POV Meyra.
Saat aku sampai di depan pintu rumah. Aku segera pergi menghampiri ibu, yang di kelilingi oleh para warga kampung yang datang melayat almarhum ibuku, sambil membacakan surat Yasin untuk ibuku. Karena ibuku, sudah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
"Ibu...." aku memanggil nama ibu, dan langsung memeluk ibu. Aku sangat berharap sekali, kalau ini semuanya hanya mimpi dan ibu bisa bangun dari tidurnya. Ketika aku sudah sampai di rumah, tapi harapanku itu tidak terjadi. Dan aku tidak bisa menghentikan air mata yang membasahi pipiku.
Ini adalah hari-hari terberat dalam hidupku. Ibu satu-satunya orang tuaku, kini telah pergi menyusul ayahku yang sudah lebih dulu meninggal dunia. Saat aku masih memakai seragam putih abu-abu.
"Yang sabar yah, Mey." Bi Leni datang menghampiriku, sambil memelukku. Dalam pelukannya Bi Leni, air mataku semakin tidak bisa aku hentikan. Karena hanya Bi Leni dan Paman Ijat keluargaku saat ini.
"Ibu.... sudah pergi meninggalkan aku Bi," lirihku yang masih dalam pelukan Bi Leni.
"Iya sayang, yang sabar yah. Kamu jangan menangis terus, ikhlaskan kepergian ibumu," ucap Bi Leni yang berusaha menenangkan hatiku, yang sedang sedih di tinggalkan oleh ibuku untuk selama-lamanya.
"Bi, kenapa ayah dan ibu pergi meninggalkanku? Aku ingin ikut pergi bersama ayah dan ibu saja," racauku yang tidak bisa berpikir jernih.
"Huuust, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu jangan merasa sendiri di sini, kamu masih memiliki Bibi dan Paman serta ketiga anak-anak Bibi," sahut Bi Leni sambil mengusap punggungku.
"Ajak Meyra masuk ke dalam kamarnya, Leni." Mbok Iyem menyuruh Bi Leni mengajakku masuk ke dalam kamar, yang sudah lama tidak aku tempati lagi.
Semenjak aku memutuskan pergi bekerja di Jakarta, untuk mencari uang demi meringankan beban ibu yang sedang sakit, dan aku juga ingin membantu ibu dalam membiayai pengobatannya, yang menderita sakti jantung semenjak ayah meninggal dunia. Aku hanya ingin ibu bisa cepat sembuh dari penyakitnya. Tapi sekarang ini, tidak ada niatku untuk kembali bekerja di Jakarta lagi.
Ibu satu-satunya alasanku bekerja di sana, kini beliau sudah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Apalagi jika aku mengingat kejadian semalam, dengan lelaki yang tidak aku kenal sama sekali. Membuat aku trauma, dan tidak mau pergi ke kota Jakarta lagi.
"Kamu istirahat dulu di sini, jangan terus bersedih. Bibi mau pergi ke depan dulu sebentar," ujar Bi Leni. Sebelum ia pergi meninggalkanku di dalam kamar.
"Hiks hiks hiks..." tangis ku pecah. Saat aku sendirian di dalam kamar. Sekarang ini aku sudah tidak memiliki kedua orang tua, masa depanku pun sudah hancur di renggut paksa oleh lelaki yang tidak aku kenal sama sekali.
Ingin rasanya aku pergi menyusul kedua orang tuaku yang sudah meninggal dunia. Aku tidak sanggup menjalani kehidupan ini, pikiran ini terus merasuk ke dalam pikiranku. Sehingga membuat aku tidak bisa berpikir jernih, dan mengambil langkah yang salah.
Aku segera mengambil sesuatu yang berada di dalam kamar. Agar aku bisa pergi menyusul kedua orang tuaku. Di dalam pencarian ku, aku berhasil menemukan gunting yang ada di dalam laci meja kamarku.
"Astaghfirullah. Mey, jangan ...!" Bi Leni yang kaget melihatku yang memegang gunting, yang aku arahkan ke arah perutku. Membuat Bi Leni menjatuhkan makanan yang ia bawa untukku.
Prang! Suara piring yang jatuh ke lantai, yang di bawa oleh Bi Leni. Sehingga membuat para tamu yang datang melayat almarhum ibuku datang ke kamarku.
Bi Leni bergegas pergi menghampiriku, dan menghentikan aksiku yang ingin bunuh diri.
"Istighfar Mey, jangan lakukan hal seperti itu," ucap Bi Leni sambil membuang gunting yang berada di tanganku.
"Biarkan aku ikut pergi bersama ibu dan ayah, aku..."
"Kamu jangan mengatakan itu Mey, istighfar." Bi Leni segera menyela ucapanku, dan kembali memeluk tubuhku.
"Minum dulu Mey." Mbok Iyem memberikan segelas air putih ke arahku.
"Ayo di minum dulu," lanjutnya lagi.
Aku pun segera meminum sedikit air yang di bawa oleh Mbok Iyem. Seketika itu, hatiku bisa lebih tenang dan tidak sekacau sebelumnya.
"Kamu mau memandikan jenazah ibumu untuk yang terakhir kalinya?" tanya Mbok Iyem.
Ku anggukkan kepalaku dengan cepat. Karena aku ingin melihat dan memandikan jenazah ibuku, untuk terakhir kalinya. Karena sekarang ini, ibu sudah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Setelah selesai memandikan jenazah ibuku, aku pun ikut pergi ke tempat peristirahatan terakhir ibuku. Lagi-lagi tangisku pecah, saat melihat jenazah ibu akan di kubur.
"Ibu ..." aku sekarang ini hanya bisa memanggil nama ibu, tanpa bisa memeluk dan melihat lagi raut wajahnya.
____________
Dua bulan kemudian.
Selama dua bulan ini, aku tinggal di rumah Bi Leni dan Paman Ijat. Karena Bi Leni dan Paman Ijat tidak mengijinkanku tinggal di rumah kedua orang tuaku sendirian, maka dari itu Bi Leni dan Paman Ijat menyuruhku tinggal di rumahnya.
"Huek ..." aku lagi-lagi mengeluarkan isi di dalam perutku.
Sudah hampir seminggu lebih aku sering muntah, dan badanku pun mudah lelah dan capek. Padahal aku hanya mengerjakan pekerjaan rumah, dan tidak kembali bekerja menjadi pelayan kafe di Garden cafe gemilang.
"Kamu sudah seminggu lebih muntah-muntah terus, kita berobat saja yuk," ajak Bi Leni yang datang menghampiriku.
"Tidak usah Bi, palingan ini cuman masuk angin biasa saja." aku menolak ajakan dari Bi Leni, yang mengajakku pergi berobat ke dokter.
"Kamu sih suka telat makannya, jangan telat makan lagi yah. Bibi mau pergi belanja ke pasar dulu," pamit Bi Leni yang akan pergi ke pasar.
"Iya Bi, hati-hati di jalan," balasku.
Setelah kepergian Bi Leni, aku mendengar suara Mbak Dewi anak pertama Bi Leni yang keluar dari dalam kamar mandi.
"Alhamdulillah Mey, Mbak hamil," ucap Mbak Dewi yang datang menghampiriku.
"Selamat yah Mbak," sahutku sambil tersenyum senang melihat kehamilan Mbak Dewi.
"Mbak senang banget Mey, sudah satu bulan lebih Mbak telat datang bulan. Dan ini hasilnya Mey, ternyata hasilnya Mbak positif hamil." Mbak Dewi memperlihatkan hasil testpack nya kepadaku.
Degh! Detak jantungku berdetak kencang. Saat Mbak Dewi mengatakan telat datang bulan. Seketika itu aku jadi teringat tentang diriku, yang belum datang bulan. Semenjak aku tinggal di sini, aku sudah tidak mendapatkan datang bulan seperti biasanya.
"Apa jangan-jangan! Aku...
Tidak, tidak mungkin aku hamil," batinku sambil menggelengkan kepala.
"Kamu kenapa Mey? Kok geleng-geleng kepala seperti itu?" tanya Mbak Dewi yang heran dengan sikapku.
"Aku gak ngerti dengan benda yang Mbak perlihatkan kepadaku," kilahku yang mencari alasan. Agar Mbak Dewi tidak curiga dengan sikapku.
"Oh gitu, ya wajarlah kalau kamu tidak mengerti. Kamu kan belum menikah dan hamil, jadi belum tahu. Mbak pergi ke dalam kamar dulu ya," pamit Mbak Dewi yang akan masuk ke dalam kamarnya.
"Iya Mbak," sahutku.
Setelah Mbak Dewi masuk ke dalam kamarnya. Aku segera masuk ke dalam kamar mandi, karena tiba-tiba saja perutku kembali mual. Lemas rasanya dengan rasa mual yang ku rasakan beberapa hari ini.
Saat aku akan mengambil gayung, aku melihat ada beberapa testpack milik Mbak Dewi yang tertinggal di dalam kamar mandi. Ingin rasanya aku menggunakan alat testpack itu. Agar aku bisa mengetahui kebenarannya, apakah sekarang ini aku sedang hamil, atau hanya masuk angin biasa?
Aku pun memutuskan untuk melakukan testpack, dan beberapa menit kemudian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Mom La - La
ku jdi ingat waktu itu. sediihhhh bngt
2023-04-04
1
in_JUMI
Meyra yang malang ...
semangat k
di tunggu mampiranya di cerita aku y
2023-03-06
1