Di dalam kamar, Rachel termenung seorang diri. Ia duduk di tepian tempat tidur sambil memikirkan apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Harus ia akui kalau dadanya masih sesak saat mendengar semua ucapan Martha. Bahasan tentang Brandon, tentang kebodohannya dan tentang pernikahannya yang belum juga dikaruniai seorang anak, seperti tamparan keras berulang yang di berikan sang ibu mertua padanya.
Ia sudah sangat sering mendengar kemarahan yang di lontarkan ibu mertuanya namun hal itu tidak lantas membuat ia terbiasa mendengar kalimat-kalimat yang merendahkan dirinya itu.
Hingga saat ini, ia hanya bisa menelan semua pil pahit itu sendirian.
“Brak!”
Suara pintu tertutup yang cukup kasar itu membuat Rachel terperanjat. Cepat-cepat ia bangkit dan menyambut Nata yang baru masuk ke kamarnya. Lamunan yang membuat air matanya menetes pun buyar dengan sendirinya. Rachel segera menyeka air matanya agar tidak terlihat oleh Nata. Ia tahu persis kalau Nata sangat tidak suka melihatnya menangis.
“Sampe kapan sih kamu mau berantem terus sama mamah?” tanya Nata sambil melepas dasi yang melingkar di lehernya. Jalinan kain ini membuat nafasnya sesak dan lehernya terasa terikat.
Rachel segera menghampiri Nata dan mengambil alih dasi dari tangan Nata.
“Maaf mas, aku gak pernah berniat bikin mamah marah,” timpal Rachel yang hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berani menatap laki-laki itu.
Sama seperti sebelumnya, sikap Nata memang selalu berbeda antara saat dihadapan orang lain di banding saat berdua dengan Rachel. Tapi Rachel masih bersyukur, paling tidak Nata menjaga kehormatannya dan mau membelanya dihadapan orang lain, terutama ibu mertuanya. Itulah alasan yang membuat Rachel bertahan selain karena ia memang mencintai Nata.
Di rumah ini, posisi Rachel memang bukan sebagai menantu yang diidam-idamkan oleh Martha. Di mata wanita berketurunan bangsawan itu, tidak ada satu pun kriteria menantu idaman yang ada pada diri Rachel. Ia hanya gadis sederhana yang dipilih oleh anak perempuannya untuk menjadi istri bagi adiknya. Pernikahannya pun mendadak.
Namun satu hal yang pasti, kalau Rachel sangat mencintai Nata sejak pertama mereka bertemu.
“Aku sudah mengingatkan, jangan memancing kemarahan mamah. Karena itu akan sangat berpengaruh sama Brandon. Kamu tidak lupa kan kalau kita masih tinggal di rumah ini karena kita sepakat untuk menjaga Brandon?”
Satu per satu kancing baju Nata ia lepas sambil terduduk di sofa. Ia sempatkan melirik Rachel yang terdiam di tempatnya, menunggu titah Nata berikutnya.
“Iya mas, aku ingat. Aku minta maaf.” Hanya itu yang bisa ia katakan untuk saat ini. Dalam sehari, entah berapa kali ia mendengar kata maaf dari mulut Rachel. Ia sudah sangat bosan.
Rachel sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat Nata dan ternyata Nata sedang memandanginya dengan tidak habis pikir. Nata segera memalingkan wajahnya saat tatapan mereka bertemu.
“Rapikan penampilanmu. Aku sudah memintamu untuk terlihat bersih saat aku pulang. Jangan pakai baju tidur seperti itu. Aku sudah membelikanmu banyak baju tidur 'kan?”
Nata beranjak dari tempatnya, ia pergi untuk membersihkan tubuhnya.
“Baik, Mas.” Lagi Rachel mengangguk patuh. Ia memberikan handuk pada suaminya.
Nata segera masuk ke kamar mandi setelah menggeleng tidak habis pikir dengan tingkah Rachel setiap harinya.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, Rachel segera mengambil pakaian ganti untuk dirinya dan Nata. Ia mengambil stelan pijama favorit suaminya, kaos oblong dan celana training. Sementara untuk dirinya ia mengambil nightgown. Nata suka melihat istrinya terlihat cantik dengan pakaian tidur berrenda seperti itu.
*Warna marron* adalah warna favoritnya. Entahlah, mungkin karena terlihat seksi. Walau sebenarnya Rachel lebih suka memakai setelan pijama celana panjang agar tidak kedinginan. Tapi kebahagiaan suaminya lebih utama saat ini.
Rachel juga menyisir rambutnya dengan rapi, tidak lagi di cepol seperti tadi. Ia menyesalkan karena dirinya yang lamban dalam mengerjakan apa-apa hingga ia masih berpenampilan lusuh saat Nata pulang. Jujur, hanya dengan mengurus Brandon waktunya terasa begitu cepat habis. Ia bahkan sering lupa untuk mengurus dirinya sendiri.
Seharian terasa berat bagi seorang anak manja yang dipaksa dewasa setelah menikah. Bukan kondisi seperti ini yang Rachel harapkan tapi ia hanya bisa menerimanya. Semuanya berada pada kondisi terlanjur. Terlanjur berjanji, terlanjur jatuh cinta dan terlanjur menyayangi.
Belum selesai merapikan dirinya dan baru memakai lipbalm, Nata sudah keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu sempat melihat bayangan Rachel di cermin dan saling bertatap beberapa saat tapi kemudian masing-masing memalingkan wajahnya.
“Mana bajuku?” tanya Nata.
“Oh, ini mas.” Rachel segera beranjak tapi karena tergesa-gesa, tanpa sengaja ia menginjak ujung bajunya sendiri.
Tubuh Rachel melayang ke udara dan Bruk! Ia menubruk tubuh Nata hingga jatuh terduduk. Beruntung tubuh Rachel yang lebih kecil tidak membuatnya jatuh terlentang. Kedua tangannya masih sanggup menopang bobot tubuhnya.
Saat ini, tubuh Rachel berada tepat di atas tubuh Nata, terkungkung oleh kedua kakinya yang tertekuk paksa.
Bibir Rachel yang sudah di olesi lipbalm itu berada persis menempel di ujung hidung Nata yang bangir. Jangan tanyakan soal handuk yang melingkar di tubuh Nata, sudah pasti melorot karena tertarik oleh lutut Rachel.
Untuk beberapa saat mata mereka saling berpandangan. Sama-sama mengerjap beberapa kali seolah sedang mengumpulkan kesadaran masing-masing. Tapi kemudian Nata dan Rachel sama-sama melihat ke dada Nata, tempat satu tangan Rachel berada dan satu tangan lagi berada di lantai dan menyentuh sesuatu milik Nata yang sedang menegang karena kedinginan.
“ASTAGA!!” seru Rachel yang segera bangkit.
“Ma-Maaf Mas,” ucapnya yang tergesa-gesa untuk bangun dan sempoyongan hampir terjatuh lagi karena menginjak gaun tidurnya sendiri.
Akh sial, inilah yang tidak Rachel sukai dari memakai gaun tidur seperti ini.
Setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya, Rachel segera berlari keluar kamar dan menutup pintu kamar dengan tergesa-gesa. Di balik pintu itu ia menyandarkan tubuhnya sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Jantungnya berdebar sangat kencang, ia usap-usap pun tidak ada artinya. Wajahnya memerah dengan mata terpejam berusaha mengusir bayangan sesuatu yang tabu dilihatnya secara utuh.
"Jangan dibayangin, jangan dibayangin, jangan dibayangin....” Seperti membaca mantra, beberapa kali ia ketuk-ketuk kepalanya untuk mengusir bayangan yang tadi di lihatnya. Tapi sayangnya malah terrefleksi di otaknya semakin nyata saja.
“Tenang Chel, tenang, okey?” Rachel bergumam menenangkan dirinya sendiri.
Ia berusaha mengatur nafasnya, menghela lebih dalam dan menghembuskannya lebih pelan. Beberapa kali ia lakukan sampai debaran jantung perlahan mulai melambat.
“Astaga Rachel, kenapa kamu lari? Mas Nata kan suamimu sendiri?” umpatnya setelah mengingat kebodohannya sendiri.
“Tapi aku gak bisa kalau melihatnya utuh-utuh begitu. Adduuuhhh....” Rachel mengacak rambutnya kasar. Rambut yang sudah ia sisir dengan rapi malah berantakan lagi.
“Tenang-tenang!” kali ini ia menepuk-nepuk wajahnya berulang kali hingga merah.
“Krieet....” Tanpa Rachel sadari ternyata pintu yang ia sandari terbuka.
“HWAAAAAA....”
Rachel nyaris terjengkang ke belakang. Beruntung Nata menahan tubuhnya. Seperti adegan di film romantis, mereka kembali saling bertatapan dengan keterkejutan masing-masing.
'Astaga, suami aku ganteng banget,... Bewoknya kok seksi ya? Apa benar aku bisa nikah sama laki-laki setampan Mas Nata gara-gara kalo nyapu suka gak bersih? Apa ini anugrah?’ batin Rachel dengan pikiran yang entah kemana.
Tatapan Nata benar-benar menguncinya dan membuat jantungnya berdebar sangat kencang. Seperti ada banyak bunga yang bermekaran di sekitarnya.
“Mau sampai kapan kamu begini?” tanya Nata dingin.
Bunga-bunga yang melayang itu sekarang jatuh berguguran. Hah, laki-laki dingin ini benar-benar merusak imajinasi Rachel.
“Oh maaf, Mas.” Rachel segera menegakkan tubuhnya.
“Sedang apa kamu di sini?” lagi kulkas dua pintu ini bertanya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana training.
“A-Aku?” Rachel menunjuk hidungnya sendiri dengan kaku. Matanya membola bingung untuk menjawab.
“Pikirmu ada yang lain?” laki-laki dingin itu menyilangkan tangannya di depan dada, menunggu jawaban Rachel.
“A-Aku, mau ke kamar Brandon. Mau mengeceknya,” jawab Rachel sekenanya.
“Lalu kenapa masih di sini?” Haisshh, dingin sekali laki-laki ini.
“Oh iya. Aku pergi sekarang,” cicit Rachel.
Cepat-cepat ia pergi dari hadapan Nata, tapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Ia melihat pakaian yang di kenakannya.
“Akh sial!” dengusnya. Tidak mungkin ia berkeliaran di dalam rumah dengan pakaian seperti ini. Terpaksa ia harus kembali ke kamarnya dan mengambil jacket.
“Permisi Mas, aku mau mengambil jacket,” ujarnya sambil membungkuk melewati Nata.
Nata hanya mundur beberapa langkah, memberi celah pada Rachel untuk lewat. Wanita itu pun masuk, mengambil jacketnya lalu memakainya.
“Permisi lagi Mas.” Ia lewat lagi sambil membungkuk dan Nata hanya terpaku tanpa merespon apapun. Di pandanginya punggung Rachel sampai ia menghilang di anak tangga paling bawah dan berbelok menuju kamar Brandon.
Setelah Rachel pergi, Nata pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya yang tersisa.
Kenapa Rachel selalu saja membuatnya kesal?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Ririn
blm pernah ena ena yah? pantes gak hamil
2023-05-26
1
UQies (IG: bulqies_uqies)
Semangat kak
2023-04-14
1
Bunda dinna
Rachel kok seperti bukan seorang istri di mata Nata..dingin banget
2023-03-08
1