Arya sudah berada di rumah makan padang bersama Santi. Sudah hampir satu hari mereka bersama, tapi mereka belum juga mengenal satu sama lain. Arya belum tahu siapa nama wanita yang duduk di depannya, pun Santi, dia juga belum tahu siapa nama sopir mobil pengantin yang mau mengantar dia minggat dari rumahnya.
“Ehem ... gak usah gitu kali lihatnya, Pak?” Santi berdehem saat melihat Arya yang menatap dirinya tanpa berkedip.
“Siapa yang lihatin kamu? Ya saya emang lihat kamu lagi makan sih? Kamu pasti laper banget, ya?”
“Udah tau nanya?” jawab Santi. “Aku belum makan dari semalam! Pusing mikir bagaimana gagalin pernikahanku dengan om-om itu!” imbuh Santi.
“Ini benar kamu sedang hamil?” tanya Arya serius.
“Iya, aku hamil. Tapi, kekasihku gak mau bertanggung jawab, tadi pagi sebelum aku kabur, aku meminta dia lagi untuk bertanggung jawab dan menikahiku, tapi dia tetap kekeh, gak mau tanggung jawab,” jawab Santi.
“Kenapa kok gak mau tanggung jawab?”
“Dia bilang, dia ingin bebas. Enggak mau terikat. Intinya dia mau tanggung jawab untuk materi saja. Selama aku hamil sampai melahirkan, keperluanku ditanggung dia, tanpa mau menikahiku. Sedang kedua orang tuaku, mereka tidak ingin anakku lahir tanpa ayah. Meski nantinya setelah melahirkan aku dan dia bagaimana, asal dia mau menikahiku. Tapi, sayangnya dia menolak permintaan papa dan mama untuk menikahiku, dan pada akhirnya, mama dan papa membayar orang untuk menikahiku. Aku tidak mau, karena ini kesalahan aku dan kekasihku, aku tidak mau orang lain ikut bertanggung jawab atas apa yang aku perbuat dengan kekasihku, meski orang itu dibayar banyak oleh papa. Lebih baik aku tidak menikah, aku kabur, dan aku rawat anak ini sendiri,” jelas Santi.
“Tapi, kasihan anak kamu nantinya. Harusnya kamu mau saja, untung ada orang yang mau, meski dengan cara yang salah, seenggaknya anak kamu lahir ada ayahnya, meski bukan ayah kandungnya,” tutur Arya. “Sorry nih, aku dari tadi baru sadar, ternyata bicaranya pakai aku kamu,” imbuh Arya.
“Iya, Gak apa-apa, santai saja, kan jadi lebih akrab,” jawab Santi.
“Lalu gimana? Keputusan kamu tetap mau kabur?” tanya Arya.
Arya tidak sadar kalau dirinya sudah tidak memanggil non lagi pada Santi. Arya saat ini merasa kalau bicara soal ini harus ada keakraban, dan tidak usah seformal tadi, memanggil Santi dengan panggilan nona. Beruntung Santi pun satu pemikiran dengannya, agar lebih akrab katanya.
“Sudahlah, aku malas bahas ini. Sekarang sudah terlanjur sampai sini, dan aku sudah berniat akan tinggal di sini, mungkin aku nanti akan cari orang, ya seperti ART gitu, biar bisa menemani aku, dan membantu mempersiapkan kebutuhanku selama aku kabur di sini,” ucap Santi.
“Tapi, kasihan anakmu, dia harus lahir tanpa sosok ayah, tidak mendapat perhatian dari sosok ayah, dan dewasa tanpa sosok ayah. Kamu tahu anak yang ada di posisi seperti itu rasanya bagaimana? Sakit, apalagi kalau ibunya dari keluarga biasa saja, ya mungkin kamu banyak harta, usaha kamu banyak, dan siapa yang gak kenal Arya Hermawan? Seorang konglomerat, uang mengalir seperti air setiap hari, aset usaha di mana saja, jadi pikiran kamu egois, mau membesarkan anak kamu sendiri tanpa seorang ayah. Tapi, kamu belum merasakan kenyataannya nanti seperti apa, jadi kamu pikirkan lagi baik-baik. Ya anggap saja kaburmu ini menjadi bahan renungan dirimu. Pikirkan baik-baik dengan pikiran dingin dan tenang, mumpung kamu di sini, tidak ada yang ganggu, kamu pasti bisa mikir jernih, bagaimana untuk menyelesaikan masalah kamu,” tutur Arya.
“Makasih untuk nasihatnya, Pak. Mungkin benar aku egois, tapi aku hanya ingin dia yang bertanggung jawab. Dia ayah dari bayi ini, dan aku sangat mencintainya, tidak mungkin aku menikah dengan orang lain, meski dia menyayangi anakku seperti anaknya, mencintai aku, tapi aku ingin dia, aku masih mencintai dia, apa bisa aku hidup seperti itu?” ucap Santi dengan mata berkaca-baca.
“Ya susah sih kalau udah cinta. Tapi, hidup itu harus realistis lah, untuk apa kita masih saja mengharap orang yang tidak mau bertanggung jawab? Kamu pikirkan baik-baik, kamu bukan hanya butuh uang untuk menjalani kehidupan kamu setelah anak kamu lahir, kamu juga butuh seseorang yang nantinya bisa merawat dan menyayangi anakmu, juga kamu. Tentunya laki-laki yang bertanggung jawab,” tutur Arya. “Sudah jangan nangis, nih usap air mata kamu.” Arya memberikan tissue pada Santi.
“Makasih, untuk nasihatnya, dan untuk tissuenya,” ucap Santi.
“Ini ngomong-ngomong kita udah panjang kali lebar cerita, tapi kita belum saling kenal?” ucap Arya.
“Iya juga ya, Pak? Nama bapak siapa? Aku Santi.” Santi memperkenalkan dirinya pada Arya dengan mengulurkan tangannya.
“Jangan panggil, Pak. Apa aku sudah kelihatan tua sekali? Aku Arya.” Arya membalas uluran tangan Santi, mereka saling berjabat tangan.
“Ya belum tua banget, sih? Ya sudah aku panggil siapa? Mas Arya, atau?”
“Arya saja,” tukas Arya.
“Oke, salam kenal Arya.”
“Salam kenal juga Santi,” ucap Arya.
“Oke, sekarang habiskan makanan kamu, nanti kita cari baju untuk kamu, cari perlengkapan untuk kamu, untuk kebutuhan kamu sehari-hari,” ucap Arya.
“Oke, makasih sudah nganterin aku kabur sejauh ini,” ucap Santi.
“Sama-sama, Santi,” jawab Arya.
Arya masih memikirkan Santi akan tinggal di mana, apa dia bisa tinggal sendirian nantinya, hanya dengan ART-nya saja? Arya pamit ke toilet pada Santi. Santi hanya mengangguk, dan melanjutkan makannya.
Arya tidak ke toilet, melainkan dia menghubungi rumah milik eyangnya yang sudah diwariskan pada Arya. Padahal eyang dari bapak sambungnya, tapi memang Arya cucu satu-satunya, meski cucu sambung, jadi dia yang menerima warisan dari eyangnya. Dan, rumah itu sekarang sudah menjadi hak miliknya.
“Baik, Mbak. Bisa kan melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi? Dan, saya ingatkan, tidak usah bilang sama ibu dan bapak soal ini.”
Arya mengakhiri telefonnya dengan penjaga di rumahnya yang sudah bekerja bertahun-tahun di rumah Arya.
Arya kembali ke mejanya. Dia melihat Santi yang baru saja selesai makan, dan membersihkan sisa makannya di mulut menggunakan tissue. Arya percaya kalau Santi benar hamil, postur tubuhnya sudah sangat jelas kalau Santi sedang hamil, apalagi perutnya juga sudah kelihatan membuncit karena kebaya yang Santi pakai terlalu ketat.
“San, kita langsung cabut, yuk? Kamu butuh ganti pakaian, kebayamu ketat, kasihan anak kamu di perut,” ucap Arya.
“Ehm ... iya sih ini ketat sekali. Oke kita ke mana?”
“Ke toko baju, cari baju-baju longgar untuk kamu, daster atau apa, ya sama perlengkapan kamu lainnya, misal underware mungkin?” jawab Arya.
“Oke, yuk,” ajak Santi.
Arya membukakan pintu mobilnya yang bagian depan. Kening Santi mengerut, melihat Arya membukakan pintu yang bagian depan.
“Kenapa? Ayo masuk?” titah Arya.
“Kok di depan?”
“Aku bukan sopir kamu, jadi sekarang kamu duduk di depan,” jawab Arya.
“Oke, gak masalah.” Santi duduk di jok sebelah Arya.
Arya melajukan mobilnya menuju ke toko baju, sebelum dia ke rumahnya. Arya juga masih memikirkan bagaimana caranya dia bilang dan alasan pada Santi untuk mengajak Santi tinggal di rumahnya.
Sesampainya di toko baju, Santi memilih baju yang cocok dan nyaman untuk dipakai dirinya. Dia memilih berberapa stelan baju tidur, kaos, celana pendek, daster, underware, dan lainnya yang ia butuhkan. Beruntung toko tersebut menjual bermacam-macam model baju, dan juga ada perlengkapan mandi juga.
“Sudah, yuk? Kita ke kasir?” ajak Santi.
“Sudah, enggak ada yang kelupaan?” tanya Arya.
“Udah sih, kalau kurang nanti kan bisa beli di tempat lain setelah aku menemukan rumah untuk tempat tinggal,” jawab Santi.
“Ya sudah yuk ke kasir.”
Arya melarang Santi membayar belanjaannya. Arya yang membayar semua apa yang Santi beli tadi.
“Ar, jangan gitu?”
“Sudah nurut saja. Yuk buruan, keburu petang, orang hamil jangan pergi-pergi kalau udah mau maghrib,” ucap Arya lirih.
“Lalu kita mau ke mana?”
“Aku sudah menemukan rumah, aku tadi udah cari-cari di iklan, ada rumah yang disewakan di daerah dekat sini, aku sudah chat orangnya. Buruan, biar cepat sampai, biar kamu bisa istirahat,” jawab Arya.
“Kok kamu cepet banget dapat infonya?” tanya Santi penasaran.
“Ya, kan aku orang jalanan. Aku seorang sopir travel, pernah jadi tukang ojek, sering juga nganterin orang ziarah ke sini, jadi ya aku tahu dikit-dikit daerah sini,” jawab Arya.
Memang kenyataannya seperti itu, dan beruntung Santi tidak terlalu curiga dan tanya-tanya terus soal pekerjaannya. Karena memang, mungkin pekerjaan Arya memang nyata seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments