Ternyata yang Rega katakan memang benar adanya, jika aku saat ini tengah hamil. Tubuhku sangat lemah karena aku baru mengandung semester awal, aku mengetahuinya karena merasakan mual dan pusing yang berkepanjangan dan aku juga tak memiliki nafsu makan sama sekali.
Yang menjadi keherananku, dari mana ibu mertuaku tau kalau aku sedang hamil, sedangkan aku sendiri saja tak menyadarinya.
Apa dia hanya sekedar menerka, atau sebenarnya itu hanya usahanya untuk memfitnah ku di hadapan Rega? Yang ternyata hal itu benar, dan semakin menyempurnakan rekayasa fitnahannya terhadapku.
Pagi ini suasana di ruang makan seperti hari biasanya. Meskipun keadaannya menjadi sangat hening dan canggung karena wajah Rega yang sangat dingin. Hanya suara dentingan sendok sesekali yang terdengar di telinga.
Suamiku itu hanya fokus pada makanan di piringnya yang tak seberapa, dan segera menyudahinya dengan cepat. Bahkan aku saja belum sempat menyentuh makananku sama sekali karena merasa mual sejak tadi.
Aku memang tidak nafsu makan karena morning sickness yang kualamai sejak kehamilan ini. Tapi aku tetap butuh asupan 'kan untuk mengisi energiku, juga untuk janin yang kini ada di dalam rahimku.
"Aku berangkat dulu, Ma. Kalau ada apa-apa sama papa, tolong kabari aku secepatnya, " Rega berucap kepada Mama Siska usai meneguk minumannya dan mengusap bibirnya dengan tisu.
"Tentu saja, Sayang.. Kamu hati-hati ya di jalan. Yang semangat kerjanya, " ucap Ibu mertuaku dengan senyum palsu dan sandiwaranya seperti biasa.
Mama Siska memang sangat hebat dalam bersandiwara, bahkan setelah berpuluh tahun pun Rega tetap belum menyadarinya.
"Nanti biar Raka nyusul ke perusahaan buat bantu-bangu kamu disana. Ya 'kan, Raka? " Mama Siska menepuk lengan Raka yang duduk di sampingnya.
Raka yang sedang asyik menikmati makanannya pun mendongak menatap Mama Siska dan Rega secara bergantian, lalu mengangguk mengiyakan tanpa bersuara.
"Iya, Ma. Silahkan saja kalau mau datang ke kantor, " Rega lalu berdiri tanpa mengatakan sepatah katapun padaku.
Tanganku yang sudah memegang tas kerjanya, ia tepis dengan kasar. Aku bermaksud ingin mengantarkan Rega sampai depan pun tak dihiraukan, ia sudah lebih dulu mengambil tas tersebut dan berjalan begitu saja tanpa menoleh kearahku.
"Dia benar-benar mengabaikanku, bahkan ia juga mulai ikut kasar padaku, " batinku menangis pilu.
Hatiku terasa sangat sakit, lebih sakit daripada saat aku menerima perlakuan buruk dari ibu mertuaku. Kini hal sekecil apapun selalu berhasil membuat air mataku menetes dengan sendiri nya tanpa aku minta.
Aku merasa menjadi lebih sensitif tapi tidak ada yang peduli, bahkan semuanya malah dengan senang menyakiti perasaanku, juga fisik ku.
Mama mertua mengantarkan Rega keluar, dan aku tetap mengikuti mereka dari belakang meski tak ada yang menganggap aku ada.
"Loh, Rega.. kamu nggak pamit sama istrimu? " mama Siska berpura-pura bertanya meskipun ia sudah tau masalah apa yang menimpa kami. Bahkan dirinyalah sumber dari masalah itu.
Rega hanya mendengus, tanpa menggubris ucapan Mama Siska, ia langsung masuk ke dalam mobil yang sudah siap dengan supir di dalamnya.
Sepeninggal mobil Rega, Mama Sinta berbalik dan melirik sinis padaku.
"Kau lihat? Sekarang tidak ada lagi yang perduli padamu, bahkan Rega saja sudah membuangmu," Mama Siska berjalan dan menabrak sebelah bahuku dengan sengaja.
Aku mengelus bahuku yang terasa kembali nyeri karena memang sebelumnya sudah sakit. Bahuku yang kemarin ditarik dan dihempaskan oleh ibu mertuaku ke dinding kamar mandi sebelum ia mengguyuriku air dengan membabi buta sampai aku pingsan karena kedinginan.
Ku langkahkan kakiku yang terasa lemas karena sejak semalam aku hanya bisa menangis merasakan sesak di abaikan oleh Rega. Belum ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam perutku sejak kemarin.
Aku bermaksud kembali ke ruang makan dan mencari makananku tadi, tapi saat aku sampai di meja makan disana sudah tak ada apapun lagi. Semuanya sudah bersih di rapikan oleh para pembantu.
Kembali ku seret langkahku ke dapur, membuka lemari makanan, tak ada apapun kecuali tepung terigu, minyak goreng, gula dan teman-temannya yang lain.
"Kemana perginya semua makanan itu? Tadi masih ada banyak makanan, bahkan yang ada di piring ku juga belum aku makan sama sekali, " aku mengelus perutku yang terasa melilit dan mual menjadi satu.
Kulirik kulkas berpintu empat yang menyatu dengan dinding. "Apa disana? " fikirku.
Baru saja tanganku menyentuh gagang kulkas, tapi sudah ada suara yang menggema memenuhi ruangan dapur, suara yang sudah sangat tak asing lagi masuk ke dalam pendengaranku.
"Mau ngapain kamu, udik? Jangan berani-beraninya kamu menyentuh kulkas saya! Bisa berpindah semua nanti bakterinya dari kamu ke kulkas dan semua yang ada di dalemnya, " seru ibu mertuaku dengan keras di belakang telingaku.
Telingaku terasa sakit dan berdengung setiap kali ia bersuara keras tepat di samping telingaku, hingga aku merasa akan menjadi tuli dengan cepat jika terus menerus begini.
Kembali ia sentakkan tanganku yang menggantung di udara hingga terhempas ke belakang. Aku yang sudah sangat lemah pun jadi ikut terjatuh.
"Dasar wanita lemah! Di sentuh dikit jatuh, kesenggol dikit terjengkang, di dorong dikit nyungsep. Dasar nggak berguna! " toyoran di kepala kembali kudapatkan untuk kesekian kalinya.
Meski masih merasakan sakit pada pantatku yang baru saja kembali mencium lantai, tapi aku memberanikan diri untuk berbicara pada ibu mertuaku.
"S-saya sangat lapar, Nyonya. Tong beri saya sedikit saja makanan untuk mengisi perut saya, " ucapku dengan suara lemah.
"Apa? Kamu lapar? Sudah kerja apa kamu, udah minta-minta makan aja. Kerja dulu sana! " teriak Mama Siska.
"T-tapi saya belum makan dari kemarin, Nyonya. Anak saya juga butuh asupan makanan, " aku mengiba, berharap ibu mertuaku sedikit berbelas kasih padaku.
Mama Siska berkacak pinggang, "siapa yang peduli sama anak kamu, hah? Satu orang aja udah jadi beban, malah mau nambah orang lagi, "
"Setelah makan saya akan langsung bekerja lagi, Nyonya. "
"Nggak ada! Kerja dulu baru kamu dapat makanan! "
Tubuhku yang sudah sangat lemah dan lemas, wajahku pun sudah memucat, tapi hal itu tak membuat sedikitpun ibu mertuaku merasa iba. Ia tetap memberiku pekerjaan berat di setiap harinya.
Bahkan ia tak segan-segan menyiksaku jika aku ketahuan sedang beristirahat karena merasa sangat lemah.
"Dasar pemalas! Saya suruh kamu kerja, bukan cuma senderan aja, udik! " dijambaknya rambutku yang terkuncir asal hingga semua terurai berantakan.
Sakit, kepala sangat pening sekarang. Aku tak sanggup lagi menopang tubuhku, aku ambruk begitu saja. Sedangkan ibu mertuaku malah tertawa bahagia.
Bahkan ia hanya memberiku makan saat Rega dirumah saja, itupun ia akan segera mengambil dan membuangnya meski aku belum selesai makan, jika Rega sudah keburu pergi bekerja seperti tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments