007. I’am (Not) a Marionette (Aku bukan boneka marionette)
“Ratuku, buka pintunya.”
Kayena mendengarnya. Suara berat yang berasal dari depan pintu kamar itu masuk ke indra pendengaran ketika tubuhnya baru saja berbaring di atas ranjang.
“Ternyata raja tiran itu sudah datang,” gumam Kayena. Tidak ada niatan sedikitpun untuk beranjak dari ranjang. Ia sudah meninggalkan pesan, seharusnya pria itu dengan mudah mengerti.
Padahal pada kehidupan sebelumnya, pria itu kerap terlihat enggan ketika menjalankan kewajibannya untuk berkunjung. Bahkan ketika datang berkunjung sekalipun, pria itu akan bergegas pergi pada dini hari setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Ia tidak pernah sudi lama-lama berbagi ranjang dengan Kayena.
“Ratuku, buka pintunya.”
Terhitung sudah dua kali pria itu buka suara. Entah sampai sejauh mana kesabarannya bertahan. Kayena ingin tahu.
“Kau bisa membuka pintunya sendiri dari dalam, atau aku yang akan membukanya secara paksa dari luar.”
“Menggertak?” Kayena tersenyum miring seraya mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang.
Seharusnya ia sudah beristirahat dengan tenang, jika suara-suara yang menimbulkan kegaduhan di luar sana tidak masuk ke indra pendengaran. Entah apa yang dilakukan suaminya, sehingga menciptakan kegaduhan yang sangat menganggu. Tak berselang lama, Kayena tersentak kecil ketika mendengar suara gebrakan dari balik pintu. Apa mungkin pria itu tidak main-main soal gertakannya?
Seharusnya Kayena ingat lebih awal jika Kaizen tidak pernah berhenti sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Haish.” Helaan napas kecil terdengar dari pemilik wanita cantik yang baru saja menurunkan kakinya.
Jika dibiarkan lebih lama lagi, raja Robelia itu bisa saja menghancurkan pintu kamarnya. Kayena pun memutuskan untuk menyudahi permainan dengan rasa dongkol. Sebelum membuka pintu, Kayena lebih dulu meraih jubah tidur untuk menutupi gaun tidur berenda yang telah melekat di tubuhnya.
“Keributan apa yang sedang Anda lakukan di depan kamar saya, Yang Mulia?” Kalimat itu adalah sambutan pertama yang Kayena lontarkan ketika berhasil membuka pintu.
Orang-orang yang berkumpul di depan pintu pun langsung menunduk hormat ke arah Kayena, kecuali Kaizen. Pria rupawan itu tampak tersenyum miring dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Hanya keributan kecil yang timbul akibat aku tidak bisa masuk ke kamar istriku,” jawabnya kemudian. Dengan langkah lebar ia pun menghampiri istri cantiknya yang terlihat sudah siap beristirahat di atas peraduan.
“Drama ini dibuat oleh istriku sendiri,” tambahnya ketika berhasil mendekat ke arah sang istri. “Tonight you dive me crazy Queen (malam ini kau membuatku gila).”
Kayena menatap lawan bicaranya jengah. “Saya hanya sedang merasa lelah, Yang Mulia. Saya ingin beristirahat dengan tenang malam ini.”
“Baiklah,” sahut Kaizen menyanggupi. “Aku tahu kau sangat sibuk belakangan ini,” lanjutnya seraya meraih pergelangan tangan sang istri. “Oleh karena itu, lebih baik sekarang kita segera masuk dan beristirahat.”
Kayena melebarkan mata tak percaya. Ia pikir pria itu akan kembali ke kamarnya. Siapa sangka jika ia tetap “keras kepala” seperti biasa. Mau tidak mau, malam ini Kayena harus terjebak dengan pria yang telah menorehkan luka dalam pada kehidupan sebelumnya.
“Saya benar-benar letih, Yang Mulia.” Kayena buka suara ketika mereka tiba di tengah ruangan. Ia sudah menciptakan jarak terlalu jelas semenjak Kaizen memasuki kamarnya.
“Aku tidak akan melakukannya jika kau letih.”
“Terima kasih, Yang Mulia.” Kayena memutar badan, hendak kembali ke ranjang. “Sebaiknya Yang Mulia juga kembali ke istana utama, karena saya …”
“Sebenarnya ada apa dengan mu, Kayena?” Kaizen memotong kalimat Kayena dengan tangan meraih pergelangan tangan istrinya.
“Saya baik-baik saja Yang Mulia.” Kayena menjawab tanpa menoleh. Ia tidak pernah menyangka jika rasa enggan berada dalam satu ruangan dengan Kaizen sebesar ini.
Kayena merasa dadanya sesak setiap kali bertatapan dengan pria yang telah memberinya 4 orang putra tampan di kehidupan sebelumnya. Pria yang sama yang telah membuatnya mengambil keputusan ekstrim, yaitu mengakhiri hidup dengan tangannya sendiri.
“Tatap mataku ketika kita sedang bicara, Kayena.”
Dalam satu hentakan, Kaizen berhasil membuat Kayena berbalik badan. Menatap ke arahnya. Saking kerasnya hentakan tersebut, jubah tidur yang Kayena gunakan sampai melorot pada satu sisi. Jubah itu memang tidak diikat kuat, hanya dibiarkan membentuk jalinan pada bagian ikatan.
“Kau berubah, Kayena.”
Setelah hening ambil bagian di antara mereka, Kaizen kembali angkat bicara. Ia bisa dengan mudah menangkap perubahan signifikan pada sikap Kayena. Istrinya itu terlampau mudah ditebak, namun itu dulu. Sebelum istrinya menampilkan perubahan yang sangat signifikan pada pesta perayaan hari kelahiran selir agung.
“Saya hanya ingin kembali menjadi wanita yang tangguh, bukan wanita yang lemah karena kematian putranya.”
Jawaban itu menarik kernyitan di kening Kaizen. “Maaf soal hari peringatan kematian putra kita. Aku tidak bermaksud untuk melupakannya.”
“Putraku memang tidak lebih penting dari kekasih haram Anda, Yang Mulia.” Kayena membalas dengan sarkastik.
“Jaga bicaramu, Kayena.” Kaizen refleks mengeratkan cengkraman pada pergelangan tangan Kayena. Emosinya dengan mudah naik ketika kekasihnya dibawa-bawa. “Jangan libatkan dia pada pembicaraan kita.”
“Bagaimana bisa saya tidak melibatkan kekasih Anda yang merupakan alasan terbesar bagi penghianatan yang diterima putra saya?”
“Putra kita,” koreksi Kaizen geram. “Pangeran Carcel adalah putra kita, Kayena.”
Kayena mengangguk. “Tetapi Anda tidak pernah benar-benar menganggap Pangeran Carcel sebagai seorang anak, melainkan sebagai pewaris tahta kerajaan Robelia.”
Terdiam. Kaizen benar-benar mengatupkan rahang mendengar tuduhan keji yang dilayangkan sang istri. Sebagai seorang suami, ia sangat bahagia ketika mendengar istrinya berbadan dua. Kehamilan Kayena telah ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Robelia. Kaizen tidak berbohong, ia bahagia walaupun tidak pernah menunjukkannya. Ia menutupi perasaan itu dengan apik supaya kekasihnya tidak terlukai. Kehadiran penerus dari Kayena akan membuat posisi kekasihnya semakin terancam, apalagi Katarina hanya bertahan dengan modal cinta raja untuk tetap berada di istana.
Kaizen menutupi perasaan bahagianya dengan baik, sampai-sampai istrinya sendiri beranggapan jika ia tidak bahagia menyambut kelahiran putra pertama mereka. Puncak dari permasalahan tersebut terjadi ketika putra kecil mereka meninggal dunia pada hari kedua kelahirannya. Kayena hancur. Kaizen pun ikut melebur.
Bedanya, sebagai seorang pemimpin ia harus pandai menutupi kehancuran tersebut. Kaizen menyembunyikan rasa kehilangan itu di balik sifatnya yang dingin dan arogan. Sembari terus beranggapan jika istrinya juga akan paham dengan seiring berjalannya waktu. Namun, alih-alih paham, Kayena malah semakin terperosok pada luka dalam yang diakibatkan oleh kehilangan. Kayena menjalani hidupnya bak marrionette atau boneka kayu yang digerakkan dengan menggunakan benang atau tali.
“Aku tidak mengenalmu, Kayena.” Kaizen melonggarkan cengkraman tangannya ketika berkata demikian. “Kenapa kau berubah secara tiba-tiba?”
Kayena tersenyum tipis mendengarnya. Semua memang serba “tiba-tiba” semenjak ia membuka mata dan kembali ke masa lalu. Namun, apa yang telah Kayena lakukan berikutnya, semua telah dipertimbangkan dengan matang.
“Saya hanya lelah, Yang Mulia.”
“Jika lelah beristirahat lah. Aku tidak akan memaksa dirimu untuk bekerja,” timpal Kaizen. Walaupun kata-katanya diucapkan dengan nada dingin, Kaizen ingin istrinya paham jika wanita itu tidak perlu terlalu memaksakan diri.
Selama ini Kaizen memang hidup bebas dengan kekasihnya—selir Katarina. Ia paham betul jika semua opini negatif yang muncul di publik telah diselesaikan oleh Kayena. Wanita itu berperilaku layaknya istri bijaksana yang menerima dengan lapang dada perselingkuhan suaminya. Bahkan ketika akhirnya Kaizen memberikan gelar bangsawan pada Katarina tanpa berdiskusi dengan Kayena, wanita itu tetap diam saja. Sekalipun keluarga Grand Duke Pexley berusaha keras mencari keadilan untuk dirinya.
“Tidak semua rasa lelah bisa hilang dengan istirahat, Yang Mulia.”
“Lalu apa yang kau butuhkan, Kayena?” tanya Kaizen dengan kedua tangan bermukim di bahu kecil milik ratunya. “Katakan. Apa yang kau butuhkan?”
Kayena menatap langsung ke dalam bola mata Kaizen yang berwarna gelap. Sebelum sebuah permintaan meluncur bebas dari bibir tipisnya.
“Saya ingin bercerai dengan Anda.”
💰👑👠
Semoga suka & sampai jumpa di part berikutnya 🤗
Tanggerang 15-03-23
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
zee_
naiiisssss
2024-05-10
1
Siti Anah
bagus
2024-04-27
1
Cherry🍒
gas lah cerai kita 🤣🤭
2024-04-15
1