Happy reading.....
Naura masih menangis di dalam kamar, saat kedua orang tuanya sedang dimandikan. Dia ditemani oleh kedua sahabatnya, yaitu Zahira dan juga Sekar. Mereka turut bersedih atas kematian orang-tua Naura.
Gadis itu masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja dia alaminya, begitu sangat tiba-tiba. Padahal, baru tadi pagi Naura akan berangkat ke kampus, mereka berfoto bersama di meja makan dengan senyuman yang mengembang indah di kedua wajah orang tuanya.
''Naura, lo jangan merasa sendiri ya. Kita akan selalu ada kok buat lo. Iya, kita tahu, kalau ini tuh pasti nggak akan mudah, tapi percayalah, semua sudah diatur sama Allah,'' ujar Sekar sambil mengusap bahu Naura.
Gadis itu masih saja menangis, dia tidak bisa menjawab ucapan sahabatnya, tetapi jauh di dalam lubuk hati Naura, dia sangat bersyukur. Karena dipertemukan dengan kedua sahabat yang mau ada untuknya di kala senang dan sedih.
''Thanks ya, kalian sudah ada di saat gue sedang terpuruk,'' ucap Naura dengan suara yang serak.
''Sama-sama, udah, lo jangan nangis! Emangnya lo nggak malu sama mata yang udah kayak panda tuh sembabnya,'' kata Zahira sambil terkekeh kecil.
Kemudian mereka berdua mengajak Naura untuk turun ke lantai bawah, karena sebentar lagi jasad kedua orang-tua Naura akan di shalatkan di masjid, setelah itu baru akan dimakamkan.
.
.
Hari telah berganti malam. Saat ini Naura sedang merenung di taman belakang, setelah acara tahlilan selesai. Sejujurnya, Naura masih penasaran, apa yang membuat kedua orang tuanya mengakhiri hidup dengan begitu tragis.
Masih terngiang jelas di kepala Naura, bagaimana senyum kedua orang tuanya tadi pagi saat dia akan berangkat ke kampus. Memang ada kata-kata yang membuat Naura janggal dari kedua orang tuanya.
Naura, harus jadi gadis yang kuat, berani dan juga selalu bahagia. Mama sangat menyayangi Naura, melebihi apa yang Naura rasakan. Satu hal, apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Mama Jevanta.
Papa tahu, jika Naura wanita yang berani. Terus menggapai mimpi, jangan pantang menyerah! Sebab Papa sangat yakin, Naura akan menjadi kebanggaan kami. Papah Abi.
Air mata masih terus mengalir tiada henti sejak dari siang. Bagaimanapun Naura mencoba untuk kuat, tetap saja tidak bisa.
''Non Naura, ini sudah malam, angin di luar tidak baik untuk kesehatan. Sebaiknya Non masuk ya,'' ucap Bi Inem yang merasa kasihan melihat Nona mudanya terus bersedih.
Naura menarik tangan Bi Inem dan meminta wanita tua itu untuk duduk di sampingnya. Mau tidak mau, Bi Inem pun duduk. Dia benar-benar kasihan melihat keadaan Naura, bahkan gadis itu tidak mau makan dari siang.
''Bi, tolong jawab Naura dengan jujur! Sebenarnya apa penyebab papah dan mamah mengakhiri nyawanya sendiri? Bibi lihat 'kan tadi pagi, kami tersenyum bahagia? Tapi kenapa tiba-tiba mereka meninggalkan Naura, Bi? Apa Naura membuat salah, atau Naura ini anak yang bandel?'' Gadis itu kembali menangis dengan suara yang purau.
Bi Inem menggeleng, kemudian dia memeluk tubuh Nona mudanya dari samping. Wanita tua itu tahu apa yang dirasakan oleh Naura saat ini. Tidak mudah bagi seorang anak untuk mengikhlaskan kepergian kedua orang tuanya, apalagi Naura adalah anak satu-satunya dari keluarga Fazila.
''Bibi tidak tahu penyebabnya apa, Non. Tadi pagi, nyonya meminta Bibi untuk membeli buah ke pasar, tapi yang Bibi aneh, tumben-tumbennya nyonya meminta Bibi membelikan buah belimbing? Padahal 'kan nyonya tidak suka, tapi bibi tidak ada rasa curiga sedikitpun.'' Sejenak Bi Inem menghentikan ucapannya.
Dia mengingat kejadian, di mana tadi pagi tante Jevanta memintanya untuk ke pasar membeli buah belimbing. Namun, saat pulang ke rumah, Bi Inem tidak mendapati kedua tuannya. Dia pikir, mereka sudah berangkat ke kantor, tetapi ternyata Bi Inem salah.
Saat beliau menyiram bunga di taman belakang, tiba-tiba wanita tua itu dikejutkan dengan dua orang sosok yang menggantung di pagar balkon, dan ternyata kedua orang itu adalah tuan dan nyonya-nya.
''Bibi juga kaget Non. Bibi pikir, mereka sudah berangkat ke kantor, tapi ternyata Bibi harus melihat bagaimana tuan dan nyonya mengakhiri hidupnya. Makanya Bibi langsung menelpon Polisi dan memanggil warga,'' jelas Bi Inem.
.
.
Satu minggu telah berlalu sejak kepergian orang-tua Naura. Dia mencoba untuk membangun hari-harinya kembali, tapi tetap saja seperti terasa hambar, tidak berwarna. Gadis itu banyak murung, tidak seceria biasanya.
Semua orang di kampus beranggapan, orang tuanya Naura depresi akibat perusahaan Fazila Group bangkrut.
''Naura, lo pulang dari kampus mau ke mana?'' tanya Sekar saat mereka sudah selesai skripsi.
''Gue langsung pulang aja. Badan gue juga kurang enak,'' jawab Naura dengan lesu. Kemudian dia beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari kampus.
''Kalau begitu biar gue yang antar ya!'' tawar Zahira. Naura pun hanya mengangguk, kemudian mereka berjalan menuju parkiran.
Sesampainya di rumah, Naura tidak melihat Bi Inem sama sekali. Rumah itu terlihat sepi, padahal biasanya Bi Inem jam segitu masih berada di dapur untuk membuatkan makan malam.
''Naura, ini koper siapa?'' tanya Zahira saat melihat koper berwarna krem berada di ruang tamu.
Naura menoleh ke arah belakang, dan dia sangat hafal dengan koper itu. ''Loh, itu 'kan kopernya nenek? Berarti nenek sudah pulang dari Belanda!'' ucap Naura dengan kaget.
Di kediaman Fazila, memang Naura tinggal bersama kedua orang tuanya dan juga neneknya, yaitu ibu dari papahnya. Namun, kemarin neneknya sedang liburan ke Belanda bersama teman-teman arisannya. Jadi dia tidak tahu tentang kematian kedua orang tuanya.
Dengan cepat Naura segera berlari menuju kamar neneknya, dia takut wanita tua itu akan syok. Namun ternyata saat di sana tidak ada siapapun, bahkan kasurnya pun masih rapi.
''Bagaimana? Apa nenek Intan ada di atas?'' tanya Sekar.
Naura menggelengkan kepalanya. ''Tidak ada! Sebentar, aku telepon bi Inem dulu, mungkin dia tahu keberadaan nenek di mana,'' jawab Naura sambil mengeluarkan ponselnya.
Kemudian dia mulai menelpon bi Inem, dan tak lama telepon pun tersambung. Raut wajah gadis itu seketika menjadi kaget saat mendengar jika sang nenek saat ini tengah berada di rumah sakit.
''Apa! Rumah sakit? Nenek di rumah sakit mana, bB? biar Naura ke sana,'' ucap Naura dengan wajah yang kaget.
''Ada apa?'' tanya Sekar saat Naura selesai menelepon.
''Nenek di rumah sakit. Kita ke sana yuk! Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya,'' jawab Naura dengan wajah yang cemas.
Mereka bertiga pun berangkat ke rumah sakit, setelah menempuh perjalanan 35 menit, mereka sampai dan langsung menuju ruangan ICU di mana saat ini neneknya tengah diperiksa oleh Dokter.
''Bagaimana keadaan nenek, Bi? Apakah nenek baik-baik aja? Dia pasti sangat kaget ya, saat mendengar kematian papa dan mama?'' tanya Naura saat melihat Bi Inem duduk di ruang tunggu yang berada di koridor.
''Nyonya besar ... nyonya besar ... nona ...'' Bi Inem tidak sanggup untuk mengatakan kebenarannya kepada Naura.
''Ada apa Bi, sama nenek? Jangan membuat aku menjadi panik deh,'' ucap Naura.
''Kata Dokter, jika nyonya besar mengalami kelumpuhan dan juga stroke,'' jelas Bi Inem dengan wajah yang sendu.
Seketika tubuh Naura merosot ke lantai. Air matanya sudah tidak terbendung lagi, memikirkan cobaan demi cobaan yang menerpa hidupnya datang silih berganti.
Baru saja dia kehilangan orang tuanya, kini sang nenek pun harus mengalami stroke dan kelumpuhan total. Dan itu membuat Naura benar-benar merasa seperti seorang diri.
''Ya Allah, kenapa engkau mengujiku dengan begitu berat? Tidakkah kau puas telah mengambil kedua orang tuaku? Sekarang kau membuat nenekku lumpuh dan juga stroke? Apa sebenarnya rencanamu, ya Allah?'' Naura berkata dengan suara yang mulai serak karena Isak tangisnya.
BERSAMBUNG......
Sabar ya Naura😭😭😭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Dita Ciano
knpa bab ini mengandung bawang sih Thor 😭
2023-08-29
1
Dita Ciano
knpa bab ini mengandung bawang sih Thor 😭
2023-08-29
0
Keyboard Harapan
mimin bikin bengek😭🤧
2023-03-13
1