"Airin, wajah kamu pucat sekali. Kalau kamu sakit, libur saja." kata Bunda Rili saat sarapan bersama pagi hari itu.
"Bunda, Ayla juga sakit. Ayla gak disuruh libur juga?" yang menyahuti justru Ayla. Sejak kecil dia memang sering iri dengan adiknya yang selalu diperhatikan oleh kedua orang tuanya.
"Ayla, kamu gak papa. Kamu sudah kelas 12 gak boleh malas-malasan."
Ayla memanyunkan bibirnya sambil mulai memakan sarapannya.
"Ayla, kamu belajar yang rajin. Kalau kamu gak lulus SMNPTN nanti kamu masuk fakultas boga saja."
Mendengar perkataan Ayahnya itu, Ayla semakin mendumel. "Dih, deskriminasi." Ayla berdiri dan menyudahi sarapannya yang masih tinggal setengah itu.
"Ayla, dihabiskan dulu sarapannya." Rili menghela napas panjang. Putrinya yang satu itu memang mudah marah.
"Biar Ayah yang nasihati." Alvin akhirnya berdiri dan menyusul langkah Ayla.
"Ya udah, dihabiskan sarapannya. Biarkan saja Kak Ayla. Dia memang suka ngambek."
Beberapa saat kemudian, Ayla sudah kembali dengan membawa tasnya dan juga tas Airin. Wajahnya sudah tidak cemberut lagi, bahkan kini ada senyum yang mengembang di bibirnya.
"Ayla bekalnya double aja, nanti Ayla makan waktu istirahat." Ayla beralih mengambil dua kotak bekal lalu dia isi dengan nasi dan lauk.
Rili hanya terbengong menatap putri pertamanya. Ekspresinya bisa berubah dengan cepat.
"Gak usah heran Bun, Ayah korban lagi selembar uang merah." kata Alvin sambil tersenyum lalu duduk dan melanjutkan sarapannya. "Masukin juga bekal adiknya."
"Iya Ayah, ini Ayla ambil kotak bekal dulu." Ayla mengambil satu kotak bekal lagi. "Adek cepat sembuh ya. Duh, padahal ada Azka si kapten basket yang ganteng tuh, nikmatilah masa remaja kamu. Biarin tuh hantu nongol lagi, gak usah digubris. Kalau perlu tendang dan siram pakai air garam."
Airin tersenyum kecil mendengar celoteh kakaknya. Andai saja dia seperti kakaknya yang selalu ceria dan bukan tipe pemikir.
"Ayo, kalau sudah selesai kita berangkat sekarang biar gak kesiangan." Alvin memakai blazernya juga karena setelah mengantar kedua putrinya dia langsung ke kafe.
Kedua putrinya kini berpamitan pada Bundanya.
"Airin, kalau ada apa-apa langsung hubungi Ayah atau Bunda." pesan Rili pada Airin.
"Iya, Bun." Airin mencium punggung tangan Bundanya lalu keluar dari rumah.
"Ayla, gak boleh bandel di sekolah. Bunda dapat laporan dari Arsyad kalau kamu bandel dan sering godain guru."
"Ih, Bang Arsyad tukang ngadu banget." Ayla mencium punggung tangan Bundanya sambil cemberut lagi.
Alvin hanya menggelengkan kepalanya melihat kedua putrinya yang berbeda sifat. "Aku, berangkat dulu ya. Nanti kalau kamu gak ngapa-ngapain, kamu ke rumah Bang Rasya saja, temani Mami sama Papi di sana."
Rili menganggukkan kepalanya lalu mencium punggung tangan Alvin. "Mas Alvin juga hati-hati. Hp nya jangan sampai mati, kalau Airin minta jemput biar tahu."
"Iya, kemarin di kafe ada acara, aku gak tahu kalau baterainya habis." Alvin mencium singkat kening Rili lalu dia keluar dari rumah.
Setelah mereka semua masuk ke dalam mobil, mobil itu segera melaju menuju sekolah Airin terlebih dahulu.
"Airin, aku gak nyangka hidup Della berakhir dengan tragis seperti ini." Ayla masih menscroll berita tentang Della yang menyebar di internet.
Airin hanya terdiam. Dia kini mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil.
"Ayla jangan bahas masalah itu lagi sama Adek." kata Alvin yang melihat wajah putri keduanya seketika berubah.
"Iya, maaf."
Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Ayla masih sibuk dengan ponselnya, sedangkan Airin semakin menenggelami pikiran dan perasaannya sendiri.
Beberapa saat kemudian mobil Alvin sudah berhenti di depan sekolah Airin.
"Airin, sudah sampai."
Airin tersadar dari lamunannya, lalu dia meraih tangan Ayahnya dan mencium punggung tangannya sebelum turun dari mobil.
"Hati-hati ya di sekolah. Nanti kalau minta jemput hubungi Ayah, kalau nomor Ayah gak aktif bisa hubungi nomor Om Adit."
"Iya Ayah."
Airin turun dari mobil Ayahnya lalu masuk ke dalam gerbang sekolahnya. Dia menatap bangunan utama sekolahnya yang tinggi dengan aura negatif yang semakin terasa. Tiba-tiba saja bayangan Della jatuh dari lantai empat terlintas lagi dan terlihat begitu nyata.
Airin menutup matanya sesaat.
Tersadar saat ada suara klakson sepeda motor dan sebuah tarikan yang membawanya menepi. "Kalau bengong, jangan di tengah jalan."
Seketika Airin mengusap dadanya karena terkejut. Dia menoleh Revan yang lagi-lagi menolongnya. "Iya, makasih." katanya.
Tatapan mata Airin kini tertuju pada asap hitam yang tiba-tiba muncul di sebelah Revan. Asap hitam itu semakin nyata dan berubah menjadi Della. Lagi-lagi Della menatapnya tajam. Wajahnya semakin putih dan pucat. Sangat menakutkan hingga membuat bulu kuduk Airin berdiri.
Dekati Revan, agar kamu tahu semuanya!
Airin melebarkan matanya. Dia semakin memundurkan kakinya, lalu dia membalikkan badannya dan berlari menjauhi Revan.
Revan hanya menatap bingung tingkah Airin.
"Hai, bengong aja lo." Guntur datang dan merangkul bahu Revan. "Gue tahu lo sedang berduka cita. Jangan terlalu dipikirkan. Namanya takdir, semua orang tidak ada yang tahu. Buat have fun aja. Hidup lo gak berhenti sampai di sini."
Revan hanya menghela napas panjang. "Iya, lo benar."
"Nanti sepulang sekolah ikut kita latihan basket."
"Gue gak bisa. Nanti ada rapat OSIS." Mereka mengobrol sambil berjalan menuju kelas.
Sedangkan Airin kini menghentikan langkahnya di depan kelas untuk mengambil napas panjang.
"Airin, ngapain kamu lari. Aku panggil dari tadi gak dengar." Melodi akhirnya bisa menyusul langkah Airin lalu duduk di sebelahnya.
Airin menarik napas panjang lalu duduk di depan kelas. "Gak papa." Setelah napasnya teratur, kini dia meluruskan pandangannya. Ada Revan yang sedang berjalan dengan Guntur.
Beberapa teman perempuannya juga mengucapkan belasungkawa pada Revan. Lebih tepatnya belasungkawa atas berakhirnya hubungan Della dan Revan untuk selamanya.
"Revan, kamu kan sekarang duda. Eh, sorry, maksudnya jomblo, nanti jalan bareng yuk."
Salah satu dari tiga perempuan tak tahu malu itu terang-terangan menggoda Revan.
"Aku sibuk." jawab Revan sambil berlalu bersama Guntur.
Guntur tertawa dengan keras. "Gila sih, yang antri masih banyak aja."
"Gue gak mau lagi mikirin cewek karena kehilangan itu menyakitkan."
"Sadis man."
Airin mengernyitkan dahinya sambil menatap langkah Revan.
"Kenapa?" tanya Melodi.
Airin membisikkan sesuatu pada Melodi.
"Tadi aku sempat dengar waktu lihat Della di dekat Revan, dia suruh aku buat deketin Revan."
Seketika Melodi terkejut. "Gila! Jangan! Aku gak mau kamu..."
Airin menutup bibir Melodi dengan tangannya. "Jangan keras-keras nanti ada yang dengar."
Seketika Melodi memelankan suaranya. "Jangan pernah turuti omongan setan. Ingat itu!"
💕💕💕
.
Like dan komen ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Al Fatih
bener tuh ai...,, jgn ikutin omongannya setan...
2023-11-03
0
Eika
awas bisikan setan menyesatkan
2023-04-29
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
betul tuh, jangan dengerin setan 👿
2023-03-03
3