"Kak Chintya gak pernah tanya apapun tentang anaknya?" tanya Adrian.
Arina menggelengkan kepalanya.
"Kakak benar-benar hilang tanpa jejak. Waktu mama meninggal aja, kakak nggak datang" jawabnya.
"Sejak kakak pergi, Al sempat hidup tertekan, papanya begitu pemarah, tidak mengurus Al sebagaimana mestinya. Saat itu mama bersikeras mengambil cucunya, karena tidak sanggup melihat Al, kadang ada memar di tubuh Al saat mama mengunjungi. Papa Al seolah melampiaskan emosinya kepada Al atas kepergian kakak. Hingga kak Alfian bergerak, terjadi perdebatan hebat dan Al berhasil dibawa pulang ke kediaman Althaf." air mata Arina mengalir menceritakan tentang Al.
Adrian memeluk tubuh istrinya , memberikan ketenangan lewat pelukannya.
"Al anak yang baik, ia sangat manis, anakku gadis yang penurut"
Karena lelah menangis, Arina tertidur dalam pelukan suaminya.
Adrian menatap dalam wajah istrinya, ia begitu kagum akan sosok perempuan dalam pelukannya. Dulu, perempuan ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan, bagaimana ia mendatangi kampus sambil menggandeng perempuan yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bagaimana anak perempuan itu duduk di depan kelas atau di kantin kampus dengan MacBook atau ponsel ditangannya. Beberapa kali Adrian juga melihat Arina dan Al makan di restoran cepat saji. Hal itulah yang mampu menarik perhatian Adrian. Di tengah muda mudi yang sibuk mengurus dirinya sendiri, ada seorang gadis lain yang masih begitu peduli dengan kehidupan orang lain.
Desas desus telah Adrian dengar dari beberapa orang. Ia tentu tahu Arina pernah mendapatkan caci maki karena kesalahan kakaknya di masa lampau. Beberapa orang bahkan berpikir jika perilaku Arina dan Al akan sama dengan apa yang Chintya lakukan.
Sayang saja mereka tidak berani mengatakannya secara langsung, sebab orang tua Arina bukanlah orang biasa di kota ini.
Pagi kembali menyapa penduduk bumi. Al rupanya sudah mandi, pakaiannya berganti menjadi kaos yang kakinya dimasukkan ke dalam rok canda 7/8, hal itu membuatnya terlihat sangat manis.
"Nggak dingin mandi jam segini?" tanya tuan Martadinata.
"Nggak, opa. Dulu sama nenek Aisyah sering dimandikan pagi hari" jawabnya.
"Padahal dulu di desa lebih dingin kan yah?"
Al mengangguk.
"Dingin, opa." jawabnya.
"Opa lagi bikin apa?" tanya Al.
"Ini lagi buat kandang untuk burung opa yang baru"
"Wah"
Tuan Martadinata merasa senang akan kehadiran Al. Meskipun terlihat dingin, tapi Al cukup mudah akrab dengannya.
"Sayang, sarapan dulu" ajak nyonya Martadinata.
Keduanya lalu berdiri dan berjalan ke meja makan, dimana sudah ada Arina dan Adrian disana.
"Sudah mandi, nak?" tanya Adrian.
"Sudah, om papa" jawab Al.
"Al suka makan apa, sayang?" tanya nyonya Martadinata.
"Roti bakar coklat, oma" tanpa sungkan Al menjawabnya.
"Wah, untung tadi mama Arina bilang" kata Nyonya Martadinata.
"Terima kasih Tante mama" ucap Al saat tiga potong roti bakar coklat sudah ada di depannya.
"Siang nanti ke rumah pakde yah, Lilis hari ini lamaran " beritahu tuan Martadinata.
"Iya, ayah . Makanya kami nginap, Lilis udah ngomong di grup keluarga " Adrian merespon ucapan ayahnya.
"Cucu opa ikut, kan?"
Al menatap tuan Martadinata.
"Al nggak nyiapin baju, opa" jawabnya jujur.
"Tante mama ada bawain untuk Al, kok" beritahu Arina.
"Nak, coba deh manggilnya mama aja, nggak usah ada papanya. Terus nanti ke om papa juga manggil nya papa aja. Terus kalian berdua biasakan manggil kakak ke Al." petuah Nyonya Martadinata pagi ini.
"Iya, ibu " kompak Arina dan Adrian.
Setelah sarapan, Al membantu Arina membersihkan dapur.
"Al nggak apa-apa manggil Tante mama dengan sebutan mama?" tanyanya.
Arina menoleh, menatap wajah ponakannya.
"Mama malah senang, sayang" jawabnya.
"Tapi nanti anak tante mama marah, mamanya aku panggil mama"
"Sayang, nggak boleh gitu yah. Al ini anak mama lho, anak papa Adrian juga. Lihat, opa dan oma juga sayang sama kakak." Arina mengelus lembut pipi ponakannya, yang ia anggap anaknya sendiri.
"Terima kasih mama " ucap Al, bersamaan dengan air matanya yang jatuh.
Di pintu dapur, Adrian bisa mendengarkan semuanya. Ia sendiri tidak bisa membayangkan apa yang telah dua wanita itu lewati sebelum ini.
Menjelang siang, mereka sudah siap untuk ke rumah pakde nya Adrian. Al terlihat cantik dengan gaun selutut nya yang berwarna hijau mint. Rambutnya tadi dikepang oleh Nyonya Martadinata.
"Cantiknya cucu opa" ucap Tuan Martadinata.
Adrian memiliki saudara laki-laki, tapi tinggal di luar kota. Kakaknya sudah menikah, tapi belum dikaruniai anak.
"Terima kasih opa" ucap Al.
Jarak yang ditempuh untuk ke rumah pakde tidak terlalu jauh, hanya perlu waktu 10 menit menggunakan mobil.
"Itu siapa kak?" tanya bude Yuyun istrinya pakde Yengka.
"Cucu ku, dek" bangga Nyonya Martadinata.
"Owalah, cantiknya"
Al mengikuti Arina mencium punggung tangan Yuyun dan Yengka.
Sanak keluarga datang satu persatu, hingga tamu yang ditunggu-tunggu juga akhirnya datang.
Arina cukup kaget saat melihat Ibra, mantannya dulu yang datang sebagai calon mempelai pria. Tangan Al sudah meremas tangan Arina.
"Nggak apa-apa, sayang. Tenang yah" Arina menenangkan anaknya.
Diantara banyaknya lelaki, kenapa harus Ibra yang akan menjadi sepupu iparnya.
Acara berjalan sebagaimana mestinya, sangat lancar dan khidmat. Perkenalan keluarga juga baru saja di lakukan. Al dan Arina sedang duduk di gasebo dekat rumah bersama ponakan Adrian, entah kenapa ibu Ibra bisa sampai di sana.
"Ehh, ketemu perempuan beranak padahal belum nikah. Gimana sekarang, udah nemu belum lelaki yang mau nerima anak kamu?" perempuan tua itu mulai nyinyir.
"Kasihan sekali, padahal Ibra sudah menemukan perempuan penggantimu. Perempuan nya cantik pula, berpendidikan dan yang penting nggak ngurus anak" lanjut perempuan itu.
Arina mengelus lembut pundak Al.
"Lho, ibu belum tahu kalau Arina ini menantu saya?" dari dalam rumah nyonya Martadinata bertanya. Ia melangkah mendekati gasebo.
"Oh, nggak tahu yah bu? Arina ini menantu saya, dan gadis cantik disebelahnya itu cucu saya. Maaf yah sayang, ibu tadi sibuk di dalam, anak-anak nggak rewel kan yah?" lanjut nyonya Martadinata.
"Anak-anak aman, bu. Tadi asyik main sama Al." jawab Arina sopan.
Sementara wajah ibu Ibra sudah terlihat tidak bersahabat. Ia terlihat begitu gugup.
"Al, masuk ke rumah yah sayang, udah ditunggu papa lho buat makan." ucap nyonya Martadinata.
"Iya, oma" Al berjalan memasuki rumah.
Nyonya Martadinata belum puas membalas nyinyiran ibu Ibra.
"Saya sangat bersyukur ibu dan keluarga menolak Arina, karena dengan itu saya dan keluarga berhasil mendapatkan perempuan yang sangat cantik ini sebagai menantu. Saya tidak hanya diberi seorang menantu, tapi juga diberikan seorang cucu yang sangat manis."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments