Tuhan, Terima Taubatku
*Apakah suami yang mengucapkan talak dalam keadaam marah dianggap sah? Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah sah. Maka, hati-hatilah para suami dalam berucap ketika marah*. ^^
"Yaudah kalau gitu, mulai detik ini aku talak 3 kau!" teriak Ayah menatap nyalang ke arah Ibu.
"Oke, aku gak masalah. Mau kau talak 4 dan 5 sekalipun aku tak masalah, surat pengadilan akan kuurus besok dan siap-siaplah bangkrut!" debat Ibu tersenyum sinis ke arah Ayah.
"Hahaha, bangkrut? Apa kau semiskin itu sampai berharap harta gono-gini padaku?"
"Oh, tentu saja tidak. Membeli harga dirimu pun aku mampu! Hanya aku tak terima pengabdian sebagai istrimu dulu yang begitu tulus di manfaatkan oleh wanita murahanmu itu!" tutur Ibu menyebut wanita yang memang menjadi biang segalanya.
"Wanita murahan? Apa kau tak punya kaca? Berkacalah, liat siapa yang murahan. Kau atau dirinya," murka Ayah dengan menunjuk wajah Ibu.
Rahangnya mengeras dan tatapan penuh kebencian dia perlihatkan ke arah Ibu, sedangkan Ibu hanya tersenyum remeh tanpa ada rasa takut sedikit pun padanya.
"Aku? Apakah aku yang membantu kawajibanmu kau katakan murahan? Hahaha, sudahlah! Aku tak punya banyak waktu meladeni laki-laki modelan sepertimu. Secepatnya pengacaraku akan mengirimkan surat pengadilan padamu!" potong Ibu dan berlalu pergi meninggalkan Ayah di ruang keluarga.
Ayah tampak belum puas mengeluarkan emosinya, ia menjatuhkan vas yang ada di ruang keluarga hingga tak berbentuk lagi.
Tak hanya itu, dia juga menghempaskan dengan kasar bingkai-bingkai yang tersusun di meja hias ruangan itu.
Aku yang dari tadi melihat perdebatan mereka dari ambang pintu dan sedikit bersembunyi di gorden akhirnya menghampiri Ayah.
Prang!
Prang!
Prang!
Gedebum!
Semua bingkai foto dan figuran yang begitu besar terpampang kami berempat kupecahkan ke lantai begitu saja.
Ayah yang tak menyadari kebaradanku seketika menatap ke arahku yang masih sibuk dengan aktivitas ini.
Setelah merasa sesak sedikit menghilang, kutatap dia dengan kebencian dan meninggalkan tempat yang sudah seperti kapal pecah itu begitu saja.
Berlari menaiki anak tangga dan menghapus jejak air mata.
"Arg ...!" teriak Ayah yang membuat aku berhenti di salah satu anak tangga melihat ke arahnya. Dijambak kuat olehnya rambut hitam tak terlalu panjang tersebut.
Aku kembali berlari menaiki anak tangga, menutup dengan keras pintu dan menguncinya. Merosot di balik pintu dengan sesegukan.
Suara mesin mobil terdengar, aku bangkit dan mendekat ke jendela melihat mobil siapa yang pergi.
Ayah ... akhirnya pergi dari rumah ini setelah Ibu pergi lebih dulu. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.
Kubuang benda-benda yang ada di meja belajar dan membuat kamar yang rapi kembali berantakan.
"Aku benci keluargaku, aku tak ingin hidup dari keluarga sial*n seperti ini!" teriakku dengan begitu kencang agar ada yang mendengar keluhanku.
Namun, itu hanya haluanku semata. Tak akan ada yang bisa mendengar kecuali kedua pembantu, tukang kebun dan supir saja palingan.
Itu pun, mereka tak akan pernah ingin membujuk atau bertemu denganku jika sudah seperti ini. Mereka akan membiarkan aku sendiri berhari-hari.
Kubuka lemari dan menghapus air mata yang tak berguna ini, "Aku benci air mata yang menunjukkan seolah aku lemah!" makiku menghapus air mata dengan kasar.
Memakai celana jens yang robek-robek, baju dengan legan pendek tak lupa jaket kulit. Rambut kubiarkan terurai dan mengoleskan make-up seadanya.
"Hy, Guys! Yuk, party! Gue tunggu di tempat biasa," ucapku menelpon salah satu teman satu geng-ku.
Kuambil kunci moge hitam milikku, malam semakin larut. Angin dan langit yang sedikit terang tanpa bintang juga bulan tak menyurutkan keinginanku untuk mencari hiburan.
Kata orang, penyesalan akan terjadi di akhir. Namun, aku tak peduli akan hal itu. Buktinya, penyesalan datang di awal.
Aku menyesal telah dilahirkan dari keluarga yang kubenci seperti saat ini, memiliki seorang Abang nyatanya tak membuat aku bahagia atau dijaga.
Dia malah acuh dan terkesan tak peduli denganku juga dengan keluarga ini. Apa pantas sekarang kusebut, 'keluarga?' sepertinya sudah tidak.
Motor gede milikku telah sampai di salah satu tempat terlarang, aroma-aroma menyengat yang bisa memabukkan tercium menggoda di hidungku.
Musik-musikan yang seketika membuat aku lupa dengan apa yang baru saja terjadi di rumah beberapa waktu yang lalu.
Aku duduk, di bangku yang telah disediakan pihak barr. Di sini begitu banyak wanita-wanita muda atau bahkan yang masih di bawahku menjadi pelayan para laki-laki hidung belang.
"Hay, Sayang. Sendirian aja, nih?" tanya seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah tak ada satu helai pun di kepalanya.
"Jangan ganggu aku, aku bukan wanita bayaran!" tegasku menatap tajam laki-laki yang tanpa se-izinku duduk di samping.
"Jadi, kau wanita yang sukarela dibayar? Atau, gratisan? Aku mau, sepertinya kau masih perawan. Benarkah yang kubilang?" tanya kembali dengan senyum menjijikkan.
Ingin sekali kupukul dia saat ini juga, tapi keadaanku yang kacau membuat aku malas untuk berlawanan dengan siapapun.
Kubawa botol minumanku tadi dan berniat beranjak pergi dengan wajah yang kutampilkan dengan datar tanpa senyum sedikit pun.
"Eh, tunggu dong Sayang. Kamu kok sok jual mahal banget, sih?" Dia menahan lenganku, aku menatap tajam ke arah tangannya itu.
"Lepasin tangan lo sekarang juga!" teriakku di wajahnya.
Ia langsung melepaskan dan mengangkat kedua tangannya takut, aku langsung berjalan ke bangku yang lain.
Tatapan beberapa orang tak kupedulikan, sisa sedikit lagi minumanku akan habis tapi teman-temanku tak juga datang ke sini.
"Sial*n, ke mana mereka? Apa mereka juga sekarang enggan berteman denganku? Baiklah, aku juga tak butuh para penjilat seperti mereka!" hardikku yang sekarang dipenuhi kebencian pada kedua teman sekolahku itu.
Entah sampai jam berapa aku berada di barr, ketika mataku terbuka sudah berada di dalam kamar yang tak kuinginkan.
Bukan karena keinginan diri sendiri bangun, tapi suara alarm yang sepertinya dipasang oleh pembantuku.
Kusandarkan kepala yang terasa begitu berat seperti ada batu yang menimpanya, kamar sudah rapi padahal sebelum pergi ke barr tadi malam begitu berantakan kubuat.
Prang!
Alarm yang terus saja berbunyi kuhempaskan di lantai agar diam, benar saja setelah kuhempaskan cukup keras ia diam dan mungkin akan rusak. Aku tak peduli sama sekali akan hal itu.
Tok tok tok
"Non, mandi. Air hangat sudah bibi siapkan, non harus banyak-banyak minum air putih biar bau alkohol-nya tidak keciuman sama guru pas sekolah nanti," teriak Bibi dari balik pintuku.
Aku tak menyahuti ucapannya, kembali masuk ke dalam selimut lebih menyenangkan. Siapa dia yang berani mengaturku?
Dia bahkan peduli hanya karena digaji oleh dua manusia yang sebenarnya tak layak dipanggil orang tua.
Tak ada sama sekali sosok ayah pada laki-laki tersebut dan juga sosok seorang ibu di dalam jiwa wanita itu.
Yang ada hanya dua orang egois dan tak peduli pada apa yang dirasakan oleh anak-anaknya. Di dalam benak mereka, harta bisa membuat semua akan baik-baik saja.
Padahal, harta yang malah membuat mereka akhirnya cerai-berai seperti sekarang. Hahaha, sungguh sangat tol*l para budak uang dan dunia itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Assalamu'alaikum Mbak Thor...
ikutan baca yaaaaaaa☺🤝
2023-09-25
0
Oizy
mampir ya thor ke karyaku judulnya my grudge
semangat thorr❤️❤️
2023-03-24
0