HP IMPIAN

Kani memijat kaki Bapaknya untuk meredakan pegal yang Bapaknya rasakan, sebelumnya dia melihat Bapaknya mengoleskan minyak urut. Dia mendekat dan menawarkan diri sekaligus ingin berbicara mumpung adik-adiknya semua sedang bermain, Ibunya ke warung, dan dia sudah tak bisa lagi memendam keinginannya untuk sebuah ponsel. Pak Muji menikmati kopi sambil menatap dan merasakan pijatan anaknya itu.

“Sekolah lancar, Teh?” tanyanya lembut. Kani mengangguk sambil membuat senyum manis dan memamerkan barisan giginya yang rapi. “Nggak kerasa tahun ini kamu tamat SMP. Belajar, biar nanti ujian nggak banyak kendala.”

Kani mengangguk patuh dan merasa  saat inilah dia bisa berbicara.

“Pak...Kani kepingin Hp.” Agak merengek dan Pak Muji memberikan ponselnya. Tak bisa digunakan untuk Selfi, Kani ingin ponsel lebih bagus.

“Bukan punya Bapak tapi punyaku sendiri. Boleh, ya, Pak? Aku sudah besar, teman-teman bawa ponsel semua, yang ada kameranya, Pak. Hp yang bisa menampung banyak foto, memorinya yang besar,” imbuhnya, menggoyangkan kaki Bapaknya dan terus memasang wajah sedih. Pak Muji tersenyum walaupun dia langsung bingung membayangkan ponsel yang di mau anaknya. Sebagus itu, pasti mahal, uang dari mana?

“Walkman yang Bapak beli rusak, Nak?” Berusaha mengalihkan pembicaraan, Kani berhenti memijat, dia manyun.

“Itu beda, Pak.” Tak mau memandang Bapaknya yang khawatir itu.

“Tapi, kan, yang penting kamu punya untuk hiburan. Jangan melihat mereka yang hidupnya gampang, Teh. Lihat yang nggak punya Walkman, mereka nggak punya hiburan. Teteh masih beruntung, itu saja dulu, ya.” Pak Muji berbicara sangat pelan saat melihat istrinya pulang dari Warung.

“Aku maunya Hp. Buat Dahlia atau Kenanga saja Walkman itu, aku tak mau. Aku mau Hp kayak punya Citra, Teti, Reva, bagus-bagus, si kembar juga punya. Foto-foto, terus di posting ke Facebook, dilihat banyak orang, dikasih Like, komentar. Kani juga mau.” Matanya berair, buliran itu menetes sampai Pak Muji tak tahan melihatnya. “Akan lebih mudah juga kalau ada tugas, nggak harus jauh-jauh ke Warnet di terminal, jalan kaki, capek!” Nadanya penuh penekanan.

Di balik dinding bilik rapuh, Bu Ismi hanya bisa mengusap dada mendengar permintaan aneh-aneh anak pertamanya. Kani tak bisa melihat dan memahami kondisi, akan dia beri pelajaran nanti setelah suaminya pergi kerja sekaligus sembunyi-sembunyi membujuk agar permintaan Kani tak dituruti.

“Ya sudah, tapi Bapak nggak bisa janji secepatnya, tunggu saja.” Pak Muji tersenyum, mengiyakan. Kani mengangkat wajahnya yang langsung bersinar secerah mentari setelah kemauannya dituruti. Dia kembali memijat kaki Bapaknya, dan Pak Muji menatap keluar kaca jendela dengan tatapan kosong dan pikiran yang semakin sesak dengan beban.

Besoknya tepat setelah subuh, Pak Muji berangkat. Kani memasang wajah paling ceria karena berharap nanti Bapaknya pulang ponselnya sudah ada. Dia sudah tak sabar untuk membawa ponsel baru ke hadapan teman-temannya yang dia rasa selalu pamer itu. Satu jam setelah Bapaknya pergi, Ibunya habis-habisan memarahinya, sambil menoyor kepalanya berkali-kali. Adik-adiknya ketakutan melihat Kani kena marah sampai segitunya, sampai Ibu mereka menangis juga.

“Tak sadar diri kamu, mangkanya jangan berteman sama mereka yang orang tuanya kerja enak, gaji besar. Bapak kamu hanya kuli bangunan, Kani. Tahu kamu susah dan beratnya kerjaan bapakmu? Enggak, kan? Tapi kamu terus menuntut ini itu. Adik-adik kamu juga punya keinginan, mikir kamu, tuh! Sudah dibelikan radio segede kutil berisik itu masih ingin Hp!” Gelegar amarahnya terdengar sampai keluar. Membuat adiknya yaitu Hakim lekas masuk untuk memeriksa, takut ada bahaya karena tahu Pak Muji berangkat bekerja lagi.

“Teh...” Hakim berusaha melerai tapi Kani terus disiksa.

“Kata bapak juga boleh, Bu, boleh... sakit!!” Kani terus menangis, menjerit, dan semua adiknya menunduk.

“Teh, sudah! Ini anak-anak mau sekolah, masalahnya apa sebenarnya?” Hakim menarik Kakaknya, menahan. Kani menangis dan merapikan kancing seragamnya, rambutnya apalagi, kusut tak berbentuk.

“Punya anak semakin besar bukannya makin bisa meringankan beban orang tua malah semakin bikin susah.” Bu Ismi terus menangis pilu, mendorong Hakim dan Hakim bingung untuk membela karena tak tahu masalahnya.

“Makan cepat, kalian harus sekolah.” Hakim akhirnya memandu mereka. Kani juga dia minta sarapan walaupun sempat menolak. Mie satu bungkus yang dibuat bubuk sebelum direbus dengan airnya yang melimpah itu terlihat tak menarik untuk di makan, asin rasanya karena ditambahi garam lagi, sudah benyek dan dingin pula. Keempat anak itu makan dengan pelan, Ibu mereka akan semakin marah jika sarapan tak habis. Kani makan sambil berlinang air mata, sesekali sesenggukan, menelan sarapannya susah payah. Dia merasa menelan beling saking seretnya di tenggorokan.

Hakim menunggui sampai selesai, takut Kakaknya mengamuk lagi dan melampiaskan amarah dengan menyiksa fisik anak-anaknya.

Di perjalanan menuju ke sekolah, keempat anak itu dipimpin Kani sedari tadi tak berani ada yang bersuara. Semuanya murung, berjalan menyusuri jalan butut yang hanya cukup untuk satu mobil itu. Aspal sudah habis tergerus air hujan, perbaikan jalan tak kunjung terjadi, hanya menebar janji. Rerumputan liar bahkan tumbuh di tengah-tengah jalan. Kani sesekali menarik napas, mengembuskannya kasar, mengusap dadanya yang nyelekit.

Sesampainya di sekolah setelah tiga puluh menit berjalan dengan malas, mereka sudah tahu telat, gerbang ditutup rapat, Kani dan adik-adiknya diam, menunggu guru melirik dan berbesar hati membiarkan mereka masuk dan lekas belajar.

“Waduh! Itu kakak beradik kenapa telat semua? Kompak bener.” Raihan terkekeh-kekeh sambil membawa tumpukkan buku. Di sebelahnya Amarendra diam memperhatikan wajah sembab Kani yang tersiram cahaya matahari. Hidung gadis itu pun merah, matanya bengkak, jelas sekali dia menangis lama sampai begitu. Raihan mengajak Amarendra pergi, Amarendra mengangguk dan tangannya juga membawa buku satu kelas pelajaran matematika kemarin.

Guru BK menggeleng dengan wajah murka melihat Kani dan adik-adiknya mematung di depan gerbang. Ia mendekat dan Kani menjauhkan punggungnya dari tembok.

“Pak, maaf kami semua telat.”

“Kamu paling besar harusnya bisa mencontohkan yang benar, dong. Adik-adik kamu masih kecil, apalagi Syamsir.” Guru BK marah dan Kani menggigit bibir. Bingung harus memberikan penjelasan apa.

“Dimarahi ibu jadinya telat,” celetuk Syamsir dan Kenanga telat membungkamnya. Guru BK mengernyit, membuka pintu gerbang, membiarkan adik-adik Kani pergi tapi Kani diinterogasi beberapa menit. Diperingatkan dan Dia mangut-mangut kemudian pergi setelah diizinkan. Sesampainya di kelas masalah Kani belum berakhir. Guru marah dan memintanya berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai. Kani bersandar, pegal, dan dia melihat Amarendra dan Heri dari kelas bangunan di lantai dua itu mengintip, memperhatikannya. Kani mendelik, lekas meluruskan punggung.

“Apaan, lo ikut-ikutan lihat?” ketus Heri dan menyikut Amarendra di belakangnya.

“Apaan, sih!” Amarendra menatap jengkel dan Heri menatap penuh ancaman.

“Demen lo sama pacar orang, hah?” Heri emosi. Amarendra menyeringai dan membuat Heri semakin kesal.

Heri akan bicara lagi tapi lemparan kapur barus tepat ke lengannya membuatnya menatap ke depan, memperhatikan wajah guru yang memerah itu karena kebisingan yang dia buat.

Jam istirahat, Kani menjelaskan dengan berbohong akibat keterlambatannya kepada teman-temannya. Tiga temannya percaya tapi tidak dengan sepupunya yang kembar itu, karena mereka mendengar dia menangis tadi saat melewati rumah Kani, ditambah teriakan Bu Ismi.

“Kayaknya aku nanti bisa membawa Hp ke sekolah,” kata Kani begitu riang. Teman-temannya ikut senang.

“Emang punya?” timpal Rere dan semuanya menoleh. “Sejak kapan?” sambungnya dan Kani menatap galak.

“Aku memang punya, harus kamu doang yang bisa beli Hp?” Kani sinis dan Rere berlalu dengan Rosi sambil terus berbisik-bisik.

“Parah banget tuh orang.” Reva menggeleng kepala. “Sinis terus sama kamu.”

“Dia terkalahkan terus sama Kani, jadinya gitu, ditambah juga mantannya dari sekolah terkenal itu nanyain Kani terus, loh. Naksir kayaknya terus Rere tahu dan dia kesel.” Citra menjelaskan dan Kani menggeleng, membantah.

“Aku nggak tahu siapa mantan Rere, Cit. Jangan bicara sembarangan, ah. Kalau aku dengan si Kembar bertengkar, orang tua kami juga suka ribut,” kata Kani dan Citra mangut-mangut.

“Oh waktu itu ketemu mantan si Rere di warnet? Oh pantas dia sering nongkrong di Pos dekat sekolah, buat lihat Kani kita,” ucap Reva menggoda dan Kani diam tak nyaman.

“Jangan gitu, lah. Si Heri gimana? Aku nggak enak, loh, sama dia. Beneran putus?” rengek Teti yang dilema dengan putusnya Heri dan Kani. Sementara Kani kalem-kalem saja.

“Kok jadi kamu yang senewen, sih?” ujar Citra. “Yang putus, kan, mereka.”

“Ya, kan, si Heri sahabatnya Aldi. Gimana, sih, kamu. Aldi kalau lihat sahabatnya galau, nanti dia benci sama Kani, aku terancam dicerai kalau begini, kan aku sama Kani sahabat,” terangnya dan semua menggeleng kepala. “Ayolah, Kani. Balikan sama Heri.”

“Cerai, cerai..,” kata Reva sambil cekikikan dan Teti mendesah resah.

“Ogah amat! Aku nggak mau pacaran, kemarin itu karena kamu dan Reva bukan mauku, catat! Kita jangan sibuk main-main, lah, belajar. Ujian memang masih agak lama tapi persiapan dari jauh-jauh hari itu wajib,” kata Kani mengingatkan kawan-kawannya yang malas untuk belajar. Mendadak Reva tertawa terbahak-bahak.

“Ah kamu, suka begitu. Kenapa kami harus capek-capek belajar, kan ada kamu yang pintar. Colek dikit, jawabannya keluar.” Reva terus terbahak-bahak dan Kani diam, menunduk, dia malas kalau sudah begini. Selalu saja dia yang jadi andalan ketika ulangan, PR, ujian. Mereka teman-temannya tak mau berusaha, jika tak dikasih jawaban, mereka akan menjauh. Wajah Kani murung, sementara Reva, Teti, dan Citra terus tertawa. Mencolek dagu Kani agar tertawa juga, Kani hanya tersenyum sedikit.

“Mau-maunya dimanfaatkan, itu bukan pertemanan, Kani. Mereka nggak tulus mau temenan sama kamu. Cuma demi tugas mereka selesai saja,” imbuh Amarendra yang sedari tadi ada di luar Aula juga, duduk menyendiri setelah mengangkat telepon dari kakaknya. Dia menggeleng kepala dan berlalu. Saat dia lewat, ketiga gadis itu membisu, sementara Kani diam memperhatikan punggung Amarendra yang semakin jauh.

“Ish! Kenapa kita nggak tahu dia ada di sana. Sial! Itu kesempatan buat minta nomor dia, ah!” Reva mencak-mencak. Lupa dengan Citra.

Kani menatap dalam-dalam ke dalaman mata sedih Citra. Sementara Reva dan Teti sibuk membicarakan Amarendra.

Terpopuler

Comments

🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵

🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵

Temennya toxic semua yaa, masih SMP udah ngajakin pacaran, masih manfaatin kepintaran kani pula

2023-04-13

0

æ⃝᷍𝖒🐰🐰 A̮g̮r̮a̮ 🐇🐇𖣤​᭄

æ⃝᷍𝖒🐰🐰 A̮g̮r̮a̮ 🐇🐇𖣤​᭄

semoga HP yg di ingin bs diwujudkan sm bapak ya kani

2023-03-13

1

SUMI 🐊🐊

SUMI 🐊🐊

si Kani juga msh aja mkirin hp

2023-03-09

1

lihat semua
Episodes
1 AWAL MULA
2 DISINGGAHI
3 PUTUS
4 HP IMPIAN
5 Pengorbanan seorang Ayah
6 FOTO TAK SENGAJA
7 SIKAP AROGAN yang tak terasa
8 MENANTANG
9 SIKAP DINGIN
10 SERBA SALAH
11 KEBOHONGAN
12 NYATANYA KITA LEMAH
13 SOK JUAL MAHAL
14 KALINGGA
15 MANIS
16 IRI DENGKI
17 HERI
18 SOLUSI BODOH
19 RUMAH SAKIT
20 KAKAK?
21 BUNDA
22 KECEWA
23 TOKO PAK HAJI
24 FITNAH
25 MATI SAJA
26 MUSYAWARAH
27 TEMAN TERBAIK
28 BERANI MELAWAN
29 ASING
30 AYAHKU DI PENJARA
31 KABAR DUKA
32 PINDAH SEKOLAH
33 LINGGA KANI
34 MENGHINDAR
35 NASI KUNING
36 PERTEMANAN YANG SEHAT
37 TRAUMA FISIK DAN MENTAL
38 MENIKAH
39 TRAKTIRAN
40 KEDATANGAN KALINGGA
41 PEKERJAAN TAK ADA HABISNYA
42 KESAL BUKAN MAIN
43 KANI PEMALAS
44 MELIPIR
45 TAMPARAN
46 KHAWATIR
47 YAYASAN
48 PROGRAM
49 MENGINAP
50 HANYA TEMAN
51 KESALAHAN
52 SELALU BOHONG
53 BERDANDAN
54 MENIKAH MUDA
55 LINGGA vs AMARENDRA
56 RENCANA BERKUNJUNG
57 DIA SUDAH DEWASA
58 CALON ISTRI
59 ORANG YANG SAMA
60 KESERIUSAN
61 Pilihan Bu Ismi
62 SOSOK AMAR
63 BUNDA
64 HAMIL
65 TITIP SALAM
66 WAS-WAS
67 PENGKHIANATAN
68 SETENGAH SADAR
69 MEMBERI BAHAGIA
70 PENDOSA
71 SEDERAJAT
72 MELANGKAHI
73 SEDETIK
74 CUCU
75 SALAH PAHAM
76 MENJEMPUT MANTAN
77 PANGLING
78 ANAKNYA BOS?
79 BUMERANG
80 PENCURI
81 FLASHBACK
82 PAMIT
83 SEJOLI
84 SUASANA HARU
85 TAMAT
Episodes

Updated 85 Episodes

1
AWAL MULA
2
DISINGGAHI
3
PUTUS
4
HP IMPIAN
5
Pengorbanan seorang Ayah
6
FOTO TAK SENGAJA
7
SIKAP AROGAN yang tak terasa
8
MENANTANG
9
SIKAP DINGIN
10
SERBA SALAH
11
KEBOHONGAN
12
NYATANYA KITA LEMAH
13
SOK JUAL MAHAL
14
KALINGGA
15
MANIS
16
IRI DENGKI
17
HERI
18
SOLUSI BODOH
19
RUMAH SAKIT
20
KAKAK?
21
BUNDA
22
KECEWA
23
TOKO PAK HAJI
24
FITNAH
25
MATI SAJA
26
MUSYAWARAH
27
TEMAN TERBAIK
28
BERANI MELAWAN
29
ASING
30
AYAHKU DI PENJARA
31
KABAR DUKA
32
PINDAH SEKOLAH
33
LINGGA KANI
34
MENGHINDAR
35
NASI KUNING
36
PERTEMANAN YANG SEHAT
37
TRAUMA FISIK DAN MENTAL
38
MENIKAH
39
TRAKTIRAN
40
KEDATANGAN KALINGGA
41
PEKERJAAN TAK ADA HABISNYA
42
KESAL BUKAN MAIN
43
KANI PEMALAS
44
MELIPIR
45
TAMPARAN
46
KHAWATIR
47
YAYASAN
48
PROGRAM
49
MENGINAP
50
HANYA TEMAN
51
KESALAHAN
52
SELALU BOHONG
53
BERDANDAN
54
MENIKAH MUDA
55
LINGGA vs AMARENDRA
56
RENCANA BERKUNJUNG
57
DIA SUDAH DEWASA
58
CALON ISTRI
59
ORANG YANG SAMA
60
KESERIUSAN
61
Pilihan Bu Ismi
62
SOSOK AMAR
63
BUNDA
64
HAMIL
65
TITIP SALAM
66
WAS-WAS
67
PENGKHIANATAN
68
SETENGAH SADAR
69
MEMBERI BAHAGIA
70
PENDOSA
71
SEDERAJAT
72
MELANGKAHI
73
SEDETIK
74
CUCU
75
SALAH PAHAM
76
MENJEMPUT MANTAN
77
PANGLING
78
ANAKNYA BOS?
79
BUMERANG
80
PENCURI
81
FLASHBACK
82
PAMIT
83
SEJOLI
84
SUASANA HARU
85
TAMAT

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!