"*Tutur kata yang baik adalah sedekah." (HR. Ahmad. 2/316*)
Upacara mendera dimulai, aku sudah menguap dari tadi dan menyipitkan mata karena merasa silau akibat matahari pagi.
Satu per satu siswi yang mungkin tak sarapan atau bahkan memang sengaja menghindari upacara pun berpingsanan.
Para osis sibuk mengangkati dan menggotong para murid yang berjatukan, tanpa sengaja sorot mataku menangkap seseorang yang memperhatikanku.
Begitu aku menatapnya, ia dengan segera membuang pandangannya ke arah lain, "Kenapa sih tuh orang?" gumamku memutar bola mata malas.
Setelah hampir dua jam lamanya upacara dengan drama lampu yang mati juga razia yang tiba-tiba terjadi.
Kujatuhkan bobot tubuh ini di bangku sambil mengibaskan tangan di wajah agar keringat yang bercucuran di wajah segera menghilang.
"Atas nama Nazwa Nabila, dipanggil ke ruang kepala sekolah!" kata seseorang yang sepertinya disuruh oleh Buk Wati memanggilku.
Aku bangkit dan membuang napas kasar, baru saja duduk sudah dipanggil entah untuk apa lagi ke ruangannya.
"Mau ke mana kamu Nazwa?" tegur guru yang akan masuk mengajar di kelasku.
"Dipanggil sama Buk Wati, Bu. Ibu mau ikut biar percaya sama saya?" tanyaku menatap ke arah guru tersebut.
"Kamu jangan kurang ajar, ya!" hardiknya dengan menunjuk ke wajahku.
"Saya hanya bertanya, apa itu masuk ke dalam hal kurang ajar? Apakah tidak boleh bertanya pada ibu?" tanyaku kembali membuat wanita di depanku ini mengepalkan tangan dan berlalu begitu saja.
Kunaikkan bahu acuh dan kembali berjalan ke arah ruangan Buk Wati, kulihat ada punggung laki-laki yang tengah berbicara pada Buk Wati.
"Masuk Nazwa!" titah Buk Wati tersenyum padaku. Pasti karena ada laki-laki itu mangkanya Buk Wati tersenyum.
Biasanya, dia bahkan sangat enggan menatapku jika bukan karena Ibu membantu sekolah ini. Aku berjalan masuk ke dalam dan berdiri di samping laki-laki yang masih duduk dan menatap lurus.
Kutautkan alis kala melihat siapa yang ada di depan Buk Wati dan berada di sebelahku, 'Ngapain dia di sini?' batinku dan menatap ke arah Buk Wati.
"Duduk Nazwa!" perintah Buk Wati dan langsung membuat aku duduk di bangku samping orang tersebut.
"Ini adalah Farhan, dia anak kelas 12 A dan termasuk anak murid yang cerdas juga berprestasi dari kelas 10," ungkap Buk Wati menjelaskan sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.
Ia hanya mengangguk dan tersenyum sambil tetap menatap ke arah Buk Wati, hal tersebut membuat aku muak.
"Terus, kenapa Buk?" tanyaku yang malas basa-basi. Mengingat bahwa guru juga sudah masuk ke dalam kelasku tadi.
Pasti, aku akan ketinggalan pelajaran dan pembahasan kembali. Padahal, aku sudah disuruh untuk tak bolos tadi pagi oleh Buk Wati sendiri.
"Dia, akan menjadi guru les private kamu di rumah nantinya. Setiap hari dia akan datang ke rumah kamu bukan di sekolah, karena mengingat bahwa di sekolah waktunya terlalu minim."
"Ibu yang nyuruh ini?" tanyaku menatap dengan serius.
"Ya. Saya yang mengajukan hal ini, daripada kamu harus tinggal kelas kenapa tidak 'kan? Lebih baik kamu belajar dan membuat orang tua kamu bangga."
Aku berdecih, membuang pandangan dengan senyum menyungging dan kembali menatap ke arah Buk Wati.
"Bangga? Bangga kata Ibu? Bahkan, mereka tak akan pernah peduli pada saya sekali pun saya mati! Jadi, gak usah terlalu urusin hidup saya Buk. Kalau emang harus tinggal, buat saja tinggal Buk. Bahkan, saya sudah bilang. Berhentikan saya dari sekolah ini saja sekalian!" tegasku berdiri dan meninggalkan ruangan ini.
Ingin bolos pun rasanya tak mungkin, dompet, handphone dan tasku ada di dalam kelas yang masih ada guru di dalamnya.
Mau tak mau, aku kembali ke dalam kelas dengan hati yang sebenarnya malas. Menekuk wajah dan duduk di samping wanita yang sudah menulis dengan menunduk.
"Sudah siap Nazwa urusannya?" tanya guru dengan aku yang sibuk mengeluarkan buku dari dalam tas.
"Hmm," dehemku dan menatap malas ke arah guru yang juga mendatarkan wajahnya padaku.
"Tulis yang di papan tulis juga kerjakan halaman 100 dari satu sampai dengan lima!" titahnya tak ada senyum-senyumnya.
Segera mencatat meskipun aku pun tak tahu bagaimana bisa hasilnya dapat segitu sedangkan aku tak melihat dirinya saat menjelaskan.
Jika kusuruh atau meminta agar dijelaskan sekali lagi yang ada aku dimarahi abis-abisan nanti oleh guruku sendiri.
Jadi, ada baiknya sok pintar saja. Berlagak seolah paham dan mengerti dengan apa yang ada di depan ini.
Suara pergantian guru terdengar, "Baik, itu tugas dan dikumpulkan besok ketika saya masuk di jam ke empat."
Aku hanya diam dan kembali menulis soal yang belum selesai, saat dirinya sudah tak lagi ada segera membuka handphone dan mencari jawaban-jawaban dari soal tersebut di internet.
Kulirik orang yang ada di sampingku, ia tengah mencuri-curi pandang jawaban yang telah kutulis, "Kenapa? Salah?!" tanyaku ngegas dengan memukul meja.
Ia langsung menunduk dan menggelengkan kepalanya, "T-tidak, aku juga gak tau jawabannya, kok," lirihnya dengan terbata-bata.
Tak kuhiraukan dan kembali menulis jawaban yang kudapat, setelah selesai kembali menutup peajaran ini dan membuka pelajaran selanjutnya.
***
Suara istirahat di jam pertama telah berbunyi, "Tas kamu Bapak bawa dan akan bapak berikan lagi nanti pas jam pelajaran sudah mulai kembali!" tegas guru IPA saat aku hendak keluar sambil membawa tas.
"Lah, Pak! Sejak kapan ada peraturan seperti itu? Terserah murid dong mau bawa tas atau tidak saat istirahat?" debatku dengan mendongak seolah menantang guruku.
"Terserah kamu, kalau kamu tidak suka. Mengadu atau demo sekalian sana!" titah Bapak guru dengan membawa tasku begitu saja keluar dari kelas.
Aku mendengus kesal, yang diberi hanya handphone dan uang 20ribu saja. Padahal, seharusnya sama dompet-dompetnya agar aku tetap bisa bolos.
Berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki juga mencaci serta mengumpat guru-guru yang ada di sekolah ini.
Mataku menangkap seseorang yang baru saja bertabrakan dan membuat wanita itu terjatuh juga buku-buku yang di pegangnya.
Sedangkan laki-laki yang menabrak hanya tertawa dengan berkacak pinggang menunjuk ke arah wanita yang tengah menyusuni buku-bukunya.
Berjalan ke arah mereka dengan tatapan kebencian pada laki-laki tersebut.
Plak!
Satu tamparan kuhadiahi pada laki-laki tersebut dan membuat orang yang tadi lalu-lalang acuh juga yang duduk di bangku koridor menatap ke arah kami.
Laki-laki itu memasang wajah marah atau bahkan murkanya, "Siapa kau? Apa hakmu menamparku?" tanyanya dan mendorongku kasar bahkan hampir membuat aku terjatuh.
"Hakku? Bukan hakku sebenarnya, tapi aku hanya menyalurkan keinginan dari wanita yang kau tabrak barusan bukannya kau bantu dan minta maaf malah tertawa layaknya seorang pecundang!" hinaku menatap dingin ke arahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Ni sya ♡
Nazwa kok nyebelin sih😭
2023-03-08
0