Jeno membuat ruangan khusus di rumah sakit, lebih tepatnya di samping ruang prakteknya. Ruangan tersebut akan ia pergunakan untuk kamar tidur putrinya yang masih bayi.
Dengan begitu Jeno akan tenang jika harus meninggalkan putrinya saat bekerja. Jeno memakai alat yang tersambung ke ruangan prakteknya. Jika sang bayi menangis, maka akan terdengar di ruang kerjanya. Sesekali juga ia menengok sang putri dan memberinya susu formula.
Banyak perawat dan dokter wanita kagum pada Jeno. Tak banyak laki-laki yang merawat anaknya dengan begitu sayang padahal bukan putri kandungnya. Jika pun ada, mereka pasti memakai jasa perawat, sementara Jeno tidak sepenuhnya percaya pada perawat. Baginya mengurus bayinya sendiri lebih baik.
Satu tahun berlalu, semakin lama sang bayi berubah menjadi balita yang super aktif l, tidak bisa diam dan terus meminta keluar dari tempatnya. Jeno pun tak bisa lagi menggunakan ruangan kecil itu, terpaksa ia berhenti bekerja di rumah sakit itu, mengundurkan diri sebagai dokter kandungan disana.
Jeno membuka klinik kecil dekat rumahnya. Ia menjadi dokter umum sekaligus merangkap sebagai dokter kandungan.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, Luna sudah bisa berjalan dan bahkan berlari di usia 13 bulannya. Jeno juga belajar membuat makanan sehat untuk putri tercintanya. Dia baru mengerti bagaimana susahnya menjadi seorang ibu yang harus telaten merawat anak. Mengajarinya apa yang boleh dan tidak boleh. Ikut bermain, menyuapi makan dan memandikan. Semua diperlukan kesabaran ekstra serta taktik agar anak itu menurut, tanpa suara hentakan.
Jeno tahu betul suara keras dan membentak yang keluar dari suara orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Sekali membentak, maka milyaran sel otak anak akan rusak. Maka dari itu Jeno akan berhati-hati dalam merawat karena alasan ini juga dia tidak bisa menyerahkan anaknya pada seorang perawat.
Hasil didikan Jeno tanpa bentakan dan teriakan menjadikan Luna tumbuh sebagai anak yang cerdas, aktif dan penurut.
Saat memasuki usia PAUD, Jeno pun rajin mengantarkan putri sambungnya sekolah.
"Sekarang Luna sudah wangi, habis itu pakai seragam yang warna apa ini sayang?" tanya sang papa yang sudah mengajarkan warna-warna kepada putrinya.
"Warna Bilu," ucap Luna cepat
"Betul, ini warna biru dan warna apa ini sayang?" tanya Jeno lagi
"Putih," jawab Luna lagi
Setelah itu Jeno bertepuk tangan agar sang putri merasa senang. Setelah memakaikan seragam PAUD putrinya, Jeno menyisir rambut Luna yang tebal, lurus dan panjang.
"Jeno, kamu kenapa gak nikah lagi?" ucap sang kakek yang terlihat semakin tua. Ia berdiri di depan pintu dan melihat keakraban Jeno dan Luna
"Hemm Jeno belum berpikir akan mencari penggantinya Marisa. Belum ada yang bisa mengambil hatiku Kek," ucap Jeno tersenyum
"Halah jangan kebanyakan milih kamu, nanti keburu tua,"
"Haha kakek-kakek,"Jeno terkekeh mendengar ucapan kakeknya yang tidak bisa dibantah. Makannya Jeno hanya tersenyum saja menanggapinya.
"Luna gak mau mama lain, Mama Luna itu mama Marisa," berontak Luna yang diam-diam mendengar pembicaraan Jeno dan kakek buyutnya
"Iya sayang, Mama Luna itu Mama Marisa yang sekarang sudah ada di surga. Yuk berangkat sekolah nanti terlambat," ujar Jeno kemudian pergi meninggalkan kakeknya di rumah untuk mengantar Luna ke sekolah
Sesampainya di sekolah, Luna masuk sementara Jeno menunggu di luar hingga Luna selesai pelajaran.
"Papa...!" panggil Luna yang langsung menghamburkan dirinya memeluk papa sambungnya ketika sekolah telah usai.
"Eh anak papa, gimana sekolahnya sayang?" ucap Jeno yang merentangkan tangan kemudian memeluk putri kecilnya.
"Luna udah celecai cekolahnya, tadi Luna mewalnai pantai Pa...., Luna pinter ya Pa," ucap Luna
"Wah pinter ya putri Papa, tos dulu dong. Luna hebat! Dan juga pintar," ucap Jeno memuji sang anak lalu mengecup pipi gembulnya.
Anaknya tumbuh sangat subur, gemuk dan menggemaskan. Banyak para Wanita yang memuji Jeno karena merawat dan mendidik anaknya dengan baik.
Jeno pulang ke rumahnya dan memanjakan Luna dengan ikut belajar dan bermain. Setelah itu Luna di berikan sebuah mainan dan Jeno mulai bekerja di ruangannya. Waktunya membuka klinik kecilnya.
Tak berapa lama ada suara benda terjatuh keras hingga terdengar dari ruang kliniknya. Jeno segera menghampiri asal suara, tak lupa dia mengajak Luna sekaligus untuk masuk kedalam rumah.
Jika didengar dari bunyi jatuhnya, Jeno khawatir sang kakek-lah yang terjatuh.
Benar saja, setibanya di sana, sang Kakek sudah terlentang dan kesulitan berdiri. Di samping tempatnya terjatuh ada sebuah tumpukan berkas-berkas dan buku tebal.
"Kakek, aduh kenapa bisa jatuh kek. Kakek mana yang sakit. Kita ke dokter ya?" ucap Jeno seraya menurunkan Luna yang di gendongnya kemudian membantu sang kakek bangun. Jeno mengantarnya ke kamar kakek.
"Kakek cuma capek aja Jeno trus pandangan Kakek tiba-tiba gelap dan pusing. Kamu ambilkan berkas-berkas itu ya," ucap Kakek nya
"Iya, nanti Jeno ambilkan. Kakek rebahan dulu di tempat tidur,"
Setelah merebahkan kakek di tempat tidur, Jeno mengambil tumpukan berkas yang tadi di bawa sang kakek. Kemudian ia masuk kembali ke kamar Kakek.
"Jeno, ini surat tanah dan sawah milik Kakek. Juga ada peninggalan tanah dari orang tua kamu. Kamu jual dan bangun rumah sakit impian kamu ya. Jual bertahap karena harga tanah semakin lama itu semakin naik," ucap sang kakek
"Kek, sayang kalau dijual semua. Sudah nanti saja dibicarakan. Jeno tadi periksa denyut jantung dan jadi kakek tidak stabil, kita ke rumah sakit ya. Sebentar Jeno tutup klinik dulu," ucap Jeno setelah ia memeriksa dengan stetoskop yang tergantung di lehernya.
Sang kakek ingin mencegah Jeno agar tidak usah dibawa ke rumah sakit. Tapi Jeno sudah pergi. Tak lama setelah itu Kakek menghembuskan napas terakhirnya.
Untuk sekian kalinya Jeno kehilangan orang yang disayanginya.
.
.
.
Waktu semakin cepat tak terasa klinik kecilnya kini menjadi sebuah rumah sakit. Hingga ia mempekerjakan Lima dokter dan beberapa perawat. Juga ada ruang inapnya meski baru memiliki enam kamar. Semua ia dapatkan dari hasil penjualan beberapa tanah milik Kakek nya, sesuai pesan terakhir Kakeknya
Meski pekerjaannya sudah semakin membaik dan usahanya sudah lebih maju, tetap saja perhatian Jeno terhadap anaknya tidak pernah lekang. Apalagi saat ini Luna telah tumbuh menjadi gadis remaja yang butuh pengawasan orang tua
Saat ini pun Jeno sedang mengantar putrinya ke sekolah SMA.
"Pa..., kapan Luna boleh bawa mobil," tanya Luna saat perjalanan menuju sekolahannya.
"Nanti ya kalau sudah 18 tahun, sekarang kan kamu baru 16 tahun," ujar Jeno
"Yah... Gak asik ah," protes Luna yang kemudian cemberut.
"Hehe biar aman. Udah sampe nih, nanti pulang jam berapa?" tanya Jeno sambil menepikan mobilnya.
"Nanti Luna pulang sama Arya aja soalnya nanti ada kerja kelompok,"
"Arya siapa? Kamu belum boleh pacaran loh ya? Masih kecil," ucap Jeno yang langsung protektif
"Hiih temen Pa...cuma temen kok, udah ah. Assalamu'alaikum," ucap Luna yang langsung ingin mengecup pipi Papanya
Jeno yang sedang membaca pesan di layar ponselnya langsung melengos ke kiri dan membuat bibir mereka bersentuhan.
Ingin cium pipi jadinya cium bibir. Bagi Luna itu hal biasa karena ia menganggap Jeno adalah Papanya. Tapi bagi Jeno ada perasaan lain yang membuatnya bergetar seperti ada setruman kecil menyerang jantung hatinya.
Jeno terdiam sesaat sampai akhirnya menjawab salam, "Wa'alaikumsalam,"
Luna meraih tangan Jeno kemudian mencium punggung tangannya.
"Bye Papa, Hati-hati di jalan ya," ucap Luna kemudian turun dari mobil.
Astaga perasaan apa ini, gak mungkin kan aku jatuh hati pada putriku sendiri, batin Jeno
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
🦂⃟ᴍɪʟᷤᴀᷤʜᷫ ᶜᵘᵗᵉ ✹⃝⃝⃝s̊S
masih 16 tahun udah bikin jatuh cinta ya si luna
2023-09-11
0
🏘⃝AⁿᵘKuli Tinta𝐙⃝🦜Kᵝ⃟ᴸ
aku ngebayanginnya Jeno NCT dream lagi 🤣
2023-09-10
0
Kᵝ⃟ᴸ...🍾⃝ͩVᷞɪᷰสᷡИᷧ
hiks gegara bibir,,, astgaaaaa,,,
2023-09-09
0