*Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua Malaikat yang turun dan berdoa, "Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak." Malaikat yang lain berdoa, "Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah." (HR Bukhari dan Muslim*.)
"Apa kamu yang udah nampar dia?"
"Iya Pak," jawabku santai dengan tersenyum.
"Kenapa?" tanya guru BK memajukan wajahnya ke arahku.
"Karena ... cewek tadi gak bisa nampar dia, jadi saya yang ngewakili Pak."
"Ha?"
"Dia ini cewek gila Pak, sok tau banget apa yang dipikirin orang lain. Kok bisa sih sekolah ini nerima murid gila."
Aku melihat ke arahnya, "Gue lebih heran, kok bisa sekolah ini nerima cowok brengsek dan pecundang kayak lu! Taunya cuma menindas yang lemah aja!"
"Cukup!" bentak guru BK dan membuat aku akhirnya terdiam, "Nazwa! Kamu gak ada bosennya buat masalah, ya!"
Kudorong bangku yang kududuki, "Salahkan aja saya atas semuanya Pak, buatkan surat pemberhentian saya. Saya tunggu!" Aku keluar dari ruangan tanpa mendengarkan panggilan-panggilan dari guru BK tadi.
Jika dia sudah men-cap aku buruk, lalu untuk apa aku menjelaskan? Lebih baik, langsung dia kasih saja hukuman ke aku tanpa bertanya apa pun itu.
Aku tak harus letih menjelaskan juga, "Nih, tas lu. Jangan masuk ke dalam kelas!" kata seorang wanita yang tak kukenal tapi aku tahu bahwa dia adalah salah satu teman sekelasku.
"Guru apa yang masuk?" tanyaku mengambil tas ransel yang disodorkan padaku.
"Kimia."
"Hahahah, oke. Yaudah, makasih. Semangat buat kalian semua," ujarku memberi semangat ke mereka.
Ternyata guru itu masih saja benci padaku, jangankan dia aku pun sama benci juga dengan dirinya.
Berjalan dengan sesekali bersenandung di koridor menuju gerbang sekolah, tak peduli dengan guru yang berpapasan padaku.
"Pak Mansur ... bukain dong," teriakku yang berdiri di gerbang sekolah ke arah pos penjagaan.
"Udah pulang?" tanya Pak Mansur berjalan ke arahku.
"Udah, dong Pak. Ngapain lama-lama 'kan? Sekolah itu gak perlu lama-lama, bosen nanti," ucapku dengan sedikit terkekeh sedangkan Pak Mansur hanya menggelengkan kepalanya saja.
Kepalaku menatap ke arah belakang dan tanpa sengaja melihat sosok laki-laki yang tadi ada juga di ruang BK tengah menatap ke arahku dengan datar.
"Dih, ngapain tuh orang liatin aku?" gumamku, tak lama dia memutuskan pandangan terlebih dahulu dan pergi berlalu.
"Udah, tuh gerbangnya dibuka," papar Pak Mansur yang membuat aku akhirnya mengalihkan pandangan.
"Oh, makasih Pak." Aku segera keluar dan merentangkan tangan seolah baru saja keluar dari tempat yang mengekang diriku.
"Hati-hati Nazwa!" tegur Pak Mansur sebelum aku melangkah pergi dari kawasan sekolah.
"Aman Pak! Makasih, ya, daa ...." Kulambaikan tangan ke arah Pak Mansur dan mulai pergi mengayunkan kaki ke arah jalan raya untuk menunggu transportasi.
"Naik gojek aja kali, ya?" gumamku membuka handphone dan membuka aplikasi hijau milikku. Setelah dapat driver-nya, aku menunggu dengan berjongkok di trotoar jalan karena tak ada bangku halte di sini.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, driver gojek akhirnya datang, "Mau ke mana Dek?" tanya pak ojol karena di aplikasi memang tak kuberi tahu tujuan.
"Bapak udah makan?" tanyaku balik yang membuat pak ojol sedikit kebingungan. Aku bisa melihat hal tersebut dari kaca spion yang satunya lagi karena mengarah ke wajahnya.
"Mmm ... udah Dek, makan kopi tadi."
"Sejak kapan kopi jadi makanan Pak?"
"Eh! Minum kopi sama roti tadi pagi Dek," jawabnya dengan sedikit memperbaiki kata-katanya tadi.
"Yaudah, kita makan siang dulu, yuk Pak. Saya traktir Bapak, tenang gak akan saya kurangi kok uang ojolnya nanti," paparku agar dia tak menolak tawaranku.
Sebenarnya, aku merasa kesepian kalau makan sendirian nanti. Itu sebabnya, lebih baik kuajak saja pak ojol makan bersama-sama.
"Gak usah Dek, Bapak nunggu di parkir aja nanti," tolaknya yang mungkin sungkan.
"Gak papa Pak, kalau Bapak nolak nanti saya kasih bintang satu, lho," kataku mengancam yang sebenarnya hanya pura-pura saja.
"Eh, jangan dong Dek. Yaudah, Bapak ikut makan deh," pasrah Pak ojol. Aku langsung tersenyum dan sepeda motor mengarah ke mall sekarang.
Kami sampai di mall, sepeda motor milik ojol sudah di parkirannya di bagian bawah, "Dek, Bapak malu," ujar Pak ojol yang berjalan dengan malu di belakangku.
Setelah dibuka helm-nya, aku baru bisa melihat dengan jelas wajah Bapak ini. Seperti kisaran 50-an ke atas bisa jadi.
"Gak papa Pak, biasa aja. Gak perlu malu," ujarku dengan tersenyum ramah. Kami masuk ke salah satu restoran yang sering aku datangi.
Kupesankan untukku dan untuk si Bapak langsung karena dia pasti menolak untuk memesan sendiri.
"Dek, boleh fotokan Bapak? Bapak mau tunjukin sama istri Bapak nanti kalo makan di sini," ucap Pak ojol memberikan handphone-nya padaku.
Aku mengangguk dan mengambil handphone tersebut, setelah beberapa gaya dan juga foto kudapatkan. Kuserahkan kembali handphone miliknya.
"Ya, ampun Dek. Ini kayaknya mahal banget, Bapak mie aja juga gak papa padahal," keluhnya yang melihat makanan tersusun di meja kami.
"Udah, gak papa Pak. Makan aja, biar ada semangat buat nyari penumpang lain nantinya," kataku dan mulai memasukkan makanan ke mulut.
Saat sudah akan suapan terakhir, handphone milikku berdering dan dengan cepat kuangkat untuk melihat siapa yang menelpon.
"Hmm," dehemku dengan malas dan memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.
"Pulang sekarang juga!" bentak orang yang ada di sebrang.
"Oke," jawabku singkat dan mematikan panggilan.
Kutatap Pak ojol yang sedang melihat-lihat dalam mall ini, "Pak, sudah siap makannya?"
"Sudah Dek."
Aku mengangguk dan menaikkan satu tangan ke arah pelayan, salah satu pelayan dengan membawa bil harga makanan kami.
Kuserahkan satu lembaran uang berwarna merah untuk membayar dua porsi makanan, satu botol air mineral dan dua jus.
Diberi kembalian dan kami langsung berjalan ke luar mall, memakai helm dan menjauh dari kawasan mall.
"Pak, ke jalan Johor, ya," titahku.
"Oh, Adek tinggal di kompleks-nya?"
"Engga, Pak. Cuma, agak deket sama kompleks Johor itu," jelasku.
Menyerahkan ongkos ojek dan masuk ke dalam rumah, kulihat sudah ada mobil Ibu di halaman rumah ini.
Masuk dengan santai, "Pasti aku akan dimaki lagi," gumamku yang sudah kebal dengan segala sumpah serapah dari mulut Ibu.
Saat kubuka pintu rumah, sudah ada wanita dengan wajah yang begitu mengerikan dan kertas yang ada di tangannya.
Plak!
Satu tamparan begitu keras membuatku hampir terjatuh, kurasa ada yang mengalir dari sudut bibirku.
Kertas tadi di lempar ke wajahku dengan begitu sangat kasar, "Apa kau tak cukup buat aku malu, ha? Apa lagi sekarang, kau dikeluarkan dari sekolah yang aku membantu pembangunan sekolah itu 80%!" teriaknya di depan wajahku.
"Bisahkah sekali saja kau buat aku tak malu? Aku malu dan selalu malu dengan kelakuanmu yang sama sekali tak pernah ada baik-baiknya!
Entah bagaimana anak sampah sepertimu bisa hidup lama di dunia ini. Kenapa kau tak mati saja padahal aku selalu mendoakan agar kau mati.
Aku malu punya anak sepertimu, kau tak pernah sedikit pun buat aku bangga atas prestasi yang kau raih.
Kenapa kau tak bisa seperti anak-anak orang lain? Kenapa kau tak mampu seperti orang lain? Karena kau tolol dan di dalam pikiranmu tak pernah berkeinginan membuat orang tuamu bangga!
Sekarang apa lagi? Apa yang kau perbuat di sekolah hingga mereka mengeluarkanmu? Kau cabut? Melawan? Berkelahi? Sok jagoan? Atau sok pintar sekarang?
Bisahkah kau menghilang dari muka bumi ini? Aku muak melihat wajahmu itu, aku benci melihat wajah yang tak pernah membuatku hidup dengan bahagia!"
Kulihati wajah seorang ibu yang teriak-teriak dari tadi dengan menghina diriku, serendah itu aku ternyata.
Aku baru tahu bahwa dia begitu sangat tak mengharapkan kehadiranku rupanya. Wah ... sangat istimewa sekali aku.
Di saat anak-anak yang lain begitu diharapkan oleh kedua orang tuanya kehadirannya di dunia, aku malah sebaliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Rina Raisya
sabar y nazwa
2023-09-26
0