Ibu mertuaku kembali mengurungku di dalam gudang yang gelap dan panas ini, tak ada AC atau apapun sebagai penyejuk di dalamnya. Udaranya sangat pengap karena banyaknya debu, membuat dadaku terasa sesak. Aku juga takut akan hewan-hewan kecil yang bersarang di dalamnya.
Hingga malam menjelang belum ada tanda-tanda aku akan dikeluarkan dari ruangan yang sempit dan pengap ini.
"Apa Mas Rega tidak pulang?" Aku masih berharap Rega pulang, meskipun ia mengabaikan keberadaanku, tapi itu masih lebih baik daripada aku harus mendekam di gudang ini.
Karena dengan adanya suamiku itu di rumah, Mama Siska akan membebaskanku dan aku bisa tidur di kamar Rega lagi, bukannya di gudang seperti saat ini.
Aku kesakitan, aku kelaparan, aku kesepian, dan aku tersiksa.
"Tuhan..."
"Apa dosaku dimasa lalu, hingga Engkau mengujiku seberat ini?" gumamku dalam hati.
Aku kira siksaan dari ayah tiriku dulu adalah suatu siksaan yang paling menyakitkan, ternyata aku salah. Kini aku malah merasakan yang berkali lipat lebih sakit dan lebih kejam dari ibu mertuaku.
Sebenarnya apa salahku padanya, sampai ia memperlakukanku seakan memiliki suatu dendam padaku. Atau memang hanya karena sebuah rasa benci saja. tapi kenapa, kenapa ia membenciku sebesar ini?
Setiap kali aku terkurung aku hanya bisa meratapi nasib dan berpasrah diri.
Aku bersandar pada dinding dan duduk beralaskan kardus, untung saja masih ada kardus bekas, jika tidak mungkin tubuhku yang rasanya sudah tak karuan akan bertambah dengan gatal-gatal.
Aku mencoba menggerakkan leherku yang masih terasa sangat sakit dan kaku. Kucoba memijatnya perlahan berharap agar rasa sakitnya bisa sedikit mendingan. tapi percuma saja, baru saja aku menyentuhnya rasanya sudah nyeri.
Deritan suara pintu gudang yang terbuka membuatku kembali waspada, aku meringkuk dengan melindungi kepalaku. takut akan kembali di pukul oleh ibu mertuaku.
"Ampun, Nyonya.. ampun, saya tidak mengatakan apapun pada Tuan besar. ampun nyonya.. " aku menggumam, tanganku terkatup di atas kepalaku, memohon ampun pada Mama Siska.
"Sst.. hei, Anggi. Ini aku, Ambar.." suara seorang wanita berbisik setelah pintu kembali tertutup.
"Ambar? " tanyaku, ku turunkan tangan dan mendongak berusaha melihatnya dalam keremangan pendar lampu.
"Iya, aku bawakan makanan buat kamu. Kamu makan dulu, kasian anak kamu kalau sampai kamu kelaparan, " memang Ambar terkadang datang secara diam-diam, dan memberikan makanan ala kadarnya untukku saat ia merasa situasinya aman. Itu berarti ibu mertuaku sedang tidak ada di rumah.
Aku sangat bersyukur akan hal itu, setidaknya anakku akan mendapatkan sedikit asupan malam ini.
Mama Siska memang sering pergi keluar di malam hari dengan teman-teman sosialita nya saat Rega sedang ada pekerjaan di luar kota atau malah luar negri. Entah apa yang ia lakukan diluar sana, yang jelas ia akan pulang pada waktu fajar dengan keadaan mabuk parah.
Mungkin Papa Refan juga tidak tau akan hal tersebut. Karena Mama Siska pasti sudah memastikan jika Papa Refan sudah tertidur, kalau saja ketauan olehnya jika papa mertuaku itu belum tertidur. Maka mama Siska pasti akan memberikannya obat tidur.
"Makasih ya, Ambar, " aku segera mengambil sepotong roti yang dibawanya. Memang Ambar sangat tau kalau aku sedang tak bisa memakan nasi saat ini.
"Sama-sama, kamu habiskan ya. Jangan lupa minum susunya. Ini susu ibu hamil, tentu saja baik untuk anak dalam kandunganmu, " Ambar menunjuk satu botol berukuran sedang yang berisi cairan putih, yang ternyata adalah susu ibu hamil.
Keningku berkerut, "susu ibu hamil? " Ambar mengangguk.
"Kamu dapat darimana? " aku bertanya karena tidak mungkin mama Siska sudi membelikan susu ibu hamil untukku.
"Dari tuan Robin, dia disuruh sama tuan besar katanya, " jawab Ambar yang masih selalu berbisik.
"Oh, Papa.. " gumamku.
"Yasudah, aku balik ke kamarku dulu ya, kamu hati-hati di sini. Semoga tetap baik-baik aja sampai besok soalnya kalau aku keluarin kamu sekarang, kamu tau sendiri kan konsekuensi nya?" ucap Ambar dengan ekspresi takut.
Dulu pernah saat pertama kalinya mama Siska mengurungku di gudang ini. Ambar mengendap-endap dan berusaha mengeluarkan aku, tapi perbuatannya itu diketahui oleh ibu mertuaku. Sehingga akibatnya Ambar ikut terkena siksaan dari mama Siska. Malah dia juga ikut diancam akan dipecat oleh ibu mertuaku, tentu saja ancaman mama Siska itu bukanlah main-main.
Ibu mertuaku itu bisa saja menciptakan drama fitnahan ini dan itu agar bisa memecat Ambar, seperti ia memecat para pembantu lainnya dulu. Agar bisa melimpahkan banyak pekerjaan padaku.
"Itung-itung biaya kamu tinggal disini, biar nggak jadi benalu aja, " ucapnya padaku setiap waktu.
"Iya, Ambar. Aku tau kok. Aku malah makasih banget sama kamu, kamu udah selalu bantuin aku, ngasih makanan kamu sama aku. Aku nggak akan pernah lupa kebaikanmu ini, Ambar, " aku memeluk Ambar penuh rasa syukur.
Ambar keluar dan kembali ke kamarnya. Sedangkan aku dengan cepat menghabiskan makanan dan juga susu yang diberikan Ambar.
"Kenyang.. "
"Kamu senang kan, Sayang.. kita bisa makan sampai kenyang malam ini. Kamu sehat-sehat ya di dalam sana. Ibu akan selalu menjaga kamu semampu Ibu, " gumamku pada janin di perutku.
"Aku akan terus berusaha mencari bukti bahwa semua foto-foto itu hanyalah rekayasa semata. Ya, bagaimanapun caranya aku harus bisa, " Tekadku bulat.
Karena merasa kenyang juga lelah usai bekerja seharian tadi, akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku akau bermimpi melihat Mas Ridwan yang tengah menangis tersedu-sedu.
"Maafkan Mas Ridwan, Gita. Mas Ridwan harus meninggalkan kamu dan membuat nasibmu menjadi seperti saat ini, " ucap Mas Ridwan disela tangisnya.
"Tapi kamu jangan menyerah, kamu pasti akan menemukan kebahagiaan suatu saat nanti. Pasti,"
"Jangan tinggalin aku lagi, Mas.. aku mau ikut aja sama kamu, aku nggak sanggup lagi tinggal di neraka ini, " ucapku berusaha menggapainya.
"Tidak, Gita. Jalanmu masih panjang, " ia tersenyum lembut.
"Tapi aku udah nggak kuat lagi kalau harus terus menahan siksaan dari ibu mertuaku, Mas, " aku terus merengek meminta untuk ikut dengannya.
"Kamu sudah mempuyai malaikat pelindungmu yang selanjutnya, Gita. Kamu hanya perlu sedikit lagi usaha dan kesabaran untuk membuka mata hatinya, maka kalian akan berbahagia selamanya kelak, " Mas Ridwan menjauh, ia melambaikan tangannya padaku.
Aku terus berteriak memanggil-manggil namanya, "jangan tinggalin aku, Mas Ridwan.. aku mau ikut sama kamu.. "
Mataku terbuka degan nafas yang gersengal, disaat yang bersamaan aku melihat Raka sudah berada di hadapanku, ia memandangiku dengan tatapan penuh nafsu.
"Ngapain kamu disini? " tanyaku. Jujur aku sangat takut padanya.
"Aku mau kamu, Anggita.. " Raka berusaha lebih mendekat padaku.
"Enggak.. pergi kamu, Raka! pergi! " teriakku mencoba mendorong dadanya.
"Kamu sangat munafik, Anggita! " seru Raka mencengkeram pipiku seperti yang dilakukan oleh ibu mertuaku malam kemarin.
"Apa maksudmu? "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments