggita ke rumah sakit, " Samar-samar aku masih bisa mendengar ucapan ibu mertuaku sebelum kesadaranku benar-benar menghilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Risky Titi sarlinda
semoga sampai akhir Raka tidak bisa meleceh kan mu ya Anggita harapan ku si dan kamu rega CEO bodoh kemana akal mu kemana kekayaan mu kenapa gak ada cctv yah yah nama juga cerita aku aja yang bodoh ya kalau gak gini kan cerita cepat tamad nya
2023-06-04
0