Di malam yang gelap dan sunyi, seorang pria keluar dari kamar mandi untuk segera mengenakan pakaian biasa yang dikenakannya.
"Aku tidak menyangka kalau pembicaraan tadi bisa sampai malam."
Dalam ingatannya, pembicaraan yang dilakukan antara dia dengan wanita yang sempat ketemuan di taman membuatnya berpikir kalau itu tidak seharusnya terjadi.
Menurut pria itu, Hiragaki, dia sama sekali tidak menerimanya karena dia menyukai atau senang pada wanita yang diajak ketemuan, Shirinsa. Sebaliknya, dia hanya menerimanya karena dia tidak tega apabila Shirinsa merasa sedih dan putus asa atas penolakannya. Itu sebabnya dia hanya bisa menerimanya dengan pasrah tanpa bisa melawan keinginan Shirinsa.
Walaupun Hiragaki bisa melawannya, ada kemungkinan kalau Shirinsa akan memaksanya untuk ikut di lain hari. Hal seperti itu sering terjadi setiap kali Hiragaki memiliki acara, Shirinsa selalu penasaran hingga akhirnya dia memutuskan untuk ikut. Tapi sayangnya, Hiragaki justru menolaknya yang membuatnya menjadi keras kepala untuk ikut dengan memaksakan kehendaknya pada Hiragaki.
"Aku harap teman-temanku bisa memaafkan aku ya."
Memandang layar smartphone, Hiragaki menelan ludahnya karena takut teman-temannya akan menjauhi dirinya.
Secara umum, teman Hiragaki adalah pria jomblo, yang artinya jika dia berjalan bersama Shirinsa, orang-orang akan menganggapnya sebagai kencan yang dapat membuat mereka berdua yaitu Yamaguchi dan Mitsuki menjadi salah paham atas hal tersebut.
Akan lebih baik jika aku bicarakan ini pada Mitaki terlebih dahulu.
Setelah meyakinkan dirinya untuk berbicara sebelum masalah terjadi, Hiragaki memandang nomor telepon Mitsuki.
Menurut Hiragaki, satu-satunya teman yang bisa diandalkan dan dipercayai ialah Mitsuki. Mitsuki adalah pria yang jenius, peduli, mampu merahasiakan apapun dari orang lain, dan dingin terhadap orang yang tidak dekat dengannya. Berbeda dengan Mitsuki, Yamaguchi bukanlah teman yang dapat diandalkan dan dipercaya. Yamaguchi adalah pria yang jujur, penolong, dan ramah yang membuatnya populer dimanapun dia berada.
"Halo."
"Halo, Mitaki."
"Ada apa, Hiragaki?"
"I-itu..."
Hiragaki menjelaskan pada Mitsuki pembicaraan yang dia dan Shirinsa bicarakan sebelumnya di taman. Mitsuki yang mendengarnya terdiam dan berpikir kalau itu adalah sesuatu yang aneh menurutnya.
"Bagaimana menurutmu, Mitaki?"
"Aneh sekali."
"Pertama, dia ingin mengenal dirimu lebih dekat dari hubungan teman yang biasa kalian jalani bersama sebagai rekan kerja. Kedua, dia ingin ikut event di lain waktu di hari libur hanya berduaan denganmu. Dan yang ketiga, dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki teman. Tidakkah menurutmu itu aneh?"
"Ya, aku tahu. Itu sebabnya aku ingin membicarakan ini denganmu."
"Begitu ya."
Hening terjadi sekitar sepuluh detik.
Mitsuki mencoba mencari tahu apa yang ada dalam pikiran Shirinsa. Apabila Shirinsa hanya ingin memanfaatkan kesempatan untuk mempermalukan Hiragaki, Mitsuki tidak terima atas pemikiran buruknya. Sebaliknya, apabila Shirinsa tulus mencintai Hiragaki, Mitsuki akan dengan senang hati menerimanya dan merestui hubungan mereka berdua.
"Hiragaki, aku rasa aku akan ke rumahmu sekarang."
"Tu-tunggu... sekarang!?"
Panggilan tiba-tiba terputus dari Mitsuki. Mendapatkan jawaban singkat yang aneh, Hiragaki berpikir kalau Mitsuki benar-benar serius dalam bertindak.
Tak hanya bertindak seperti sekarang, Mitsuki dulu juga pernah melakukan tindakan yang sama yaitu memberi pelajaran pada sekelompok orang yang seringkali membully Hiragaki ketika mereka masih di sekolah.
Dalam memberikan sekelompok orang-orang buruk itu pelajaran, Mitsuki menyusun rencana dengan skenario Hiragaki sebagai umpan sedangkan dia sebagai pengamat bertugas untuk merekam setiap kejadian yang ada. Setiap foto maupun video berhasil Mitsuki dapatkan dari pembullyan yang mereka lakukan pada Hiragaki dulu. Karena telah berhasil mendapatkan bukti, Mitsuki sebagai saksi melaporkan kejadian atas pembullyan yang telah kelompok itu perbuat padanya.
Sebagai balasan atas pembullyan yang mereka lakukan, kelompok itu sendiri diberikan balasan berupa skors selama tiga minggu dan diberikan satu kesempatan lagi untuk tidak mengganggu ketertiban murid-murid lain dari tindakan pembullyan yang kelompok itu lakukan pada Hiragaki.
Sekitar satu jam kemudian, bel berbunyi diluar rumah Hiragaki. Karena Hiragaki yakin siapa yang datang, dia pun berdiri dan bergegas untuk membukakan pintu pada siapa yang datang di jam sekarang.
"Maaf apabila aku datang kemari, Hiragaki."
"Jangan khawatir, Mitaki. Aku sudah terbiasa kok."
Walaupun nada dan ekspresi Mitsuki terlihat datar dan dingin, kata-katanya sebenarnya sangat dalam sebagai teman dekat Hiragaki. Meskipun seringkali Mitsuki dijauhi oleh teman-teman sekelasnya karena sikapnya yang dingin dan kata-katanya yang tajam, dia sebenarnya sangat perhatian, tulus, dan penolong terhadap teman dekatnya yang membutuhkan pertolongannya.
"Silahkan masuk, Mitaki!"
"Ya."
Dipersilahkan Mitsuki untuk masuk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Mitsuki disuruh untuk duduk sebentar sambil menunggu Hiragaki mengambilkan minum.
"Ini dia, Mitaki."
"Aku jadi merepotkan dirimu."
"Jangan khawatir, aku sudah biasa dengan sesuatu seperti ini."
Walaupun Mitsuki sangat kenal seperti apa sikap temannya, Hiragaki, Mitsuki justru ingin sekali melindunginya dari tindakan pembullyan maupun tindakan buruk lainnya yang akan menimpanya.
"Menurutmu bagaimana, Mitaki?"
"Kalau aku berada di posisimu, aku merasa situasi ini cukup aneh. Meskipun aku telah dekat dengannya sebagai rekan kerja, ada kemungkinan kalau hubungan itu masih kurang untuknya. Dan juga..."
"Ada apa, Mitaki?"
"Maaf apabila aku harus mengatakannya dengan terus terang. Sebenarnya bisa saja orang yang kau sebutkan tadi, Shirinsa, dia bisa saja hanya ingin mengetahui informasi pribadimu. Jika dia mengetahui informasi pribadimu, kau tahu apa yang akan terjadi bukan?"
"Ya. Besar kemungkinan, aku akan dibully dan dihina di pekerjaan aku."
"Tepat sekali."
Hening kembali terjadi di sekitar mereka. Mitsuki memikirkan kemungkinan lain yang terjadi pada Hiragaki. Misalnya Shirinsa benar-benar tulus mencintai Hiragaki, Mitsuki harus bisa mundur dari sikapnya yang ketat atas hubungan mereka dan memilih menjauh dari nuansa romantis yang ada antara Hiragaki dan Shirinsa rasakan.
Namun, Mitsuki takut kalau sesuatu seperti nuansa romantis hanya ada dalam pemikirannya.
Menurut pengalaman Mitsuki, wanita memiliki banyak ego dalam diri mereka. Penampilan seperti make up, pakaian, dan model, serta masih banyak kebutuhan yang bisa didapatkan dari wanita itu untuk mendekati seorang pria, Hiragaki juga mungkin akan merasakan sesuatu yang sama seperti yang dialaminya dulu.
"Kurasa aku punya usulan yang bagus atas masalah ini, Hiragaki."
"Usulan?"
"Ya."
Semua isi pemikiran dan perkiraan dijelaskan pada Hiragaki untuk memahami apa yang Mitsuki usulkan padanya.
"Bagaimana menurutmu?"
"Kurasa itu ide yang bagus."
Tersenyum atas jawaban Hiragaki, Mitsuki sepakat untuk membuat kerjasama dengan Hiragaki hingga waktu acara event bagi mereka berdua tiba.
•••••
Hiragaki POV
Seminggu telah berlalu.
Sejak pembicaraan kami berdua di taman, aku masih terus kepikiran dengan apa yang diinginkan oleh Shirinsa.
Menurutku, orang seperti Shirinsa ialah wanita ideal yang disukai oleh banyak kalangan pria maupun wanita. Para wanita yang menghormatinya, dan para pria yang menyukainya dan seringkali menyatakan perasaan pada Shirinsa setiap bercanda membuatku merasa kalau kedekatan yang kami alami tidaklah mungkin terjadi.
Secara keseluruhan, aku adalah orang yang membosankan yang tidak dapat mencari topik obrolan yang sesuai dengan lawan bicara sehingga orang-orang tidak menyukai aku karena aku tidak pandai dalam berbicara.
"Shirenzo, Kepala Toko memanggilmu!"
"Memanggilku?"
"Ya, katanya dia ingin bertemu denganmu. Apakah kau bisa?"
"Baik."
Aneh. Mengapa Kepala Toko ingin bertemu denganku? Apakah aku telah berbuat salah?
Dalam perjalanan menuju ruangan Kepala Toko, aku memikirkan apa yang aku lakukan di hari ini. Menurutku, tidak ada kesalahan pada hari ini baik itu keramahan, senyum, pelayanan, semua dapat aku tangani dengan baik.
Walaupun aku yakin telah melakukan sebaik mungkin di pekerjaan, firasat aku mengatakan ada yang tidak beres. Biasanya Kepala Toko tidak memanggilku dalam bekerja, tapi kali ini dia benar-benar memanggilku entah karena apa.
Aku harap semuanya tidak apa-apa. Sambil meyakinkan hati, aku menelan ludah di tenggorokan dan membuka pintu ruangan.
"Permisi, Pak."
"Masuklah!"
"Baik."
Menutup pintu ruangan, aku berdiri di depannya yang masih duduk dan sibuk dalam mengerjakan dokumen.
"Duduklah, Shirenzo!"
"Ya."
Dia sempat terhenti sejenak melihat ke arahku dan mempersilahkan aku untuk duduk.
Entah kenapa suasananya terasa menakutkan dan menegangkan untuk dirasakan.
Keringat sempat mengalir di tubuhku. Rasa takut dan cemas mulai memenuhi perasaan seolah-olah memperingati aku untuk tetap hati-hati dan waspada akan keheningan dan kesunyian yang terjadi sekarang.
"Bisakah aku tanyakan sesuatu padamu, Shirenzo?"
"Ya."
"Apakah kau tahu siapa aku?"
"Ya, anda adalah Kepala Toko di tempat saya bekerja."
"Bagus. Mengapa aku mendapatkan laporan kalau kau menghina aku di depan umum?"
"Menghina anda? Aku sama sekali tidak melakukannya."
"Tidak, kau melakukannya. Ini buktinya!"
Dia memperlihatkan padaku smartphone miliknya. Sebelum meletakkan di atas meja, dia melakukan sesuatu pada smartphone miliknya untuk diletakkan di atas meja agar aku bisa tahu sesuatu.
Yang mengejutkan bagiku ialah bukti yang dihasilkan dari Kepala Toko begitu akurat. Di dalam rekaman audio, aku mengatakan kalau Kepala Toko adalah orang yang menjengkelkan dan menakutkan untuk siapapun karyawan yang baru masuk. Selain karena kedua perkataan tadi, aku juga sempat mengatakan bahwa Kepala Toko sangat pilih kasih atas karyawannya sendiri.
Dalam diam yang cukup lama, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Secara keseluruhan, aku tidak pernah mengatakan ini di depan umum melainkan hanya pada diriku sendiri.
Lantas, darimana datangnya rekaman ini ke Kepala Toko? Bagaimana bisa bukti yang tidak benar ini jatuh ke tangan yang salah? Berbagai kemungkinan memenuhi pikiranku untuk bisa mencari tahu mengapa ini bisa terjadi.
Jujur saja aku tidak pernah membicarakan ini terhadap siapapun. Baik itu Tenra, Shirinsa, dan Majime, ketiganya tidak tahu apapun soal ini melainkan hanya aku seorang. Akan tetapi, mengapa aku disalahkan?
"Aku hargai atas keberanian yang kau lakukan terhadapku di depan umum, Shirenzo. Akan tetapi, aku rasa aku akan memberikanmu peringatan."
Nadanya yang sebelumnya ramah berubah menjadi tinggi, begitu juga dengan ekspresi dan pandangannya yang mengarah ke arahku dengan tajam dan serius seolah-olah aku adalah penyebab kesalahannya.
"Jangan berani-beraninya kau melakukan ini terhadapku! Apakah kau mengerti, Shirenzo?"
"Ba-baik."
"Bagus. Sekarang kau bisa kembali."
Bangun dari duduk, aku melangkah ke arah pintu. Sebelum aku keluar, kurasa ada sesuatu yang ingin sampaikan kepadanya.
"Kepala Toko, aku akan risen hari ini."
"Risen?"
"Ya. Karena saya telah menyebabkan kekacauan dan masalah, saya lebih baik keluar dari pekerjaan ini. Dengan begitu, anda bisa tenang dan nyaman bukan?"
"Kau benar. Mungkin ini adalah tindakan yang tepat."
"Ya, itulah sebabnya aku mengundurkan diri mulai sekarang. Aku sudah tidak lagi bekerja di tempat ini sekarang hingga seterusnya."
Selesai mengatakan itu padanya, aku membuka pintu dan pergi meninggalkan ruangan Kepala Toko beserta pekerjaan menyebalkan ini untuk selama-lamanya.
"Bagaimana, Shirenzo?"
"Semuanya benar-benar buruk. Dan juga, selamat atas keinginan kalian yang terwujud. Berkat kalian, aku sudah tidak lagi bekerja di tempat ini."
"Shiren–"
"....."
Sekilas, aku melihat ke arah Shirinsa yang merasa kasihan dan simpati atas apa yang kurasakan sekarang. Sebelum dia melangkah maju, aku sempat memberikan dia tatapan tajam untuk mengintimidasi dirinya agar dia tidak meluruskan masalah dan menghentikan aku.
Karena bagaimanapun juga, dia adalah wanita yang baik.
Misalnya aku ditahan oleh kebaikan Shirinsa, orang-orang akan berpikir kalau aku hanya memanfaatkan kebaikan Shirinsa demi kepentingan aku sendiri. Secara keseluruhan, mereka benci dan marah terhadapku jadi wajar apabila mereka berpikir buruk terhadapku.
"Selamat tinggal, Semuanya. Aku harap kalian hidup tenang tanpa adanya diriku."
Sempat mengatakan sesuatu padanya, aku hanya tersenyum jahat pada mereka. Entah apakah mereka senang atau tidak, kurasa ini adalah sesuatu yang selama ini aku tahan berhasil aku lepaskan dengan mudah.
Maafkan aku, Shirinsa. Aku harap kita bisa bertemu lagi di event nanti.
Meninggalkan tatapan sedih sesaat padanya, aku pergi meninggalkan toko tempat aku bekerja demi kepuasan mereka.
•••••
"Ah... bosannya."
Dalam suasana panas dan sunyi, seorang pria merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Wajah pria itu terlihat lelah dan pusing dalam menghadapi hari-hari yang tidak dapat dia jalankan. Biasanya pria itu menjalani harinya bekerja dan menyibukkan diri dengan kegiatan otaku ketika pulang kerja maupun istirahat, akan tetapi sekarang sudah tidak ada lagi kegiatan yang sama, pria itu hanya bisa menghabiskan waktunya dengan membaca novel kesukaannya dan melakukan aktivitas otaku lainnya.
Kurasa sudah waktunya aku untuk mencari pekerjaan.
Menyudahi kebiasaan baru yang dijalankan sekarang, pria itu berjalan menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya agar dia bisa melihat-lihat adakah pekerjaan yang bisa dia dapatkan atau tidak.
Kuharap Shirinsa tidak melakukan tindakan nekat dan bodoh.
Dalam perjalanan menuju kamar, pikiran pria itu mengarah pada Shirinsa, wanita yang berbicara dengannya seminggu yang lalu di taman.
Menurut pandangannya, Shirinsa bisa saja melakukan sesuatu yang nekat dan bodoh seperti keluar dari pekerjaannya atau meminta kesempatan pada Kepala Toko untuk membiarkannya bekerja di tempat kerjaan sebelumnya, sesuatu seperti itu bisa saja terjadi menurut Hiragaki dari apa yang Shirinsa lakukan selama ini pada Hiragaki.
Akan tetapi, tidak peduli seberapa banyak Shirinsa berbuat baik padanya, Hiragaki tidak ingin merepotkan kembali dirinya. Sebaliknya, dia hanya ingin berusaha sendiri untuk tidak mengandalkan orang lain agar dia bisa mandiri dalam menghadapi masalah di lain hari. Itu sebabnya Hiragaki tidak terlalu mengharapkan bantuan dari Shirinsa. Selain karena Hiragaki tidak mau merepotkan Shirinsa, dia juga tidak ingin berhutang budi padanya atas kebaikan yang dilakukannya.
Mentari menjulang tinggi di langit membuat cuaca di sekitar menjadi panas. Di sepanjang perjalanan, Hiragaki berjalan sambil melihat-lihat setiap toko yang dilewatinya. Tak ada satupun dari toko yang telah dilewatinya memiliki lembaran yang bertuliskan lowongan kerja. Kalaupun ada, toko tersebut hanya mengizinkan untuk karyawan/karyawati yang berpengalaman di bidang tertentu.
Mengapa terasa sangat menyebalkan? Tidak adakah satupun dari mereka yang bisa membuka lowongan kerja untukku?
Dikarenkan Hiragaki lulusan dari SMA, ada kemungkinan kalau toko yang akan dia lamar pekerjaan dapat menolaknya mentah-mentah atas pendidikannya. Mengingat fakta bahwa yang dibutuhkan dalam pekerjaan ialah keahlian di bidang yang tertulis di lowongan kerja dan pendidikan minimal S1 membuat Hiragaki tidak mengerti akan kehidupan yang harus dia tempuh.
"Ah..."
"....."
Seketika Hiragaki terdiam pada apa yang dilihatnya sekarang.
Apa yang dilihatnya ialah seorang teman dekatnya, Mitsuki, pria yang melakukan pembicaraan dengan Hiragaki di malam itu untuk mencari ide agar dia tidak terbully. Akan tetapi, pertemuan mendadak ini membuat Hiragaki panik dan cemas yang ketahuan kalau dia tidak bekerja lagi di tempat pekerjaannya.
"Ada apa, Hiragaki?"
"I-itu... ba-bagaimana bilangnya ya."
Keringat mengalir deras di wajahnya seakan-akan dia disiram air yang dapat membuatnya basah kapanpun dia panik dan takut.
Di depannya, Mitsuki hanya terdiam sambil memperhatikan sikap Hiragaki. Menurut pengamatannya, ada yang aneh dari sikap temannya. Tidak seperti biasanya, Hiragaki yang terlihat saat ini panik, cemas, dan ketakutan atas sesuatu yang Mitsuki tidak ketahui apa yang membuatnya seperti itu.
"Apakah kau libur bekerja, Hiragaki?"
"Y-ya. Kau sendiri bagaimana, Mitaki? Apakah kau libur juga?"
"Tidak, aku sedang bekerja saat ini."
"Bekerja?"
"Ya. Akhir-akhir ini keluarga aku membangun sebuah toko kecil untuk berjualan sembako, tapi entah mengapa kami kekurangan orang sekarang."
"Kekurangan orang ya."
"Ada apa, Hiragaki?"
"Ti-tidak... tidak ada apa-apa."
Hening sempat terjadi di sekitar mereka.
Hiragaki yang terdiam mendengar perkataan Mitsuki mendapatkan kesempatan agar dia bisa bekerja lagi di tempat yang berbeda. Walaupun dia sendiri tidak yakin apakah Mitsuki akan menerimanya atau tidak, Hiragaki merasa cemas kalau misalnya Mitsuki tahu kejadian sebenarnya di pekerjaan Hiragaki yang menyebabkan dia dikeluarkan dari pekerjaannya.
"Maaf, Hiragaki, kurasa kita tidak bisa berbicara lama. Ada sesuatu yang ingin aku lakukan untuk menarik orang-orang untuk bekerja di toko baru kami."
"Tunggu sebentar, Mitaki!"
"Ada apa?"
"Mungkin ini terdengar aneh untukmu, tapi bisakah aku bertanya langsung padamu?"
"Ya, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan denganku."
"Se-sebenarnya aku telah keluar dari pekerjaan aku. Bolehkah aku melamar di toko barumu?"
"....."
Sempat terdiam sesaat pada perkataan Hiragaki, mata Mitsuki sempat menyipit tajam ke arah Hiragaki.
Dari perkataannya tadi, Hiragaki terlihat kalau dia menutupi sesuatu yang tidak Mitsuki ketahui. Namun sebelum Mitsuki mengatakan sesuatu padanya, dia berpikir kalau mungkin saja penyebabnya hampir sama seperti Hiragaki di masa sekolah. Dimana kasus pembullyan meningkat secara drastis pada Hiragaki sewaktu SMA.
Kalau misalnya Hiragaki tidak berteman sejak kecil dengan Mitsuki melainkan Yamaguchi, ada kemungkinan kalau Hiragaki akan diberikan keadilan yang konyol dan bodoh oleh Yamaguchi, setidaknya itulah yang Mitsuki pahami.
"Apakah tidak boleh, Mitaki?"
"Tidak, kau boleh bekerja di sana tanpa perlu melamar. Tapi sebelum itu, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
"Ya."
"Mungkinkah kau keluar dari pekerjaan karena insiden yang sama seperti SMA?"
Mendengar Mitsuki menebak apa yang dikatakan Hiragaki tadi, Hiragaki hanya bisa tercengang dalam diam. Dia tidak dapat merespon apapun pada perkataan Mitsuki melainkan hanya diam membisu dengan kepala menggantung.
"Ya, kau benar."
Dengan nadanya yang pelan terdengar begitu mendalam dari kepasrahan Hiragaki. Melihat temannya seperti itu, Mitsuki berjalan ke sampingnya dan menepuk salah satu pundaknya.
"Aku akui kalau kau memang mengalami insiden buruk setiap harinya. Akan tetapi, aku bisa pastikan kalau kau bekerja untukku, kau akan terjamin keamanan dan keselamatan dari orang-orang sialan itu."
"....."
Nada Mitsuki terdengar pelan namun tegas. Ekspresinya yang terlihat kesal dan benci, serta sorot matanya yang menyala membuatnya seakan-akan ingin melakukan sesuatu pada rekan kerja Hiragaki yang tega melakukan sesuatu yang buruk demi kepentingan mereka sendiri.
Padahal kalau Mitsuki pikirkan, mereka semua sama-sama bekerja di tempat yang sama. Yang membedakan mereka hanyalah jabatan dan status, selebihnya sama seperti rekan kerja mereka, terkecuali perbedaan gaji yang mereka terima. Akan tetapi, berbuat sejauh ini demi kesenangan dan kebahagiaan mereka pribadi, Mitsuki tidak dapat menerimanya.
Walaupun ada orang-orang yang mengatakan kalau pembullyan hanya dilakukan untuk bersenang-senang, itu tetap tidak bisa dimaafkan oleh Mitsuki. Karena bagaimanapun juga, korban pembullyan bisa saja terkena mental dan depresi hingga menyebabkan dia stress maupun trauma yang menyebabkan dia tidak dapat menjalani aktivitas normal lainnya seperti orang-orang pada umumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments