Bab 2

Di meja, mereka bertiga terlibat obrolan seru yang diiringi dengan gurauan. Tak ada rasa canggung pada Clarissa, karna pembawaannya yang supel, ia mudah bergaul dengan siapa saja yang baru di kenalnya.

“O ya, Clarissa kerja di mana?,” Tanya Agus saat ada kesempatan untuk bertanya.

“Aku kerja di hotel Pangrango, Pak Agus. Di bagian Room Service,” jawab Clarissa.

“Jangan panggil saya, Pak!. Panggil saja saya, Mas. Seperti kamu panggil Roni, Mas. Kalau panggil Pak, kesannya kaya umur saya sudah tua sekali. Lagi pula kamu bukan bawahan saya kan ?,” seloroh Agus pada Clarissa.

Mendengar perkataan Agus, Clarissa terkekeh, “ Kalau begitu Mas Agus juga cukup panggil saya, Ica. Sama seperti Mas Roni panggil saya, Ica,” ujar Ica pada Agus.

“Oke Deal” sahut Agus sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ica.

“Sudah berapa lama kamu bekerja di sana? Kamu tinggal dengan orang tua?,” tanya Agus kembali pada Ica.

“Saya sudah bekerja selama 3 tahun di sana dan saya hidup sebatang kara. Kedua orang tua saya sudah lama tiada,” jawab Ica dengan raut muka berubah sedih karna teringat dengan kedua orang tuanya.

“Oh maaf. Sekali lagi maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kedua orang tuamu sudah tiada. Dan saya turut berdukacita. Kalau begitu nasib kita sama, kedua orang tua saya juga telah lama tiada karna kecelakaan pesawat terbang dan saya hanya anak tunggal,” sahut Agus dengan raut wajah merasa bersalah karna telah membuat Ica sedih.

“Tidak apa-apa Mas Agus, tidak perlu minta maaf. Hanya memang kalau saya di tanya soal orang tua pasti akan teringat dengan mereka. Dan saya juga turut berdukacita atas kepergian kedua orang tua Mas Agus yang tragis.”

“Ya sudah, kalau begitu kita ganti topik pembicaraan supaya kita sama-sama tidak bersedih,” ujar Agus sambil tersenyum.

“O ya Ron, kamu dan Ica sudah berapa lama bersahabat?,” tanya Agus pada Roni, karyawannya.

“Kami sudah bersahabat selama 3 tahun, Pak. Kebetulan dulu rumah orang tua saya dekat dengan rumah orang tua Ica, hanya beda beberapa rumah saja. Karna kedua orang tua kami dekat, akhirnya kami bersahabat sampai sekarang. Walaupun kedua orang tua saya sudah pindah, tidak tinggal di situ lagi,” jelas Roni pada Agus, atasannya.

“Oh begitu ceritanya. Makanya saya heran, kamu kerja di perusahaan saya sedangkan Ica kerja di hotel dan yang pasti usia kalian juga tidak sepantaran seperti teman satu sekolah. Ternyata kalian tetanggaan toh,” ujar Agus sambil memanggutkan kepalanya tanda mengerti.

Ica dan Roni pun tertawa melihat ekspresi Agus saat mendengar penjelasan Roni asal mula persahabatan mereka berdua.

“Kalau begitu kami pamit dulu Pak,” pamit Roni.

“Oh ok. Biar Bil nanti saya yang bayar. Ica pulang naik apa?,” sahut Agus.

“Eh Ngga usah Pak, biar saya yang bayar saja. Ica, saya antar pulang Pak,” jawab Roni.

“Kamu sekarang antar Ica saja biar tidak kemalaman. Urusan Bil saya yang bayar. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih saya karna sudah di temani mengobrol di Cafe.”

“Ta-“

“Sudah ... Sudah ... Saya tidak mau mendengar penolakan. Toh tidak setiap hari juga saya yang bayar,” ucap Agus memotong perkataan Roni.

“Kalau begitu kami ucapkan terima kasih banyak Pak Agus dan kami permisi. Selamat sore,” tutur Roni kepada Agus atasannya yang di ikuti dengan ucapan terima kasih Ica pada Agus.

Mereka berdua pun berlalu meninggalkan Cafe yang diiringi dengan tatapan tajam Agus dari belakang, yang memandang punggung Ica hingga mereka berdua keluar dari Cafe. “Cantik” ucap Agus dengan lirih.

Di dalam mobil.

“Ca, sepertinya Pak Agus naksir elu deh.”

Plak ...

Refleks telapak tangan kanan Ica memukul pundak kiri Roni.

“Aduh” pekik Roni sambil mengusap-usap pundak kirinya dengan telapak tangan kanannya.

“Jangan ngadi-ngadi deh Mas!. Mana ada seorang Boss yang naksir sama wanita seperti Gue. Kalaupun ada mungkin lagi sakit mata. Apa coba yang di lihat dari diri Gue, seorang wanita sebatang kara, miskin dan buruk rupa. Yang status dan penampilannya jauh ke mana-mana di bandingkan dengan teman-teman wanita di sekitar Boss elu,” ujar Ica dengan kesal karna mendengar asumsi sahabatnya.

“Eits ... Siapa bilang elu itu buruk rupa Ca? Elu itu cantik. Dan tidak semua pria memandang status. Gue aja mau kok jadi kekasih elu kalau elu izinkan,” sahut Roni dan langsung diam tertegun karna menyadari ia telah kelepasan bicara secara tidak langsung mengungkapkan isi hatinya pada Ica.

“Ngga usah bercanda deh Mas. Mana mungkin Mas Roni mau jadi kekasih Ica, di kantor Mas kan banyak tuh wanita cantik dan seksi yang pasti suka sama Mas Roni,” balas Ica sambil terkekeh karna mengira Roni hanya bercanda.

“Gue serius Ca. Gue ingin hubungan kita lebih dari pada sahabat. Gue ingin elu jadi kekasih Gue. Keluarga kita sudah lama saling kenal dan kedua orang tua Gue juga menyukai elu.”

Ica pun terdiam. Ia bingung harus mengatakan apa pada Roni. Ia tidak mengira diam-diam Roni menaruh hati padanya. Ada rasa senang dirinya di cintai Roni tapi ia takut persahabatan mereka akan hancur bila menjadi sepasang kekasih dan akhirnya menjadi musuh bila suatu saat nanti hubungan mereka kandas di tengah jalan.

“Gimana Ca?” Tanya Roni menyadarkan Ica dari ke terdiamannya.

“Hm ... Kasih Ica waktu untuk berpikir ya Mas,” jawab Ica pada akhirnya.

“Iya, elu santai aja. Gue juga Ngga buru-buru kok,” sahut Roni sambil mengacak-acak rambut Ica dengan lembut. Mereka berdua pun kembali mengobrol dan bercanda seperti semula tanpa mengingat obrolan serius yang sempat terjadi di antara mereka tadi.

Tak lama mobil yang di kendarai Roni tiba di depan sebuah rumah bercat putih kusam yang terlihat sudah ada yang terkelupas dan plafon yang rusak di sana sini.

“Terima kasih Mas untuk hari ini dan terima kasih juga sudah antar Gue pulang. Mampir dulu yuk,” ucap Ica saat keluar dari dalam mobil.

“Sama-sama Ca. Next Time deh mampirnya, sudah malam. Ngga enak sama tetangga, nanti yang ada kita di gerebek warga dan di suruh nikah. Kalau Gue sih mau-mau aja di suruh nikah in elu,” ujar Roni sambil bercanda dan tertawa.

“Ish ... Mana mungkin tetangga gerebek kita, Mas. Mereka kan juga kenal sama elu. Mantan warga di sini!,” balas Ica dengan tertawa juga karna mendengar perkataan sahabatnya yang mengada-ada.

“Iya ya ... Mana mungkin mereka lupa sama Mas yang mukanya ganteng begini.”

“Nah, mulai deh penyakit percaya dirinya kumat,” sahut Ica sambil menepuk jidatnya dan menggelengkan kepalanya.

Roni tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sahabatnya.

“Ya sudah, masuk sana! Gue tunggu in sampai elu masuk dari sini. Ntar elu di culik orang lagi kalau Ngga Gue liat in,” ujar Roni sambil mengibas-mengibaskan telapak tangan kirinya seolah-olah mengusir Ica.

“Huh ... Bye Mas Roni. Hati-hati di jalan,” gerutu Ica sambil melangkah pergi masuk ke dalam rumah dan melambaikan tangannya.

Terpopuler

Comments

Eko Nugroho

Eko Nugroho

emm

2023-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!