"hiks.. hiks.. hiks..," Amara berjalan tertatih seorang diri. Menyusuri lorong rumah besar itu sembari meraba-raba dinding untuk berpegangan. Air matanya tak berhenti mengalir, membasahi pipinya dan ia pun tak berusaha untuk mengeringkannya.
Pikirannya kosong, begitu juga dengan jiwanya. Yang ada dalam benaknya saat ini adalah segera terbangun dari mimpi terburuk yang pernah Amara alami.
Tapi sialnya, apa yang terjadi bukanlah sebuah mimpi. Terbukti dari benda cair berwarna merah yang meluruh jatuh membasahi sebelah kakinya. Amara yang melihat itu semakin merasakan sakit di dalam hatinya. Ia berjalan tergesa menuruni tangga. Bahkan dirinya sempat hampir terjatuh, namun segera berpegangan pada pagar yang melingkarinya.
Matanya hanya tertuju pada sebuah pintu yang akan membawanya keluar dari rumah terkutuk itu. Amara tak lagi peduli pada pekerjaannya yang belum selesai, bahkan ia tak ingat pada sepupunya Dea yang tadi datang bersamanya.
Pandangan mata Amara yang kosong, menatap lurus ke depan. Bahkan ia tak menjawab pertanyaan beberapa orang padanya. Amara tak mendengar apa yang mereka tanyakan. Jiwanya yang melayang entah kemana, membuat Amara bagaikan sebuah boneka yang berjalan.
"Mbaknya mau ke mana ?" Tanya seorang lelaki yang mengenakan seragam coklat itu. Ia adalah seorang petugas keamanan di kediaman Abraham.
Tapi lagi-lagi Amara tak menjawabnya, bahkan ia tak menggubrisnya sama sekali. Amara berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan perumahan itu, menuju jalan besar di mana bis kota berlalu lalang di sana.
"Aduuuh," Amara mengaduh ketika ia terjatuh tanpa di sengaja. Hingga beberapa kerikil tajam melukai lututnya dan mengeluarkan darah.
Yang ia lakukan adalah segera menengok ke arah belakang, Amara takut jika lelaki tadi mengikutinya dan menyeretnya lagi. Wajah Amara yang sembab terlihat tegang dan ketakutan. Ia segera bangkit dan meneruskan perjalanannya masih dengan langkah yang tertatih-tatih.
Sesampainya di jalan raya, Amara berdiri menunggu sebuah bis yang akan membawanya pulang. Beberapa orang yang bertanya padanya pun tak Amara hiraukan. Hingga seorang wanita paruh baya datang menghampirinya.
"Mbak habis kecopetan ?" Tanya wanita itu tapi Amara masih berdiri dengan tatapan mata kosong ke arah depan.
"Sepertinya Mbak juga sedang datang bulan. Ini, ambillah," wanita itu menyerahkan selembar uang pecahan lima puluh ribuan dan satu pak tissue ke tangan Amara secara langsung. Hingga gadis itu tak bisa menolaknya.
Bukan tanpa alasan ia melakukan itu, ia melihat jejak merah seperti lelehan darah yang sudah mengering di salah satu kaki Amara.
"Sebaiknya Mbak cepat pulang karena malam mulai larut. Akan sangat berbahaya jika Mbaknya sendirian seperti ini,"
Mendengar itu Amara hanya mengangguk pelan. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya.
"Tinggal di mana?" Tanya wanita itu pelan tapi Amara malah menatapnya saja.
"Mbak tinggal di mana ? biar saya carikan bisnya," tanya wanita itu lagi.
"Ja- jalan XYZ," jawab Amara sangat pelan hingga wanita itu harus mendekatkan telinganya agar dapat mendengar perkataan Amara.
"Ooh... Ya... Saya tahu," sahutnya lagi. Tapi Amara tak mau lagi bicara dengannya. Gadis itu alihkan kembali pandangan matanya ke arah depan.
Selama beberapa menit Amara menunggu, wanita tak dikenal itu dengan setia menemaninya. Ia berusaha melindungi Amara dari orang-orang yang berniat jahat padanya.
"Nah itu bisnya datang ! Ayo cepat naik!" Ucap wanita itu lagi dan Amara pun melakukannya. Ia naik ke dalam bis itu dengan selembar uang dan satu pak tissue di tangannya. Amara pergi tanpa mengucapkan kata terimakasih sama sekali.
Amara dudukan tubuhnya di kursi dekat jendela. Sepanjang perjalanan ia tolehkan kepalanya ke arah luar. Ia tak mau bersititatap dengan siapapun. Ketika kondektur bis datang untuk menagihnya, Amara sama sekali tak melihat ke arahnya. Untung saja wanita tadi memberikan Amara sejumlah uang hingga ia bisa pulang.
***
' Brak !! ' terdengar suara pintu yang dibanting dengan kerasnya. Ibu Amara mengehentikan sejenak pembicaraannya di telepon.
"Amara ? Itu kamu ?" Tanya nya sembari menutup teleponnya dengan sebelah tangan agar lawan bicaranya tak mendengar.
"Ara ?"
"I- iya Ma. Ara capek, Ara naik ya," jawab Amara seraya langsung menaiki tangga yang menuju kamarnya. Ia tak berbicara dulu pada ibunya atau siapapun yang ada di rumah itu.
"Halo, De ? Itu Ara baru aja sampai. Kamu jangan khawatir," ucap sang ibu pada lawan bicaranya yang ternyata adalah Dea.
Tanpa Amara ketahui, sepupunya itu mencari-carinya dengan perasaan cemas juga panik karena Amara tak ada di manapun. Yang Dea tahu hanya ada seorang gadis yang mengenakan pakaian putih-hitam berjalan menuju jalan raya.
"Ah syukurlah kalau begitu, Tan. Besok aku ke rumah deh ya. Ini masih capek banget," ucap Dea yang masih berada di rumah besar itu. Sedari tadi ia disibukkan dengan mencari keberadaan Amara.
Setibanya di kamar, Amara mengunci pintunya rapat-rapat. Ia segera memasuki kamar mandi dan menyalakan air shower dengan deras.
Dengan perasaan jijik Amara melucuti pakaiannya sendiri. Emosinya meledak-ledak saat melakukan hal itu hinga beberapa kancing kemejanya terlepas dan jatuh berhamburan. Setelah terlepas, Amara melemparkannya asal ke sudut ruangan.
Amara kembali berjuang melepaskan rok hitam yang masih menempel pada tubuhnya. Dengan penuh emosi Amara melepaskannya.
"Ya Tuhan.. hiks.. hiks.. hiks..," Amara luruhkan tubuh polosnya di atas lantai kamar mandi dan menangis hebat saat melihat noda merah di celananya. "Kenapa aku ? Kenapa ini terjadi padaku ??" Amara meraung pilu. Dalam kepalanya terbayang wajah ayah dan ibunya yang pasti akan merasa kecewa padanya. Lalu, wajah Danis sang kekasih pun melintas di pikirannya. Hingga makin merasa bersalah lah Amara.
Amara menangis dengan kepala tertunduk, berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah ia harus bercerita tentang apa yang telah menimpanya ?
"Lihatlah cara berpakaiannya ! Tak heran jika ia menjadi korban perkosaan !"
"kerja di malam hari ? harusnya tahu lah apa resikonya,"
"Cewek beg* ! Ngapain masuk ke kamar cowok yang lagi mabok ? Nyari penyakit sendiri aja !"
"Ngaku-ngaku jadi korban padahal dia sendiri yang sengaja menjebak lelaki kaya itu !"
Kalimat-kalimat itu menghantui kepala Amara. Ia yakin dirinya lah yang akan disalahkan atas kejadian ini. Karena wanita korban perkosaan biasanya mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat. Bahkan ada yang sampai dikucilkan karena dianggap hina, padahal mereka adalah korban.
Apalagi Amara sadar, yang ia hadapi saat ini adalah orang terpandang yang mempunyai reputasi baik di mata masyarakat. Amara yakin dirinyalah yang akan di salahkan. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan hal ini sendirian.
"Maafin Ara, Ma.. Pa... hu..hu..hu.," Lirihnya terdengar pilu.
"Jaga dirimu baik-baik ,dan setialah padaku," tiba-tiba saja perkataan Danis saat berpisah dengannya di bandara , terngiang di telinga Amara.
"Maafkan aku sayang.. maafkan aku...," Lirih Amara seraya menjambak rambutnya frustasi. Ia merasa telah gagal menjaga diri hingga kini dirinya sudah ternoda.
Ia tundukkan kepala dan menangis histeris saat melihat tanda-tanda kemerahan di atas dadanya. Amara segera berdiri dan berjalan menuju air shower yang sudah dinyalakannya dari tadi.
Amara menggosok tubuhnya dengan spon dan sabun berulang kali. Ia lakukan itu dengan sekuat tenaga seolah tubuhnya dipenuhi oleh kotoran yang sangat sulit untuk dihilangkan.
Amara merasa sangat jijik dengan tubuhnya sendiri.
bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
cahaya
kaya Karmila ya
2023-06-07
3
EndRu
Kak Mee..
pinter banget bikin cerita. walaupun bikin dada nyesek tapi selalu ingin lanjut
2023-04-19
1
afa chai
shock berat ya...
2023-03-23
0