Ada Dia Di Antara Kita
"Della, jangan berdiri di tepi sana!" teriak Airin saat melihat sahabatnya yaitu Della sedang berdiri di tepi atap sekolahnya yang memiliki empat lantai itu.
Della membalikkan badannya dan menangis menatap Airin. "Hidup aku sudah hancur Airin."
Airin akan berlari mendekat tapi kakinya sama sekali tidak bisa dia gerakkan. Terasa sangat berat. Dia hanya bisa terpaku menatap Della yang perlahan semakin melangkah mundur. "Della, jangan!!"
"Selamat tinggal Airin. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku." Della menjatuhkan dirinya dari gedung paling atas itu.
"Tidaaakkk!!!" teriak Airin. Dia membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya lagi, mengatur napasnya yang berat seolah dia baru saja berlari maraton.
Dia kini melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Untunglah, Bunda dan Ayahnya tidak mendengar teriakannya.
Dia singkap selimutnya lalu duduk di tepi ranjang. Dia meraih ponselnya dan membaca pesan-pesan dari sahabatnya. Dia tersenyum kecil melihat foto-foto dari sahabatnya di acara ulang tahunnya yang ke 17 tahun semalam.
Jarinya kini berhenti di sebuah pesan dari Della.
Tolong.
Airin mengernyitkan dahinya saat melihat pesan yang terkirim itu pukul 12 malam dan sebuah titik lokasi yang tepat di gedung utama sekolahnya.
Keringat kembali membasahi pelipisnya. Dia berusaha menghubungi nomor Della tapi nomor whatsapp dan nomor selular semua tidak aktif.
Dia kembali menatap layar ponselnya, tiba-tiba ada sebuah foto yang terkirim ke ponselnya dari nomor Della. Dia melihat foto yang terdiri dari tiga orang itu, dirinya, Della, dan Melodi. Tiba-tiba saja wajah Della berubah menjadi sendu dan buram. Seketika Airin menjatuhkan ponselnya ke lantai.
"Kenapa bisa seperti itu!" Napas Airin kembali sesak. "Tadi aku menghubungi nomor Della tidak aktif, lalu siapa yang mengirim foto itu."
Dia memberanikan diri untuk mengambil ponselnya kembali. Dia lihat pesan itu lagi, dan sekarang foto sudah menghilang.
Airin tercekat.
Airin, tolong aku...
Sebuah bisikan seolah sangat dekat di telinganya. Bulu kuduknya berdiri. Kepalanya terasa sangat besar. Dia tidak berani menoleh ke sisi kirinya. Tak ada cara lain selain berdiri dan berlari keluar kamar. Dia menggedor kamar kakaknya yang ada di sebelah kamarnya.
Beberapa saat kemudian si pemilik kamar itu membuka pintu sambil menguap panjang. "Ada apa sih, Airin! Ganggu tidur aku aja."
"Kak Ayla, aku takut." Airin justru memeluk tubuh mengantuk kakaknya itu.
"Takut apa? Sebentar lagi udah subuh. Kamu ngigau ya?" Ayla melepas pelukan adiknya.
"Ada hantu kak."
Ayla mengernyitkan dahinya. Dia ingat betul, adiknya dulu memang sering melihat penampakan tapi sudah lama mata batin itu ditutup. "Penyakit kamu kambuh lagi?"
"Penyakit?"
"Itu indihome kamu, eh, maksudnya indigo."
Airin hanya menggelengkan kepalanya. "Aku gak tahu, Kak."
"Ya udahlah, aku mau tidur lagi mau lanjut mimpiin Pak Aslan, guru baru di sekolah yang ganteng pol gak ketulungan." Ayla kembali melempar tubuhnya ke atas ranjang.
Airin menyusulnya naik ke atas ranjang dan menggoyang tubuh kakaknya. "Kak, kok tidur. Temani aku."
"Aduh, Airin. Kalau mau tidur, tidur aja di samping aku." Ayla yang sudah dalam posisi tengkurap tidak melihat lagi Airin yang masih ketakutan.
Airin hanya memeluk boneka milik kakaknya. Bisikan-bisikan itu seolah terdengar nyata di telinganya lagi.
"Airin, kenapa kamu di sini? Tadi Bunda dengar kamu ribut sama Kakak kamu."
"Bunda..." Seketika Airin turun dari ranjang dan memeluk Bundanya. "Bunda, Airin takut."
"Takut apa?" tanya Bunda Rili sambil mengusap rambut panjang Airin.
Ayla yang setengah tertidur itu kini menyahut pertanyaan Bundanya. "Indihome Airin kambuh, Bun."
"Indihome?"
"Eh, maksudnya indigo." Ayla memejamkan matanya lagi sambil memeluk bonekanya.
Bunda Rili kini menatap Airin. Wajah Airin memang terlihat pucat dan ketakutan. "Ada apa? Ayo, kembali ke kamar. Kalau mau, Airin bisa cerita sama Bunda."
Airin menganggukkan kepalanya.
"Ayla, bangun sekarang! Cepat mandi. Kalau tidur lagi nanti kesiangan. Kamu udah kelas 12 sekarang. Bantu Bunda di dapur. Masa' sampai sekarang yang nyiapin bekal masih saja Ayah."
Ayla berdengus kesal. "Iya, Bun. Ih, kalau Airin aja di sayang-sayang terus. Nanti Ayla mau daftar ke indihome juga biar di sayang-sayang."
Bunda Rili hanya menggelengkan kepalanya sambil menuntun Airin berjalan menuju kamarnya.
Tingkah kedua putrinya sejak kecil memang sangat berbeda. Ayla jauh lebih aktif, aktif dalam segala hal, dari tingkah dan bicaranya. Gen kedua orang tuanya bersatu di Ayla. Sedangkan Airin, sejak kecil dia memang pendiam dan penurut, itu sebabnya Airin jarang dimarahi oleh kedua orang tuanya. Meskipun mereka hanya berjarak satu tahun mereka tidak sekolah di satu sekolah yang sama.
Airin masih kelas sebelas, di salah satu sekolah favorit dan elit. Sedangkan Ayla, dia sudah kelas dua belas, di sekolah lain yang berjauhan dengan sekolah Airin.
Airin kini duduk di sebelah Bundanya sambil menundukkan pandangannya.
"Airin kenapa? Ayo, cerita sama Bunda."
"Tadi Airin mimpi buruk, Bun. Airin mimpiin Della bunuh diri dari atap sekolah."
"Mungkin itu hanya mimpi."
"Tadi waktu Airin bangun, Airin baca pesan dari Della. Dia minta tolong sama Airin dan posisinya berada di sekolah semalam tepat jam 12 malam."
Bunda Rili mengernyitkan dahinya sambil mendengar cerita Airin. Dia merengkuh tubuh Airin dan mengusap lengannya.
"Lalu tadi ada foto Airin, Della, dan Melodi yang tiba-tiba masuk dalam chat. Wajah Della terlihat hitam putih dan buram. Tapi setelah hp Airin jatuh, tiba-tiba foto itu hilang. Lalu ada sebuah bisikan yang jelas banget di telinga Airin, suara Della yang minta tolong."
Bunda Rili kini menatap Airin. Benarkah mata batin Airin kembali terbuka. Dia berusaha menepis pikiran buruk itu. Ya, mungkin saja itu hanya kebetulan.
"Mungkin itu hanya kebetulan. Nanti kamu tanya sama Della di sekolah. Sekarang kamu mandi, agar tubuh kamu segar dan mimpi buruk itu segera terlupakan."
"Iya, Bun." Airin kini berdiri dan mengambil handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah itu Rili turun dan menuju dapur untuk melanjutkan masakannya. Sebenarnya dia masih takut, mata batin itu benar-benar terbuka. Jika Airin berurusan lagi dengan makhluk tak kasat mata itu, hidupnya tidak akan tenang.
"Sayang, kok melamun?" tanya Alvin. Dia mengambil alih pisau yang dipegang Rili lalu melanjutkan cincangannya.
"Mas, barusan Airin mimpi buruk, dia juga bilang ada bisikan di dekat telinganya."
Seketika Alvin menghentikan gerak tangannya.
"Mas, aku takut mata batin Airin terbuka lagi. Sedangkan kakek buyutnya sudah tidak ada, bagaimana cara menutupnya kalau memang itu terjadi. Aku gak mau hal buruk terjadi pada Airin."
"Sssttt, mungkin itu hanya mimpi buruk Airin saja. Jangan terlalu khawatir. Semoga tidak terjadi apa-apa." Kemudian Alvin melanjutkan gerak tangannya mencincang duo bawang itu. Meski dalam hatinya dia juga khawatir hal-hal buruk yang penuh misteri itu terjadi pada Airin.
💕💕💕
.
Karya baru telah rilis. Jangan lupa jadikan favorit dan rate ⭐⭐⭐⭐⭐.
.
Di sini cerita Airin, adiknya Ayla, anaknya Rili dan Alvin. Sequel dari novel Rili dan Sebuah Penantian.
.
Yang nungguin novelnya Ayla, sabar dulu yak, 🤭 Author sengaja buat genre horor karena sebentar lagi puasa biar gak ada anunya..
.
Makasih yang selalu setia dengan author receh ini..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Azizah az
hadir disini kk, sambil nungguin yg kamar sebelah up 👍👍
2024-03-05
0
ㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ نَيْ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅😻
permisi numpang lewat kak🤣🏃♀️
2023-11-16
0
vivian wu
hadirrrr
2023-07-24
2