Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat isi hati manusia dan tidak pula isi perutnya.” (Shahih Al-Bukhari: 4351 dan Muslim: 1064).
Laki-laki yang pipinya merah kubuat ternyata tak diam, ia maju berniat untuk membalas perbuatanku tadi.
Namun, aksinya terhenti karena dihalangi seseorang. Aku menatap laki-laki yang ada di depanku dengan mencengkram pergelangan laki-laki pecundang tadi.
Ia menghempaskan tangan tersebut dengan kasar, "Jangan kasar sama wanita!" tegasnya menatap dingin ke arah laki-laki itu.
Aku segera membantu wanita tadi mengumpulkan buku dan membantu dia bangkit dari lantai.
Sepertinya, dia memang sudah biasa terkena bully. Terlihat dari pakaian yang ia kenakan seperti wanita culun.
Laki-laki tadi pergi melongos dengan menguasap pipinya yang mungkin masih terasa perih akibat ulahku.
"Makasih, ya, Bang Farhan dan ...," jedanya menatap ke arahku yang tak mengenali namaku.
"Sama-sama," potongku dan langsung pergi dari hadapan mereka tak berniat memberi tahu siapa namaku.
***
Farhan menatap punggung Nazwa yang mengarah ke kantin, tanpa sadar bibirnya terangkat sedikit melihat wanita tersebut.
Ia pun pergi dari koridor tadi menuju lapangan basket di mana teman-temannya sudah menunggu.
"Tadi katanya cuma mau beli minum doang, minum kagak dibeli datangnya lama banget!" gerutu temen Farhan melihat kehadiran laki-laki tersebut yang begitu lama.
"Sorry, ada kendala tadi," ungkap Farhan dan mulai latihan untuk bertanding basket.
'Aku kira, dia tipe wanita yang tak peduli dengan sesama. Ternyata, aku salah. Bagaimana pun ia, tetap saja peduli sama yang lemah. Huft ... sebaiknya aku tetap menjalankan perintah dari Buk Wati tadi deh. Bagaimana pun, ia tak terlalu buruk,' batin Farhan sambil fokus ke baksetnya.
Sorak ramai terdengar dari tempat duduk penonton, tentu saja akan banyak wanita-wanita yang caper pada mereka.
Sebenarnya, sudah lama Buk Wati meminta Farhan untuk menjadi guru private Nazwa. Namun, karena dia belum tahu soal Nazwa.
Tentu saja dirinya menolak, tapi akibat selalu di desak oleh Buk Wati setiap saat dan membuat Farhan risih.
Ia berkata ingin melihat wanita yang ingin diajari terlebih dahulu, jika masih ada sisi baiknya dan bisa diatur.
Maka, dia setuju dan mau. Akan tetapi, jika sudah tak ada kedua sisi tersebut dengan berat hati Farhan menolak membantu.
Farhan pun beberapa hari ini mengikuti dan memantau Nazwa tanpa diketahui oleh Sang empu.
"Yeee ...!" teriak pihak lawan yang merasa menang. Farhan yang sedang melamun akhirnya tersadar.
"Woy Farhan! Lu kenapa, sih? Kalah 'kan jadinya!" geram teman Farhan dengan memukul bahu Farhan.
"Lanjut deh kalian, gue mau istirahat aja!" kata Farhan menepuk pelan bahu temannya dan berjalan ke arah pinggiran lapangan basket.
Seketika banyak wanita-wanita yang berteriak karena melihat Farhan, "Farhan, kamu mau minum? Ini, minum punya aku aja," ucap seorang wanita sambil menyodorkan botol air minum dari jaring.
"Gak usah, thanks," jawab Farhan dengan dingin.
Dia mengedarkan pandangan dan menangkap sosok yang tengah mengunyah makanan dan duduk di bangku taman.
Farhan bangkit dan berjalan ke luar lapangan basket menuju taman yang ada wanita tersebut. Ia jatuhkan bobotnya dan seketika membuat orang yang lebih dulu di situ melirik ke arah dirinya sekilas.
***
"Nanti tunggu gue pulang, kita pulang sama-sama. Gue gak tau alamat rumah lu," celetuk orang yang ada di sampingku.
Aku diam dengan terus memasukkan roti ke dalam mulut sambil menatap ke arah depan, kami duduk tak terlalu dekat. Bisa muat satu orang lagi bahkan.
"Apa kau tuli?" tanyanya kembali sebab tak kujawab ucapannya.
"Hey!"
"Bisakah kau menjauh dariku? Jangan urus hidupku dan jangan sok jadi pahlawan!" geramku dan melempar roti yang masih ada sisa meskipun sedikit lagi.
Aku berdiri berniat ingin pergi, "Dan satu hal lagi! Kau tak punya kewajiban apa pun untuk membantuku termasuk membantu dalam hal agar aku naik kelas. Itu bukan urusanmu aku tinggal atau naik kelas!" sambungku.
"Ini! Sebagai balas budi, aku tak sudi punya hutang padamu!" Kuletakkan botol air minum yang kubeli di kantin tadi ke pangkuannya.
Karena wajahnya penuh dengan keringat kulihat, bisa jadi dia kehausan dan letih akibat selesai latihan bakset.
Aku tak terlalu mengenal dia, hanya saja kedua mantan temanku dulu terobsesi padanya. Mereka pasti akan selalu bercerita tentang sosok laki-laki tersebut. Farhan, itu namanya.
Suara handphone berdering saat langkahku sudah hampir sampai di kelas, "Hmm ... apa?" tanyaku menjawab dengan malas dan kembali berjalan ke kelas.
"Ibu dapat laporan kalau kamu terus begini di semester dua maka akan tinggal kelas, di mana wajah Ibu kalau teman-teman arisan Ibu tau kalo anaknya tinggal kelas?" tanya wanita dari sebrang mungkin dengan amarah yang tertahan.
"Tinggal jawab bahwa aku bukan anak Ibu, apa susahnya? Aku tak masalah sama sekali," jawabku santai dan menjatuhkan bobot di bangku.
"Kau ini! Apa kau sudah gila, ha? Jangan bertingkah semau kau saja!" hardik Ibu yang sudah tak sabar ternyata.
"Ya, bukan hanya gila. Bahkan, aku ingin mati Bu. Ingin mati!" tegasku setengah berteriak. Beruntung kelas masih sunyi.
"Nazwa, dipanggil ke ruangan BK!" kata seseorang yang berada di ambang pintu.
"Kenapa lagi sekarang?" tanya Ibu dari sebrang yang ternyata mendengar ucapan siswi ini.
"Bukan urusan Ibu!" terangku dan mematikan panggilan begitu saja.
Siswi tadi sudah berlalu pergi dari depan kelasku, aku berjalan ke ruang BK dengan papasan murid-murid yang menatapku dengan tatapan aneh.
"Apa ada hal yang aneh di wajahku? Bahkan, wajahku lebih cantik darimu! Wajahmu lebih aneh dibanding wajahku, seharusnya kau banyak-banyak melihat wajahmu itu!" caciku dengan langkah kaki yang berhenti menatap ke arah wanita yang seketika ikut berhenti juga akibat cacianku padanya.
Dia tak menjawab, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang BK. Seburuk inikah aku ternyata di sekolah sialan ini?
Semua orang seolah mengenalku dan sok tahu tentangku, tapi tak satu pun kutahu tentang mereka.
Kuketuk pintu yang sebenarnya terbuka, seketika ketiga laki-laki yang ada di dalam menatap ke arahku.
Wajah-wajah yang tak asing terlihat, aku berdecih dan mengangkat satu bibirku merasa jijik dengan satu wajah laki-laki yang ada di dalam.
"Masuk Nazwa!" titah guru BK dan aku langsung masuk ke dalamnya. Sebelum disuruh duduk, aku sudah duduk dengan menaikkan satu kaki ke kaki lainnya.
"Lapor apa laki-laki brengsek itu sama Bapak?" tanyaku menatap ke arah guru BK dan melirik ke arah laki-laki itu.
"Jaga sikap kamu Nazwa!" tegas guru BK dengan nada naik satu oktaf. Mungkin, jika siswi lain pasti sudah menangis atau kaget dengan suara guru BK-ku ini.
Namun, ini aku. Anak yang setiap jeritan hatinya tak pernah di dengar, anak maunya yang tak pernah dituruti dan kabarnya tak pernah ditanya.
Kuhela napas kasar dan menyandarkan punggung ke kursi, "Baiklah, maaf Pak," imbuhku menatap ke arah guru BK dengan terpaksa tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments