Sinta dan Dinda sudah memasukkan pakaian mereka di dalam lemari kamar masing-masing. Sinta menempati kamar di samping kamar kami, dan Dinda di sebelah kamar Sinta.
Aku masih menangis di dalam kamar. Tentu aku belum menerima semua ini. Ini terlalu menyakitkan. Bahkan tadi pagi aku masih mengantar mas Hadi sampai depan pintu dengan begitu manjanya. Namun sore harinya, mas Hadi datang membawa Sinta dan Dinda.
Aku mendengar suara langkah kaki datang mendekat. Aku tau itu mas Hadi. Segera ku hapus air mataku. Aku merasakan tangannya menyentuh bahuku lalu memeluk erat tubuhku dari belakang.
"Maafkan aku An, aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Aku sangat mencintai kamu, tapi aku juga menginginkan keturunan." mas Hadi mencium lembut pundak ku.
Aku menoleh dan berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa mas. Aku ngerti posisi kamu. Aku tau ini pasti akan menyakitkan. Tapi aku akan menerima semua ini asalkan kamu bersikap adil, mas." pintaku.
"Makasih ya, An. Kamu pengertian banget. Aku jadi makin sayang sama kamu." mas Hadi mencium kening ku dengan lembut. Aku masih merasakan cinta pada ciuman itu. Tapi satu hal juga yang harus aku tau. Mas Hadi sudah membagi cintanya. Ciuman penuh cinta ini juga dirasakan oleh Sinta. Entahlah, aku tidak ingin mengungkitnya. Itu terlalu menyakitkan bagiku.
"Oh ya, An. Mulai sekarang aku harus bagi hari. Tiga hari aku di kamar Sinta, tiga hari aku di kamar kamu. Dan satu hari aku akan tidur sendiri agar kalian merasa adil," ucap mas Hadi.
Aku menahan air mataku. Biasanya mas Hadi selalu ada setiap aku membuka mata. Namun kini aku harus lebih jarang melihatnya. Waktuku dengan mas Hadi semakin berkurang, namun waktunya dengan Sinta malah akan lebih banyak karena mereka satu kantor. Ah, membayangkannya saja sudah membuat hatiku terasa nyeri.
"Iya, mas," jawabku singkat.
"Terima kasih ya, An. Aku tinggal dulu." Mas Hadi pergi keluar. Aku yakin dia menuju kamar Sinta.
Tak berselang lama, pintu di ketuk. Aku yakin itu bukan mas Hadi yang kembali karena dia tidak pernah mengetuk pintu.
"Siapa?" tanyaku dari dalam.
"Ini Dinda, tante."
Aku terkejut. Mau apa Dinda datang kemari? Apa dia mau mencari masalah denganku? aku pun segera membuka pintu. Ku lihat Dinda menatap ku dengan sedikit takut. Tentu saja, karena aku menatapnya dengan tatapan yang teramat sangat dingin. Bisa dibilang aku sangat membencinya. Karena dirinya lah aku menjadi begini. Ah tidak, ada apa dengan ku. Jelas Dinda hanya anak kecil yang tidak berdosa. Yang salah adalah Sinta dan mas Hadi.
"Ada apa, Dinda?" tanyaku.
"Tante, apa Dinda boleh masuk?" tanya nya pelan.
Aku melebarkan pintuku dan Dinda pun masuk. Dia masih berdiri mematung.
"Duduk," ucapku.
Dinda langsung menduduki sofa.
"Mau apa kamu kesini?" tanyaku sinis. Sepertinya rasa kesalku masih menguasai hatiku saat ini.
"Tante, Dinda minta maaf ya," ucap Dinda pelan.
Aku terkejut. Anak sekecil ini meminta maaf padaku? Apa dia mengerti tentang kondisiku saat ini?
"Kamu minta maaf kenapa?" tanyaku lagi.
"Sejak Dinda dan mama datang, tante nangis terus. Dinda minta maaf, Dinda janji nggak akan nakal. Dinda juga makannya nggak banyak kok tante. Dinda juga nggak suka jajan. Jadi tante jangan sedih ya," ucap Dinda.
Astagfirullah, anak sekecil ini saja bisa mengerti tangisanku. Tapi orang tuanya malah tidak mengerti.
"Dinda, tante capek. Kamu keluar dulu ya," ujarku.
"Iya tante." Dinda langsung keluar dari kamarku.
"Dia anak yang baik. Sayang, aku membenci ibumu," ucapku sinis sambil memandang ke arah pintu yang sudah tertutup itu.
Malam harinya, aku memasak banyak makanan untuk makan malam. Bukan atas keinginanku, melainkan atas perintah mas Hadi.
Ku lihat mereka berkcengkram mesra, sesekali menyuapi Dinda yang tampak menyukai masakanku. Jelas sajab, sedari kecil aku memang gemar memasak. Apalagi setelah ibu meninggal, aku lah yang memasak untuk ayah. Dengan terus memperbaiki kemampuan memasakku, aku pun bisa membuat semua orang menyukai masakanku. Memang rumah ini punya dua pembantu namun, untuk urusan memasak, mas Hadi hanya ingin aku yang melakukan itu.
"An, malam ini mas tidur dengan Sinta ya," ucap mas Hadi saat sudah menyelesaikan makannya.
Dengan berat hati aku mengangguk. Sakit memang, tapi itulah konsekuensi yang harus ku terima. Karena saat ini aku sudah mempunyai madu yang bisa memberikan anak kepada mas Hadi.
"Ma, bacain Dinda dongeng dong," pinta Dinda saat kedua orang tuanya hendak naik ke lantai atas menuju kamar mereka.
"Nggak bisa sayang, mama mau istirahat besok mau kerja," ucap Sinta.
"An, kamu aja yang bacain dongeng buat Dinda ya," ujar mas Hadi.
Apa maksud nya? Dinda anaknya dan Sinta tapi kenapa aku yang harus membacakan dongeng untuknya. Namun tak berani ku gelengkan kepalaku.Itu hanya akan membuat mas Hadi marah dan mengusirku dari sini.
"Iya mas," sahutku pelan.
Setelah mereka masuk ke kamar, aku menemani Dinda dan membacakan dongeng untuk nya. Hingga saat aku selesai, Dinda sudah tertidur pulas. Ku naikkan selimut agar menutupi tubuhnya lalu kembali ke kamarku.
Aku meraba bagian ranjang sebelah kanan yang biasa ditiduri mas Hadi. Terlintas dalam benakku saat-saat kami melakukan pergumulan panas disini. Sakit, hatiku semakin sakit. Karena yang ku dengar saat ini adalah suara ******* yang bersahut-sahutan di kamar mereka. Begitu bergairah dan panas.
Begitulah yang ku dengar dari kamar mereka. Segera ku ambil earphone dan menyetel musik dengan kuat agar aku tak lagi mendengar sahutan penuh gairah dari mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Siti Masitah
sepertinya authornya menjadikan ana pemeran yg bodoh
2024-03-08
0
Uthie
Kenapa Ana digambarkan kurang bagus yaa 😁😁
cuma lulusan SMP kayanya sangat kurang pantas banget bersanding dengan suaminya yg udah tau begitu 🤭
2023-08-20
0
Tati st🍒🍒🍒
nikah dah 2th masa ga punya tabungan,kalau aku sih mening minta pisah rumah dari pada tinggal serumah
2023-02-26
0