Mencoba Bolos

*Apakah adab kepada seorang guru? Salah satunya adalah menghormati hak guru. Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengerti hak ulama kami.” (HR. Al-Bazzar 2718, Ahmad 5/323, lafadz milik Al-Bazzar. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117) Juga, merendahkan diri di hadapan guru, "Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkirah Sami’ hal. 88*)

Pukul 6 lewat 30 menit akhirnya aku baru turun dari kamar dengan tas ransel yang sudah ada di punggung.

Menuju meja makan yang ada di dapur dan hanya ada aku sendirian di situ, tak lama supir pribadi yang memang selalu mengantar ke sekolah datang dengan berlari kecil.

"Non, sepulang sekolah nanti. Kita ke pengadilan agama, ya, disuruh sama Nyonya," kata supir pribadi memberi tahu 'kan aku.

"Hmm," dehemku sambil memasukkan roti yang berselai cokelat ke dalam mulut. Minum susu putih yang memang akan selalu disiapkan di pagi hari.

Aku pergi berjalan ke arah mobil yang sudah pasti berada di depan teras mobil, Pak supir berjalan di depanku agar nantinya bisa membukakan pintu mobil.

Tak pernah menyuruh mereka agar melakukan ini semua. Namun, mereka berkata bahwa ini adalah perintah dari Ibu.

"Apakah nanti di sana juga ada Abang?" tanyaku memecah keheningan di dalam mobil menuju sekolahku.

"Iya, Non. Akan ada Tuan Gilang nanti di sana," jawab Pak supir sambil melirik wajahku dari kaca spion.

"Kenapa tak mat* saja laki-laki itu," gumamku yang sama sekali tak menyukainya meskipun dia adalah saudara kandungku satu-satunya.

Aku hanya terlahir dengan dua saudara dan satu lagi memilih untuk tinggal di kontrakan bersama teman-temannya.

Ia tak pernah mengakui aku adiknya, entah apa sebabnya bahkan untuk sekadar tegur sapa saja kami tak pernah.

Seolah ada penghalang yang begitu tinggi membuat jarak kami sangat jauh, aku pun tak pernah berniat untuk memulai bicara dengannya.

Bahkan, nomor handphone dan berteman di sosial media saja kami tidak. Sungguh ... entah bagaimana definisi keluarga tersebut.

Aku sama sekali tak mengetahuinya karena keluargaku saja rasanya tak pantas mendapatkan gelar, 'keluarga'

"Nazwa Nabila!" teriak suara wanita yang tak asing di telingaku. Aku langsung membalikkan badan dan menaikkan satu alisku.

"Ke ruangan saya sekarang!" perintahnya dengan wajah garang. Aku sama sekali tak takut lagi dengan wajah-wajah mereka.

Bahkan, ketika melihat wajah murka dan amarah Ibu juga Ayah saja aku sudah tak merasakan takut lagi.

"Ada apa Buk?" tanyaku menatapnya yang sedang duduk sambil menopang dagunya.

"Apa kau tak melihat ada bangku di depan saya? Kenapa kau tak duduk?" Aku akhirnya duduk di depan bangku kepala sekolah.

Bukan lagi BK atau guru-guru yang menangani persoalan diriku, tapi sudah sampai ke tangan kepala sekolah yang memang seorang perempuan di sekolah ini.

"Kau baru kelas dua Nazwa, apakah kau ingin tinggal kelas? Kenapa nilaimu hancur di semua pelajaran, tak ada satu pun yang baik. Kenapa kau bolos setiap jam pelajaran!"

"Mereka bilang kalau saya tidak menyukai mereka, lebih baik keluar saat mata pelajaran mereka Buk," jawabku jujur menatap wajah datarnya itu.

"Kenapa kau tak suka dengan semua guru?" tanyanya kali ini sambil menaikkan satu alis seolah begitu ingin tahu apa sebabnya.

"Karena ucapan mereka itu, apakah pantas seorang guru memiliki ucapan seperti itu? Seharusnya, ia berucap lebih baik bukan malah menyuruh murid yang tak suka padanya untuk keluar dari kelas."

Kepala sekolah di depanku tampak bingung dengan apa yang kuucapkan, apa dia tak mengerti dengan maksudku?

Ah ... sudahlah! Memang tak akan ada yang paham dengan jalan pikiranku ini sekali pun itu orang tuaku.

"Sudah-sudah!" tegasnya sambil menghalau pikiran yang ada di otaknya sepertinya, "Ibu gak mau tau, mulai sekarang kamu harus rajin ikut kelas guru mana pun itu! Jangan ada lagi bolos atau kamu tidak akan naik kelas!"

"Baik, Bu," sahutku cepat.

"Ibu serius Nazwa! Kamu jangan iya-iya aja tapi endingnya nanti tetap kembali bolos!"

"Ya, saya gak janji tapi saya akan berusaha untuk menepati Buk."

"Huftt ... ini semua demi kebaikan kamu Nazwa!" Helaan napas terdengar berat dari bibir kepala sekolah, ia mengalihkan pandangan dan menatap ke arah yang lain.

Aku membenarkan tali tas ranselku yang kurasa sedikit melorot, "Udah gak ada yang mau Ibu sampaikan?" tanyaku yang mulai risih dan muak.

"Ya, sudah. Itu saja, ingat kata saya!"

Bangkit dan menatap ke arah kepala sekolah sebelum aku benar-benar keluar dari sini, "Kalau Ibu udah gak kuat dengan murid seperti saya, buat aja surat pemberhentian untuk saya Buk. Tak perlu pedulikan bantuan Ibu saya pada sekolah ini, saya tidak akan menyangkut pautkan antara hal itu. Saya permisi, Buk!" pamitku dan pergi dari ruangan ini.

Mood-ku seketika hancur, sepagi ini sudah ada saja masalah yang silih berganti datang. Entahlah, aku benar-benar muak.

'Oh, iya, siapa yang membawaku pulang tadi malam dari barr, ya?' batinku dengan menautkan alis bingung.

Berjalan menuju kelasku, di sepanjang koridor beberapa pasang mata melihat ke arahku tapi tak kuhiraukan.

Bukan hal yang baru bagiku seperti ini, tak ada masalahnya juga. Memang, orang-orang akan selalu melihat kita, bukan? Karena, mereka punya mata.

Masuk ke dalam kelas dan menghempaskan tas dengan kasar di atas meja, kurapikan sedikit kerudung yang sudah entah bagaimana bentuknya ini.

Setiap kali ada rajia rambut bagi wanita, aku pasti akan selalu kena hukuman karena rambut berwarna milikku yang selalu terlihat.

Apa saja hukuman yang ada di sekolah ini sudah aku rasakan, bukan inginku seperti ini tapi karena memang aku tak tahu bagaimana lagi caranya agar membuat Ibu dan Ayah juga Abangku peduli pada diri ini.

"Nazwa-nazwa!" pekik teman wanitaku yang baru datang dengan ngos-ngosan.

Tak sama sekali netraku berpindah dari benda pipih yang sekarang tengah kutatap.

"Maaf, Nazwa. Kami gak bisa temenin lo tadi malam, soalnya kami udah gak dibolehin lagi temenan sama lo," ungkap salah satu temanku yang membuat aku akhirnya mendongak.

"Baguslah, memang tak ada gunanya berteman denganku!" tegasku menatap dingin ke arahnya.

Entah karena takut akan tatapanku ini, mereka akhirnya pergi dari meja yang ada di bagian depan ke meja mereka sendiri.

Saat akan keluar dari kelas dengan membawa ransel di punggung, suara tanda bahwa upacara akan dimulai terdengar.

"Nazwa! Baris dan jangan kabur apalagi berniat bolos!" tegas guru BK yang mendapati aku saat hendak keluar.

"Baik Pak," jawabku dengan malas dan meletakkan kembali tas punggung.

Kulirik sekilas ke arah mantan temanku itu, mereka menunduk dan merasa takut akan tatapanku ini.

Padahal, aku tak pernah memukul apalagi melakukan hal-hal yang kasar pada mereka. Kenapa mereka sampai setakut itu padaku?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!