"Ugh… uugh…" rasa sakit berdenyut di kepala kecilnya. Suara suara aneh yang terus menyuruhnya untuk membunuh terus berdengung. "Hah…hah…"
"Ck ck ck, berapa kali kukatakan? Cari tumbal untuk meredakan kutukanmu!? Dasar bocah keras kepala." ujar seekor burung gagak bermata merah. Burung itu adalah kabut hitam yang menjelma menjadi gagak.
Zhen melirik kesal gagak di depannya. Bukannya membantu burung itu malah menceramahinya. Gagak itu bilang kalau ingin kutukan naganya reda, maka ia harus membunuh seseorang. Tapi Zhen masih ragu melakukan itu. Membunuh bukan masalah gampang untuknya. "Diamlah, buat saja suala di kepalaku hilang!?" ujar Zhen.
"Hmph, dasar tukang suruh!?" gagak itu mengibaskan sayapnya ke kepala Zhen. Dari sayapnya keluar asap hitam pekat.
Setelah gagak itu mengibaskan sayapnya, suara sura yang berdengung di kepalanya menjadi jauh lebih redam. Gagak itu hanya bisa meredakan suara suara aneh di kepalanya. Sedangkan sakitnya tidak. Yah, ini saja sudah cukup untuknya daripada tidak sama sekali. Tapi tetap saja, "Hiks… hiks…huu…" Zhen menangis.
"Haih… kenapa kau malah menangis? Penerusku tidak boleh cengeng!?" gagak itu menggeplak kepala Zhen.
"Hiks, aku lindu ibu…"
Gagak itu menatap Zhen yang terus menangis. "Hmph, dasar lemah!?"
greb
"A apa yang kau lakukan? Lepas!?" tiba tiba saja Zhen memeluk gagak itu erat. Dia memberontak ingin lepas, namun pelukan Zhen lebih kuat dari yang dipikirkan.
"Hiks, huuu…"
Mendengar tangisan Zhen yang terus berlanjut, gagak itu akhirnya diam tidak melawan. "Hmph!? Hanya kali ini aku akan membiarkannya."
...***...
Terdengar suara berisik dari luar yang membuat Zhen terbangun karenanya. Ia bangun dengan mata yang masih mengantuk. "Ada apa disana?" tanyanya.
Dirinya segera turun dan berlari menuju pintu keluar. Dilihatnya ada ramai orang berkumpul mengelilingi sesuatu. "Ada apa? tanyanya.
Orang orang didepannya menengok ke belakang melihat tepat ke arah Zhen. Tatapan yang mereka berikan agak lain. Biasanya mereka akan menatap dengan sinis, namun kali ini tatapan yang mereka berikan terlihat agak cemas dan ragu.
Tanpa berkata kata lagi mereka membuka jalan untuk Zhen melihat apa yang sedari tadi mereka lihat.
Sungguh terkejutnya ia ketika melihat ada banyak darah berceceran. Matanya melebar melihat sosok yang biasa bersamanya, kini hanya tersisa kepalanya. Didepannya tergeletak kepala Mei yang terpenggal. Tubuh kecilnya bergetar melihat kejutan tak terduga ini.
"Pergi…" ujar Zhen dingin.
Mereka saling melihat satu sama lain dengan ragu. "'Tapi…"
Belum selesai berkata kata mereka sudah mendapatkan tatapan dingin dari bocah yang mereka remehkan. Seketika rasa takut menjalar ke seluruh tubuh mereka. 'M mata itu, dia benar benar merupakan keturunan naga. Hanya dengan tatapannya saja kami sudah ketakutan. Lebih baik aku segera pergi dari sini.' pikir salah satu pelayan. Dia segera melangkahkan kakinya pergi dari tempatnya.
Melihat salah satu teman mereka pergi, satu persatu pelayan disana mengikutinya pergi. Sekarang hanya tinggal Zhen seorang dengan kepala Mei. Ia mengambil kepala Mei memeluknya erat dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Draak
Zhen terduduk lemas sambil memeluk sebuah kepala. Ia tidak bisa berpikir apa apa sekarang. Kepalanya terasa kosong, bahkan hanya untuk mengucapkan satu kata terasa sulit. Tatapannya kosong dengan air mata yang berlinang, hatinga terasa sangat sakit dan pilu. Ini kedua kalinya seseorang meninggalkannya setelah ibunya.
Tiba tiba kabut hitam keluar dari keningnya membentuk burung gagak bermata merah. "Hm? Ada apa denganmu?" tanya burung itu penasaran. Dia melirik ke arah kepala yang dipegang Zhen, "Aah, jadi kau seperti itu karena ini? Ya ampun~ siapa yang tega memenggal kepala pelayan itu, ya?" gagak itu diam diam melirik Zhen. Namun reaksinya masih tetap sama, diam saja.
"Haih, kau sedih hanya karena seorang pelayan? Ck, benar benar lemah!?" gertaknya.
"………"
Namun masih belum ada reaksi sama sekali dari anak itu. Dia berjalan menaiki pundak Zhen. Melihat dari samping tatapan kosong anak itu, "Nasib mu benar benar sial, aku harap aku tidak tertular nasib sialmu!?"
"………"
"Kau dengar? Bocah bernasib sial?"
"………"
"Ah, lupakan saja. Kurasa mentalmu sudah hancur. Lihat dirimu, ku tebak sebentar lagi kau akan gila, ha ha ha ha ha ha……" tawanya hambar. "Ming Jiazhen, apa kau akan terus seperti ini?"
"………"
Gagak itu menatap tajam Zhen, 'Terakhir kali dia seperti ini setelah kematian Huai Yu. Saat itu tangisannya sangat kencang memanggil ibunya. Dia tidak ingin makan hampir seminggu dan mengisolasi dirinya didalam kamar. Saat itu dia sama saja dengan mayat hidup. Untungnya ada pelayan itu yang membantunya kembali seperti semula. Tapi sekarang… siapa yang akan membantunya pulih? Tidak mungkin aku dengan mulut sarkasku.'
"Hmph, terserah!? Aku tidak perduli lagi padamu!?" burung itu menguap menjadi kabut hitam, kembali masuk ke diri Zhen.
Hingga hari berlalu tiba tengah malam. Zhen masih berada dalam keadaan yang sebelumnya.
Draak
Pintu kamar terbuka dengan keras, terlihat seorang pria berotot kekar dengan pakaian penjaga. Zhen melirik pria itu dengan tatapan kosongnya. Tiba tiba pria itu menarik kerah belakang bajunya hingga terangkat ke atas. Pria itu menatapnya dengan tajam lalu melirik sesuatu yang Zhen peluk. "Menyedihkan." ujarnya. "Aku tidak menyangka anak menyedihkan ini adalah keturunan tuan Jiayuan. Sulit dipercaya."
Pria itu mengulurkan tangannya ke depan wajah Zhen, dan kemudian semuanya menjadi gelap.
...***...
Saat dirinya bangun, sebuah tempat gelap dan sunyi yang saat ini adalah tempatnya. Kedua tangan dan kakinya dirantai dengan rantai yang panjang. Ia menengok kesana kemari dengan gelisah, "Kemana Mei?" tanyanya panik.
"Apa kau mencari ini?" tanya seseorang sembari menenteng kepala seseorang.
Mata Zhen terbelalak kaget melihat Jiafen memegang kepala Mei. Ia berlari menuju Jiafen dengan terburu buru, "Mei!? Meiii!?" teriaknya panik.
duak
Bruk
Tiba tiba kaki seseorang menendang kepalanya. Pandangannya berkunang kunang, darah terlihat keluar dari hidungnya.
"Berisik sekali!? Kau bisa mengganggu orang lain tidur!?" ujar Jiafen dengan smirk di wajahnya.
Zhen melirik Jiafen serta seseorang yang baru saja menendangnya. Ternyata dia adalah pria kekar yang datang ke kamarnya. Ia kembali melihat kepala Mei yang masih dipegang Jiafen, "Mei…"
Jiafen melirik kepala ditangannya. "Hm~ kau ingin ini? Hm?" tanyanya dengan senyum cantik diwajahnya.
Dengan kaku Zhen mengangguk. Ia mengulurkan tangan kecilnya sembari tersenyum senang ketika Jiafen memberikan kepala Mei padanya.
Namun tiba tuba saja kepala itu terbakar hangus ileh api yang membara.
Pluk
Mata Zhen terbelalak kaget melihat itu. Ia segera mencoba memadamkan apinya dengan tangan kecil miliknya. Akan tetapi panas api ternyata lebih panas dari apa yang ia pikir. Tapi siapa yang peduli? Zhen tetap berusaha memadamkannya dengan tangan walaupun telapak tangannya melepuh.
Jiafen terbelalak kaget melihat aksi bocah itu, "Wang Zi, cepat hentikan bocah gila itu!? Atau kita dalam masalah besar!?" pinta Jiafen.
"Baik, Nyonya!?"
Pria bernama Wang Di tersebut menarik tubuh kecil Zhen dari kobaran api. "Tidaak!? Meiiii!? Meiii!? Tolong Mei!? Dia terbakar!?" teriak Zhen berlinang air mata.
plak
Jiafen menampar Zhen keras agar membuatnya diam, "Sadarlah!? Dia sudah meninggal!? Apa kau mengerti?" tercetak sebuah senyum kemenangan di wajahnya.
Bruk
Wang Di melempar kasar tubuh kecil Zhen hingga menabrak dinding. Jiafen bersama pengawalnya pergi.
Beberapa saat kemudian, kepala Mei yang terbakar telah sepenuhnya menjadi abu.
crak crak
Suara rantai begitu nyaring dimalam hari setiap Zhen berjalan. Dia berjongkok menatap kosong ke abu bekas bakaran. "Tenang saja Mei, kita akan selalu belsama." ujarnya. Senyum lebar dengan tatapan matanya yang kosong, ia mengambil abu Mei dan memasukkannya kedalam mulut kecilnya. Memakannya sampai habis tak tersisa. "Sekalang kita akan selalu belsama Mei~ Belsama dengan ibu juga~ ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha…"
"Dasar… bocah gila." ujar gagak yang sedari tadi di samping Zhen.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments