Anggita Bab 7
Ibu mertuaku selalu memberiku daster kedodoran setiap harinya, hingga aku lebih mirip pembantu daripada seorang istri dari Rega.
Jika Rega sedang di rumah, ia menyuruhku memakai gamis panjang hingga seluruh tubuhku tertutup, itulah usahanya agar tak dicurigai oleh Rega dan papa Refan.
Rega yang baru saja masuk ke dalam rumah, menatapku dengan tatapan yang aneh, apa karena aku memakai pakaian kedodoran?
Mungkin pagi ini ibu mertuaku tidak tau kalau Rega akan pulang dari kerjanya di luar kota. Jadi ia tak menyuruhku segera berganti pakaian.
"Anggita kan sedang hamil, Ga. Jadi Mama kasih dia pakaian yang longgar kayak gini biar dia nyaman, " ucap Mama Sinta yang menyadari pandangan aneh Rega padaku.
Pandai sekali ia merangkai kata..
"Iya kan, Sayang? Kamu nyaman 'kan dengan pakaian kayak gini? " Mama Siska mengedipkan mata, memberi kode padaku agar mengiyakannya.
Aku menunduk, meringis merasakan remasan tangannya di punggungku dan terpaksa aku mengangguk.
"Terserah, aku juga nggak peduli, " gumam Rega yang masih tertangkap oleh indera pendengaranku.
Mama Siska memiringkan kepala, senyum sinis nya kembali ia perlihatkan setelah Rega berlalu dari hadapan kami.
"Kamu dengar Rega ngomong apa tadi? Dia udah nggak peduli lagi sama kamu. Selamat ya, " bisik mama Siska. Ia tidak bisa berbuat kasar ataupun berkata keras padaku saat Rega berada di rumah.
Meskipun saat ini Rega tengah mengacuhkanku, tapi ibu mertuaku itu tetap terus berpura-pura menjadi mertua yang baik hati di hadapan anak tirinya.
Sedangkan Rega, ia acuh dan seakan tak perduli lagi padaku. Ia tak memintaku pergi dari kamarnya atau memutuskan untuk tidur terpisah, tapi ia selalu memunggungiku dan tak pernah menyentuhku.
"Mas Rega.. Tatap aku, sapa aku seperti dulu, " batinku yang mendamba perhatiannya lagi.
"Jangan bersikap kayak gini, Mas. Aku sedih, aku hancur kalau kamu nggak perduli lagi sama aku, " air mataku sudah kembali luruh.
Setiap hari, setiap saat dan setiap waktu, seperti tidak akan ada kehidupan jika aku tak meneteskan air mata lagi.
Peduli padaku saja tidak, apalagi menyapa buah hatinya yang masih dalam kandunganku, yang ia percaya adalah anak dari lelaki lain.
Pagi ini, Papa Refan memanggilku ke halaman belakang. Beliau tersenyum melihatku. Aku pun harus terpaksa pura-pura tersenyum disela lara hatiku.
"Papa dengar, kamu sedang hamil, Nak. Selamat ya.. Papa ada hadiah untukmu, " Papa Refan menyodorkan sebuah kotak di hadapanku.
"Terimakasih, Pa. Tapi Papa nggak perlu repot-repot seharusnya, " balas ku, setidaknya masih ada satu orang yang peduli padaku di rumah ini. Yaitu Papa Refan, papa mertuaku.
"Apa semuanya sudah siap, Robin? " tanya Papa Refan pada Robin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.
"Sejak kapan dia berdiri disana, " batinku.
"Sudah, Tuan, " jawab Robin seperti biasa, singkat, padat dan jelas.
"Ayo, Nak, " Papa Refan mengajakku pergi yang entah kemana.
Beliau bilang, tadi sudah meminta izin pada Rega, dan Rega mengizinkannya, dengan syarat harus ada Robin dan satu pembantu yang menemani kami.
Mungkin Rega tak mengatakan apapun pada Papa Refan, dan itu membuatku lega. Karena walau sebenci apapun dia padaku, ternyata ia masih menjaga perasaan papanya juga.
Ia tak ingin membebani Papa Refan yang sudah sakit, hal itu juga sepemikiran denganku. Jangan sampai masalah rumah tangga kita sampai terdengar di telinga orang lain, apalagi Papa Refan yang sudah sakit-sakitan.
"Kita mau kemana, Pa? " tanyaku yang merasa senang karena bisa sebentar saja terlepas dari belenggu jahanam Mama Siska.
"Nanti kamu akan tau, Nak, " senyum teduh Papa Refan menular padaku.
Sepanjang perjalanan kami membicarakan ini dan itu, hal yang juga membuatku bahagia melihat Papa Refan yang bisa tersenyum bahagia walau harus selalu duduk di atas kursi roda.
"Papa berharap, Papa masih bisa sembuh. Agar Papa bisa menggendong cucu Papa nanti, dan bermain dengannya, " binar mata Papa Refan memancarkan harapan yang besar.
Apa kau juga harus memiliki harapan yang besar seperti Papa mertuaku? Untuk terus semangat menjalani hidup walau penuh dengan siksaan.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Papa Refan jika tau aku sempat berniat mengakhiri hidupku dan calon cucunya yang masih dalam kandunganku.
"Papa pasti akan cepat sembuh, " ucapku memberikan semangat padanya.
Mobil yang dikendarai Robin berhenti di depan sebuah rumah sakit yang cukup besar dan ternama.
"Untuk apa kita ke rumah sakit, Pa? Papa sakit? " aku mendadak khawatir pada Papa Refan.
"Tidak, Nak, "
"Lalu kenapa kita ke rumah sakit? "
"Ayo turun, " ajaknya tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku menurut, tanpa bertanya lagi.
Ku dorong kursi roda Papa Refan setelah Robin membantu ayah mertuaku itu duduk di atasnya. Robin berjalan di depan, sedangkan di belakangku ada seorang pembantu yang mengikuti kami dengan membawa barang bawaan kami.
Aku mengerutkan kening melihat Robin memasuki ruangan dokter kandungan tanpa mengantri.
"Selamat siang, dengan Tuan Rega? " sapa seorang dokter muda yang menyalami Robin.
"Bukan, saya Robin asisten tuan Rega yang membuat janji dengan dokter kandungan disini, "
Deg
"Rega membuatkan janji untuk bertemu dengan dokter kandungan? Apa itu benar? " batinku bertanya-tanya tak percaya.
"Oh, baiklah Tuan Robin. Silahkan duduk, Tuan, "
"Nyonya, silahkan Anda ikut saya, " dokter itu mengajakku ke arah brangkar yang biasa digunakan untuk memeriksa pasiennya.
"Saya boleh ikut melihat cucu saya, Dokter? "
Dokter itu menoleh ke arahku, dan memberi kode seakan bertanya aku mengizinkannya atau tidak.
Aku tersenyumm dan meng-iyakan nya. Walau Rega sebagai ayahnya tak peduli, tapi masih ada Papa Refan sebagai kakek lnya yang menyayanginya. Hatiku jadi menghangat dibuatnya.
Kulihat mata papa mertuaku itu mberkaca-kaca menatap layar monitor yang meme perlihatkan sebuah butiran yang dokter katakan jika itu adalah calon bayiku.
"Sangat kecil, " gumamku.
"Ya, karena memang masih kecil. Ukurannya akan membesar sesuai dengan usia kandungan Anda, Nyonya, " Aku mengangguk mengerti.
Sepulangnya dari pemeriksaan kandungan, Papa Refan terus memandangi foto USG yang menurutku tidak jelas gambar apa itu. Tapi papa mertuaku itu seolah tak bosan untuk terus melihatnya.
"Aku harus sembuh, aku harus sehat. Aku harus bisa bermain dengan cucuku." gumam Papa Refan yang terlihat sangat bersemangat.
Aku jadi merasa bersalah padanya, karena mengetahui penyebab kelumpuhan nya namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan aku juga belum bisa melepaskannya dari obat pelumpuh syaraf yang selalu di berikan oleh Mama Siska setiap waktu.
Rasanya aku sangat ingin mengungkapkan padanya, jika Mama Siska lah penyebab dirinya menjadi seperti sekarang ini, tapi aku tak memiliki bukti apapun. Sehingga bisa saja aku dituduh memfitnah ibu mertuaku saja. Apalagi jika mengingat betapa sayangnya Rega pada Mama tirinya itu, bisa-bisa malah aku yang balik dituduh mencemarkan nama baik ibu mertuaku.
Baru saja aku keluar dari kamar Papa Refan, tangan kananku sudah ditarik oleh Mama Siska. Aku dibawa ke gudang dan hempaskan dinding dengan keras.
"Sakit, Nyonya.. " aku memegangi kepala belakangku yang baru saja terbentur tembok.
Dia tak peduli dengan ringisanku, kedua pipiku malah di cengkeramnya kuat-kuat.
"Ngadu apa kamu sama Refan? Ha? Pasti kamu ngomong macem-macem kan sama si tua bangka itu? "
"Enggak, Nyonya. Saya nggak ngomong apa-apa sama Papa Refan, " jawabku kesulitan karena rahangku di tekannya dengan kuat.
"Hallah! Sok nggak mau ngaku kamu. Awas aja kalau sampai rahasiaku kamu bongkar sama Refan, apalagi kalau Robin dan Rega sampai tau, aku tidak akan segan-segan menyiksamu lebih kejam daripada ini. Mengerti! "
Bentaknya dengan menghempaskan wajahku kasar hingga tertoleh, dan seperti nya leherku terkilir karena rasanya sangat sakit.
"Leherku sakit, " gumamku yang merasakan leherku tak bisa ku gerakkan.
"Sukurin! Biar patah sekalian, " ucapnya sambil berlalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments