Janda

Malam.

Entahlah, setelah pertemuan kembali dengan Raka malah membuat hati Bunga gelisah. Dadanya berdebar gugup, takut dan indah bersamaan teringat dengan senyuman Raka.

"Ada apa dengan diriku?" gumamnya sendiri, sholatnya menjadi tak khusyuk karena dadanya terus saja berdebar dan berdenyut-denyut.

Niat sholat isya itu sudah berulang ia ucapkan, bahkan hingga surah Al-fatihah terbaca, dia masih merasa salah dan kembali mengulanginya.

"Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah."

Bunga kembali mengulang, salah benar ia tak hiraukan lagi.

Lelah dan mengantuk, Bunga langsung menuju ranjang empuk tersebut. Memandangi bantal guling yang kini tergeletak menggantikan Gibran, dia tersenyum sedikit.

"Aku selalu merindukanmu Mas." ucapnya mengusap-usap bantal tempat tidur Gibran.

"17 hari sudah kamu pergi meninggalkan aku, sungguh tak pernah aku membayangkan, sendirian kau tinggalkan lebih dulu."

Bunga mengusap air matanya, sungguh kepergian Gibran menorehkan luka di hati Bunga. Sakit dan rindu sering melanda, bahkan tak pernah pergi jika di malam hari.

Puas menangis, ia tertidur dengan memeluk bantal yang sering di pakai Gibran. Aroma khas laki-laki itu menelusup hangat ke dalam hati, berharap bertemu di dalam mimpi, melepas rindu yang tak bertepi.

Tak...tak...tak.

Terdengar suara langkah kaki, seseorang datang dengan senyum mengembang, memecah kesunyian di kamar yang gelap tak ada cahaya, hanya sinar bulan yang menerangi menelusup melewati celah jendela.

Bunga beranjak dari duduknya, menyaksikan seseorang yang datang, sepertinya ia kenal, tapi kemudian dia tidak mengenalnya. Dahi Bunga berkerut bingung mencoba mengingat siapa laki-laki itu.

"Kau sedang apa Bunga?"

Suaranya seperti ia kenal.

Dalam kebingungan ia membiarkan sosok itu semakin mendekat dan menyentuh wajahnya.

"Lihatlah aku." ucapnya lagi, seolah sedang berkata bahwa dia sangat tampan sekali.

Ya, dia sangat tampan dengan wajah bercahaya, senyumnya menggoda dan manis luar biasa.

"Mas Raka." panggilnya menyadari jika yang datang itu adalah Raka.

"Ya, ini aku." Raka membelai wajah Bunga lagi, tangannya hangat dan halus, membelai penuh kasih sayang yang menyentuh jiwa. Melayang dan terbuai dengan perlakuannya.

Raka mengecup keningnya, lama hingga terasa halus dan nikmat bibir tebalnya menyentuh Bunga.

"Jadilah kekasihku, kita akan bahagia, aku akan membuatmu bahagia." ucapnya menyentuh dada Bunga seperti meraih sesuatu yang tak terlihat. Seolah sedang menggenggam hatinya, Bunga merasa jatuh lemas begitu mencintai Raka.

"Aku mencintaimu Mas." jawabnya tak berpikir lagi, dunia sangat indah di kala itu, cahaya bulan semakin membuat wajah Raka terlihat mempesona.

Mimpi yang singkat namun memikat, Bunga terbangun dengan bingung.

"Mengapa aku jadi bermimpi tentang Mas Raka, padahal aku sangat merindukan Mas Gibran." ucapnya mengusap wajah.

Rasa lapar membuatnya enggan tertidur lagi, dia ingat tadi sore hanya menemani Tiara menghabiskan makanannya.

Sementara Raka, ia baru saja bangun dan kembali tidur dengan senyum terukir di wajahnya. Senang sekali bisa bertemu Bunga melewati alam mimpi.

Teringat saat dulu ilmunya masih sedikit, dia selalu mengajak gurunya untuk melakukan semedi, agar bisa bertemu Bunga di alam mimpi. Tapi kini dia sudah menguasai semuanya, hanya memejamkan mata dan memusatkan pikiran dia bisa melakukannya.

Tak perlu dukun untuk melakukan hal seperti itu, Raka sendiri sudah menguasai ilmu perdukunan hitam.

"Mari kita lanjutkan."

Suara Nyi Roro Ayu terdengar halus di telinganya, sudah pasti keinginan untuk menyentuh Bunga akan tercapai hingga pagi bersama iblis yang cantik sekali.

*

*

*

"Halo Ibu."

Pagi-pagi sekali ibu dari Dewi sudah menghubunginya.

"Wi, kemarin Ibu pergi ke rumah dukun langganan Ibu."

"Terus Bu?" Dewi menjawab cepat, dia sungguh penasaran.

"Kamu harus hati-hati Wi. Ada kemungkinan Raka dan wanita bernama Melati binti Gutama itu akan kembali bersama jika tidak ada yang menghalangi."

"Yang benar Bu?" tanya Dewi sangat terkejut.

"Iya, tapi kamu jangan bilang-bilang ke suamimu, kamu harus hati-hati dengan suamimu. Kata si Mbah, suamimu itu bukan orang sembarangan." Ibunya menjelaskan.

"Memang Iya Bu, tapi tetap saja aku harus punya cara untuk mempertahankan suamiku. Aku tidak rela Mas Raka di rebut olehnya." Dewi memijat kepalanya, bingung sendiri atas pembicaraannya kepada ibu.

"Tenang, Ibu sudah mendapatkan air sakti dari si Embah untuk di berikan kepada suamimu, agar dia selalu menurut kepadamu. Dengan begitu dia tidak akan berani membantah apa yang kamu ucapkan." ibunya terdengar sangat yakin.

"Tapi bukannya tadi Ibu bilang jika Mas Raka bukan orang sembarangan. Bagaimana jika dia tahu?" Dewi merasa ragu.

"Hanya air putih, Ibu jamin dia tidak akan tahu." ucap Ibunya kembali meyakinkan Dewi.

"Baiklah Bu. Kirimkan segera air tersebut. Aku tidak mau kehilangan Mas Raka."

"Nanti Ibu cari orang yang bisa dipercaya, kamu sabar ya."

"Injeh Bu." jawabnya menarik nafas lega.

Paling tidak masih ada cara untuk mempertahankan Raka tak hanya pasrah atas kecemburuannya terhadap Bunga.

Sementara itu, pagi-pagi sekali Raka sudah tiba duluan di toko barunya. Membuka Toko alat-alat pertanian, pupuk dan segalanya macam bibit tanaman, tentu di pagi buta pun dia sudah dapat pembeli.

"Sambil menyelam minum air, tak hanya untuk menangkap ikan." Raka tersenyum lebar.

Puas hatinya dengan posisi dekat sekali dengan Bunga sekalian mencari uang ia juga mencari kesempatan untuk mendekati Bunga, ingin memiliki Bunga.

Tak lama kemudian Bunga datang bersama Rozak. Pemuda miskin dan sederhana, tak mungkin berani mendekati Bunga yang sudah dianggap seperti keluarga, lebih tepatnya majikan yang sangat di hormati.

Namun berbeda dari sisi Raka dia tak suka siapapun mendekatinya Bunga. Matanya terlihat seram dengan wajah merah, menatap tajam Rozak.

"Astaghfirullah." ucap pemuda itu terkejut melihat Raka yang menatapnya seperti ingin membunuh.

"Ada apa Zak?" tanya Bunga menoleh pegawainya itu.

"Tidak Mbak, cuma kaget." ucapnya segera masuk menyusul Bunga. Pemuda itu bergidik ngeri.

Status janda yang dimilikinya mulai mengusik warga.

Laki-laki yang yang masih lajang, duda, juga yang sudah beristri, salah satunya seperti Raka. Mulai gelisah jika sedang berhadapan dengan Bunga yang terlalu cantik. Wajahnya yang teduh, suaranya lembut dan tubuhnya yang aduhai membuat laki-laki sulit berkedip, bahkan menahan nafas jika kebetulan berhadapan dengan Bunga.

Seperti siang itu, seorang duda pendatang baru di kampung tersebut berbelanja di toko Bunga. Dengan penampilan yang fresh dan pakaian bagus ala-ala anak kota, dia datang dengan mobil dan menebar senyum manis, pas sekali ketika Melati ada di luar baru saja selesai menghantarkan barang milik pelanggan yang tertinggal di mejanya.

"Selamat siang Dek Bunga." ucapnya menyapa dengan sopan.

"Oh, selamat siang." jawab Bunga tersenyum sedikit, tak mengurangi kesopanannya, lebih banyak menunduk.

"Cuma mau beli lem buat talang air, kebetulan lewat di toko Dek Bunga, pingin mampir." ucapnya tersenyum lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!