"Amara ? Amara Mahreen bisa duduk dulu sebentar ?" Tanya seorang wanita dari atas panggung. Dia adalah dosen Amara yang lainnya.
Meskipun enggan, tapi pada akhirnya Amara kembali mendudukkannya tubuhnya kembali di atas kursi. "Kamu punya masalah idup apaan sih, Ra ? Sampai nekat begini," bisik Via.
Amara tak menjawabnya, yang ia lakukan adalah kembali menundukkan kepala. Ia lakukan itu karena tahu jika Gio masih melihat ke arahnya. "Gak mungkin lelaki itu ingat kan ?" Tanya Amara pada dirinya sendiri. Tiba-tiba saja ia merasakan takut yang luar biasa. Takut jika Gio mengingat malam terkutuk itu.
"Bisa saya teruskan?" Tanya Gio dengan tenang pada pembawa acara.
"Tentu saja, Pak Gio. Maaf atas apa yang baru saja terjadi,"
"Oh tak apa-apa," jawab Gio sambil tersenyum. Dan ia pun melanjutkan pidatonya. Gio begitu tenang, dan wawasannya yang luas membuat lelaki muda itu terlihat berwibawa.
Padahal tak ada seorangpun yang tahu jika saat ini Gio mati-matian menahan diri untuk tak berlari pada gadis bernama Amara itu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.
Selama berbicara, beberapa kali Gio layangkan pandangannya pada Amara. Tapi tak sekalipun gadis itu membalas tatapan matanya. Amara terus menundukkan wajahnya yang terlihat muram itu. Sibuk dengan selembar kertas yang dipegangnya.
Amara ingin semuanya segera berlalu, susah payah ia menahan agar matanya tak menangis dan berteriak marah pada lelaki yang sedang berbicara di depan sana. Setiap pujian yang diucapkan para teman-temannya untuk Gio, membuat Amara menjadi mual saat mendengarnya. "Jangan mau tertipu dengan penampilannya yang menawan ! Dia hanya lelaki brengseek penjahat kelam*n !!" Jerit Amara dalam hatinya. Sungguh ia merasa benci pada Gio.
Kertas pidato yang ada dalam genggaman Amara menjadi pelampiasan rasa marah gadis itu. Ia meremasnya dengan sekuat tenaga seolah wajah Gio lah yang sedang dirinya hancurkan.
Acara pun terus berlanjut hingga tiba waktunya Amara untuk berbicara. Ia kira hanya perlu berdiri kemudian membacakan pidatonya. Tapi ternyata Amara harus berdiri di atas panggung yang sama dengan Gio.
Pada akhirnya Amara melangkahkan kedua kakinya yang terasa lemas untuk naik ke atas panggung. Ia memaksakan senyumnya pada semua orang yang berada di sana, termasuk pada Gio yang tak pernah melepaskan pandangan matanya dari Amara.
Amara berdiri di atas mimbar, ia pun mulai membacakan pidatonya tanpa kertas. Tak mungkin Amara membuka lembaran kertas yang sudah menjadi bola dan juga lusuh itu, karena Amara terus meremasnya sebagai pelampiasan rasa marahnya.
Tapi gadis itu memang sangatlah cerdas, ia mampu berbicara tanpa memerlukan teks. "Terimakasih saya ucapkan untuk Bapak Josep Abraham,"
"Giovanni Abraham, beliau yang mewakili hari ini," ralat si pembawa acara, membuat Amara menjadi canggung karenanya.
'ehem' Amara berdehem, menetralkan suaranya yang tiba-tiba tercekat di tenggorokan. "Terimakasih untuk Bapak Gi- Giovanni A- Abraham," ucap Amara terbata-bata. Dan ia merutuki dirinya sendiri karena berbicara gugup seperti itu.
Amara menarik paksa ke dua sudut bibirnya agar tersenyum pada Gio, saat dirinya menyebutkan nama lelaki itu. Dan Gio pun membalas senyuman Amara dengan lembut. Sungguh lelaki itu bisa mengontrol dirinya.
Pidato yang Amara bacakan begitu singkat, padat dan jelas. Membuat Gio terpana untuk sesaat. Ia tahu jika Amara adalah seorang gadis tak hanya cantik saja, tapi ia juga sangat pintar. Hingga Amara kembali ke tempat duduknya, mata Gio selalu mencuri pandang padanya.
Cantik, itulah kesan pertama Amara saat Gio melihat gadis itu untuk pertama kalinya. "Cantik, seperti namanya," gumam Gio seraya merogoh saku jasnya dan menyentuh tanda pengenal yang selalu di bawanya.
"Pak Gio merhatiin kamu terus deh, Ra !"
'Deg !'
Dada Amara terasa sesak saat Via membisikkan kata-kata itu di telinganya.
"Dia melihat ke semua orang," sanggah Amara. Lalu ia kembali tundukkan kepala, menyibukkan diri dengan ponselnya. Amara tak ingin melihat pada Gio lagi. Malah ia ingin segera pergi, tapi ia terjebak di sana hingga acara itu selesai.
Setelah itu, Gio menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Bahkan ia mengatakan jika perusahaannya terbuka bagi semua siswa yang berminat untuk melamar dan yang berprestasi akan lebih diutamakan. Apa yang Gio ucapkan membuat lelaki itu semakin dielu-elukan, kecuali oleh Amara tentu saja.
Acara pun selesai, agenda selanjutnya adalah kunjungan Gio ke fasilitas baru di kampus itu yang merupakan sumbangan dari ayahnya. Ada beberapa tempat yang harus Gio datangi.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Gio pun meminta pada panitia agar Amara bisa ikut dengannya untuk mengunjungi fasilitas baru tersebut. Gio berdalih ingin mendengar langsung pendapat dari mahasiswa yang menggunakannya.
Wajah Amara berubah pucat saat sang dosen mengatakan jika dirinya harus ikut menemani tour di kampus itu. Ingin menolak, tapi sang dosen terus bersikeras.
"Apa aku bilang, Ra. Pak Gio tertarik sama kamu," bisik Via.
"Sayangnya aku sama sekali gak tertarik dengan modelan lelaki playboy dan minus akhlak seperti itu," jawab Amara dengan balas berbisik.
"Laahh emang kamu udah kenal dia ?" Tanya Via.
"Tipikal anak orang kaya, ya seperti itu. Bukan tipe aku banget," jawab Amara.
"Ara, ayo !" Sang dosen pun mengajak Amara dan dengan sangat terpaksa Amara menurutinya.
***
Amara berjalan di jajaran paling belakang, sedangkan Gio di paling depan bersama beberapa orang yang merupakan perwakilan dari kampus itu.
Badan Gio yang lebih tinggi dari yang lainnya membuat Amara bisa melihatnya dengan jelas. Selama tour itu dilakukan, Amara hanya berbicara jika ia ditanya dan itu pun sangat singkat.
Gio cukup kesulitan untuk bisa mendekati gadis itu karena Amara selalu berhasil menghindarinya. Hingga ada satu kesempatan saat Amara berdiri sendiri, Gio pun segera menghampirinya.
Gio berdiri tepat di sebelah Amara, dan gadis itu langsung meliriknya dengan ujung mata saat mendapati Gio di sana. Tapi, lagi-lagi Amara mengabaikannya. "Amara," ucap Gio dengan sangat jelasnya, membuat Amara menelan ludahnya sendiri dengan sangat susah payah.
Tentu saja Amara mendengar apa yang Gio ucapkan. Tapi, ia lebih memilih untuk menulikan telinganya dan juga membisukan mulutnya. Gadis itu berdiri dalam diam, tak menjawab sapaan Gio sama sekali.
"Amara ?" Ucap Gio lagi. Keduanya berdiri berdampingan dan sama-sama mengamati sebuah poster di dinding. Walaupun Gio telah memanggilnya sebanyak dua kali tapi Amara tak juga meresponnya.
"Pak Gio, Amara " ucap seseorang dari arah belakang.
Amara langsung menolehkan kepalanya, bahkan ia memutar tubuhnya ke arah suara. Dengan begitu, Gio yakin jika Amara memang tak ingin bicara padanya.
"Ayo makan siang dulu, sudah disediakan di ruang pertemuan," ucap seorang wanita yang merupakan salah satu dosen Amara.
"Oh ya, terima kasih," sahut Gio ramah.
"Maaf, saya tak bisa ikut," tolak Amara.
"Kenapa?" Tanya Gio.
"Sa- saya sudah mempunyai janji temu dengan teman-teman yang lain di perpustakaan untuk membahas tugas yang diberikan Pak Anwar," jawab Amara sembari menatap dosennya itu, padahal yang bertanya padanya adalah Gio.
"Saya pamit duluan, selamat siang," ucap Amara, dan kali ini ia pun memaksakan senyumnya pada Gio yang terus saja memperhatikannya.
"Baiklah, terimakasih atas bantuannya. Senang bisa berkenalan denganmu, Amara," sahut Gio sambil tersenyum lembut.
Amara pun anggukan kepalanya. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan ruangan itu. Dibelakangnya, Gio berjalan dengan sang dosen.
Gio perhatikan Amara, dan tepat seperti dugaannya gadis itu tak memasuki gedung perpustakaan seperti yang disebutnya tadi.
Amara berjalan menuju luar kampus, sepertinya gadis itu akan pergi ke tempat lain.
Amara berjalan dengan kepala tertunduk, menyembunyikan air matanya yang lancang turun dan membasahi kedua pipinya. Perasaannya begitu kacau tak karuan. Ia ingin sekali berteriak untuk melampiaskan rasa sakitnya tapi Amara tak mampu lakukan itu. Yang bisa dirinya lakukan adalah menelan rasa pahitnya sendirian.
Tak sanggup lagi untuk berada di sana, Amara pun memutuskan untuk pulang.
***
Amara melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Dan dengan tubuh yang menelungkup Amara menyembunyikan tangisnya yang semakin kencang.
Rasa ngilu dihatinya tak mau pergi, ia benci karena harus bertemu dengan lelaki itu lagi. Bayangan tubuh Gio yang menghentaknya kasar selalu hadir di kepalanya. Amara merasa dirinya begitu hina dan kotor.
"Ya Tuhan... Kenapa harus bertemu dengannya lagi, aku benci lelaki itu ! benci... " lirih Amara tak terdengar. Terlalu lelah menangis, Amara pun jatuh tertidur di atas ranjang nya.
***
Amara terbangun saat hari sudah mau gelap. Kepalanya berdenyut sakit karena terlalu banyak menangis. Sambil memijit pelipisnya, Amara bangkit untuk duduk.
Tak lama, terdengar nada panggilan dari ponselnya. Ia pun merogoh tas untuk mencari benda pipih miliknya itu.
Amara tersenyum saat melihat nama Danis tertera di sana. Ia pun segera menerima panggilan itu.
"Kenapa dengan suaramu?" Tanya Danis saat ia mendengar suara Amara yang berubah serak.
"A- aku lagi gak enak badan," jawab Amara beralasan. Tak mungkin dirinya mengatakan yang sebenarnya yaitu baru saja ketiduran karena terlalu banyak menangis. Tentunya Danis akan sangat curiga.
"Ooohhh.. tadi bagaimana?" Tanya Danis.
"Biasa saja, tak ada yang istimewa," jawab Amara.
Kepalanya kembali berdenyut sakit saat ingat telah bertemu dengan Gio tadi siang.
Cukup lama keduanya saling bertukar kabar, hingga Amara meminta izin untuk mengakhiri panggilan itu lebih dulu dengan alasan sakit kepala.
"Ara.. apa kamu baik-baik saja ? Akhir-akhir ini kamu sering banget sakit. Belajar boleh, tapi jangan terlalu memaksakan diri juga," ucap Danis mengingatkan. Dan Amara hanya tersenyum saja, padahal Danis tak bisa melihatnya.
"Jangan begadang lagi ya. Aku gak mau kamu masuk angin kaya kemarin, mual muntah di pagi harinya. Udah berapa kali kamu kaya begitu, Ara! Aku benar-benar khawatir," lanjut Danis lagi.
" Aku gak mau kamu masuk angin kaya kemarin, mual muntah di pagi harinya," kalimat yang Danis ucapkan ini membuat Amara merasa tertampar.
Tiba-tiba Amara dilanda rasa takut yang luar biasa.
bersambung...
jangan lupa like, komen, vote dan hadiah.
terimakasih ♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Anisatul Azizah
move on dg cara ekstrim ya kan Gio
2024-10-11
0
EndRu
lhah beneran hamil. takdir lain sedang menantikan mu Amara. semakin menarik Kak Mee 🥰🥰🥰
2023-04-19
4
Bubble
morning sickness kah? waduuuuh
2023-03-16
1