"Selamat pagi, Tante. Amara nya ada ?" Tanya Gio pada ibu Amara yang membuka kan pintu untuknya.
"Maaf, kamu siapa ya ?"
"Saya Gio, teman Amara,"
"Oh yang tadi malam anterin Ara pulang ya ? Suami saya yang cerita. Janjian berangkat bareng sama Ara ?"
"Mmm i- iya," jawab Gio salah tingkah.
"Kalau begitu masuklah. Ara belum keluar dari kamarnya," ucap sang ibu sembari membukakan pintu rumahnya lebar untuk Gio masuki.
"Terimakasih,"
"Ayo duduk dulu. Mau minum kopi atau teh ?" Tawar sang ibu.
"Air putih saja," jawab Gio sungkan.
Sementara itu, Amara yang semalaman tak tidur karena banyak beban pikiran, mendengar orang yang bercakap-cakap di lantai bawah. Maklum rumah Amara tak sebesar milik Gio. Membuat ia bisa mendengar percakapan itu dan Amara tahu jika yang sedang bertamu adalah seseorang yang sangat dibencinya.
Tanpa berpikir panjang Amara mengambil sesuatu dari laci mejanya. Ia tatapi benda tajam itu dengan bercucuran air mata. "Maafin Ara...," Lirihnya sembari membayangkan wajah kedua orangtuanya dan juga Danis sang tunangan. Amara merasa sudah tak sanggup lagi menanggung beban hidupnya lagi.
"Aaargggghhhh," erang Amara. Dan air segar berwarna merah pun mulai membasahi ranjangnya.
*
"Biasanya Ara tak seperti ini. Ia sering bangun pagi sekali untuk membantu ibu membuat sarapan. Tapi akhir-akhir ini kesehatannya sedang menurun," jelas sang ibu sembari meletakkan segelas air putih untuk Gio.
"Tunggu sebentar, akan ibu panggilkan," ucapnya lagi seraya pergi menaiki tangga yang letaknya tak jauh dari sofa tempat Gio duduk.
Gio mengikuti pergerakan ibu Amara dengan matanya. Bahkan ia ikut berdebar cemas saat ketukan ibu Amara di pintu anak gadisnya itu tak mendapatkan respon.
Tiba-tiba saja Gio merasa ketakutan. Ia segera berdiri dan menyusul ibu Amara ke lantai 2.
"Ara ! Ara ! Apa kamu baik-baik saja ?" Tanya sang ibu sembari menggerakkan gagang pintu Amara berulang kali. Tapi pintu kamar anak gadisnya itu tak terbuka sama sekali, karena Amara menguncinya dari dalam.
"Ara ? Jangan bikin Mama takut !" Ucapnya lagi dengan suara yang bergetar.
Tanpa berpikir panjang, Gio segera mendobrak pintu kamar Amara dengan sekuat tenaga menggunakan bahunya. "Araaaaa !!!!" Teriakan panjang sang ibu membuat Gio segera menerobos masuk.
"Ya Tuhan !!!" Panik Gio seraya menepuk pipi Amara dan gadis itu bereaksi pertanda nyawanya masih ada. Gio langsung menggendong tubuh ringkih Amara yang sudah berlumuran darah.
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" Ibu Amara bertanya dengan bercucuran air mata. Ia mengikuti langkah Gio yang saat ini membawa Amara ke luar kamar.
Gio berjalan tergesa menuju mobilnya dan diikuti oleh ibu Amara di belakangnya. Secepat kilat Gio memacukan mobilnya itu, menuju sebuah klinik yang ada di persimpangan jalan dan letaknya tak jauh dari rumah Amara.
***
Dingin itulah yang Amara rasakan saat ini. Kelopak matanya terasa sangat berat hingga ia sangat sulit untuk membukanya. Cahaya lampu warna putih menyilaukan matanya yang sedikit terbuka. Amara pun menutup matanya lagi.
"Apa aku sudah m*ti ?" Tanya Amara dalam hati. Tapi kemudian ia rasakan hangat digenggaman tangannya.
"Ara... Hu..hu..hu,"
Hati Amara sangat perih, rasanya bagai teriris pisau belati saat mendengar isakkan tangis ibunya itu. Tubuhnya yang lemas sulit untuk digerakkan. Amara tergolek lemah di ranjang klinik.
Susah payah Amara membuka matanya lagi dan tanpa sadar Amara meneteskan air matanya saat melihat wajah sang ibu yang sembab. "Syukurlah kamu selamat, Nak," ucap Ibu Amara sembari mengusap lembut puncak kepala anak gadisnya itu. Tak henti-hentinya ia menitikkan air mata.
Amara menatap kosong langit-langit diatasnya. Ternyata ia masih berada di dunia ini.
"Kami menyayangimu, Nak. Kamu tak sendiriaan. Ada Mama dan Papa yang akan selalu mencintaimu tanpa syarat. Apapun yang terjadi padamu, kami tetap mencintaimu,"
Mendengar hal itu, Amara kembali menitikkan air matanya. "Maafin Ara, Ma," ucapnya lemah.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tak bersalah, Nak,"
Lalu datang seorang dokter yang hendak memeriksa Amara. Gadis itu terdiam pasrah saat dokter itu memeriksanya. Perasaan Amara begitu hampa.
"Nyonya Amara masih harus beristirahat dan sebaiknya terus ditemani," ucap dokter itu.
Lalu Amara kembali memejamkan kedua matanya. Ia bisa mendengar dokter itu tengah berbicara dengan ibunya dan juga dengan yang lainnya tapi Amara tak tahu siapa.
Yang Amara rasakan saat ini hanya lemas dan mengantuk. Sungguh ia tak sanggup hanya untuk sekedar membuka matanya lagi.
***
"Kondisinya sudah stabil," ucap seseorang yang tak Amara kenali suaranya. Entah berapa lama Amara tertidur pulas sampai-sampai gadis itu tak sadar jika tubuhnya sudah berpindah tempat.
Saat ini Amara berada di ruangan VVIP sebuah rumah sakit ternama di kota Jakarta. Dan ia tak sendirian. Ayah dan ibunya berada di sana. Juga Gio dan seorang wanita paruh baya yang pernah Amara temui beberapa Minggu lalu.
"Dia jauh lebih kurus dari waktu pertama kali Mama melihatnya," bisik ibu Gio pada anaknya itu.
Sungguh ia merasa prihatin pada Amara yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Wajahnya yang pucat dengan tulang pipi yang menonjol membuat Amara terlihat menyedihkan. Rasa bersalah semakin menggelayuti hati Gio.
"Ara, kamu bisa mendengar kami ?" Tanya ibu Amara sembari menggenggam erat tangan anaknya itu.
Pelan-pelan Amara membuka matanya dan kini ia sepenuhnya sadar jika dirinya dan sang bayi masih hidup di dunia.
"Ara..," ucap sang ayah sembari mengusap pipi anak gadisnya itu. Dan pecahlah tangis Amara seketika.
"Maafin Ara.. maafin Ara... Hu.. hu.. hu..," Amara ingin mengusap pipinya yang basah dan ternyata ia sulit untuk menggerakkan tangannya karena kain perban yang menggulung pergelangan tangannya.
"Sssttt... Jangan menangis, Sayang...," Ucap sang ayah terdengar pilu.
"A- aku adalah seorang anak yang gagal ! Aku telah membuat kalian malu," sahut Amara menyalahkan dirinya sendiri.
"Kami telah tahu semuanya dan kami tak marah padamu,Ara. Kami masih sangat mencintaimu seperti dulu, tak ada yang berubah. Kamu masih menjadi anak kebanggaan kami," ucap sang ayah lagi dan isakkan tangis Amara pun semakin menjadi.
Cukup lama Amara dan kedua orangtuanya saling meluapkan emosi. Sedangkan di sudut ruangan yang lain Gio berdiam diri dengan ibunya yang sedari tadi berusaha membesarkan hati anak lelakinya itu.
"Mama tahu ini berat tapi kamu sudah melakukan hal yang benar Gio. Walaupun kamu bersalah tapi mama bangga padamu karena tidak lari dari kenyataan," ucap ibunya itu sembari mengusap halus punggung anaknya.
Ya Gio sudah menceritakan semua pada kedua orangtua Amara saat gadis itu tak sadarkan diri. Bahkan Gio bersimpuh di kaki kedua orangtua Amara, memohon maaf atas apa yang telah dilakukannya.
Ayah Amara sangat syok, hingga ia tak bisa menahan diri dan memukul wajah Gio dengan sangat kencang. Melampiaskan rasa marahnya pada Gio karena tekah melukai putri kesayangannya.
Gio tak melawan walaupun wajahnya harus menjadi lebam dan sudut bibirnya pecah karena pukulan itu. Gio terdiam pasrah karena ia memang bersalah.
Itu belum seberapa, ayahnya sendiri pun melakukan hal yang sama padanya. Ditambah dengan kata-kata makian yang tak enak untuk didengar. Namun lagi-lagi Gio terdiam pasrah karena ia merasa dirinya memang bersalah.
"Tak ada seorangpun di dalam keluarga kita yang menjadi pemerk*sa ! Aku tak pernah mendidikmu menjadi seorang lelaki yang jahat. Walau bagaimanapun dia anakmu, Gio ! Bertanggung jawablah dengan cara mengurusnya ! Keluarga kita mempunyai reputasi yang baik. Jangan sampai kamu menghancurkannya !"
Saat Amara terbaring tak sadarkan diri, kedua keluarga duduk bersama dan saling berbicara untuk mencari jalan keluar.
Sepertinya mereka mempunyai cara pandang yang sama. Bahwa anak yang dikandung Amara berhak untuk hidup dan mendapatkan kasih sayang. Walaupun benih itu tercipta bukan dari sebuah cinta.
Dan dalam ajaran agama yang mereka anut, pernikahan kontrak adalah sesuatu yang diharamkan. Oleh karena itu kedua keluarga menginginkan Amara dan Gio menikah secara sah baik itu agama maupun negara dan tak ada batas waktu tertentu dalam pernikahan mereka.
Setelah Amara sembuh, mau tak mau keduanya harus menikah walaupun dengan terpaksa dan dipaksa.
bersambung..
jangan lupa like dan komentar ya.
hadiah dan vote juga boleh banget biar aku semangat nulisnya.
maaciw zheyeenk 😚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
GOOD, UNTUK KDUA ORTU GIO ORG2 YG BAIK..
2024-07-01
0
Sulaiman Efendy
BKN PRIHATIN DGN LO, MLH BIKIN JENGKEL .
2024-07-01
1
Sulaiman Efendy
KLO GIO LKI2 TDK BRTANGGUNG JAWAB, BOLEH LO STRESS & DEPRESI, INI GIO MAU BRTANGGUNG JAWAB.
2024-07-01
1